Pengalaman indahku bersama Dina – 1

Perkenalkan, namaku Ryan, umur 21 tahun, tinggi badan 166, berat badan 56 kg. Kisah ini berawal ketika aku lagi kurang kerjaan malam Minggu. Mau ke kos Desi pacarku malesnya minta ampun. Ya sudah aku ke Warnet saja untuk menghilangkan kebosananku.

Lalu aku iseng-iseng Chatting di mIRC, dengan menggunakan nick ryan_kurang_kerjaan, tidak beberapa lama kemudian masuklah seorang cewek dengan nick Dina20. Lalu kamipun berkenalan, ternyata dia adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, umurnya masih 20 tahun, baru semester 4, sama juga denganku. Perbincangan kami mulai dari hal-hal positif sampai hal-hal yang jorok sekalipun. Lalu kamipun terlibat perbincangan yang berbau sex.

“Emang kurang kerjaan apa nih?”
“Nggak Papa, males nih, mau ngapain males, mau belajar malesnya minta ampun”
“Emang kamu nggak malam mingguan?”
“Nggak, nggak ada yang mau diajak jalan-jalan”
“Emang kenapa” kataku.
“Nanya aja, kamu dah punya cewek?”
“Belum”
“Eh ngomong-ngomong, kamu mau nggak dikerjain nih”
“Maksudnya”
“Ya ngerjain kamu, kuperkosa gitu.. Hee hehee”

Aku terkejut minta ampun, ternyata dia hipersex juga, mumpung sudah lama nih, spermaku belum tersalurkan ke dalam vagina wanita..

“Boleh.. Kapan maunya?”
“Gimana kalau malam ini” balasku.
“Jangan malam ini dong, kan aku masih haid, biasa lagi terima tamu bulanan”
“Jadi kapan donk tuh mensnya selesai?”
“Mungkin besok, gimana kalau kita ketemuan besok malam, mungkin aku besok sudah nggak haid lagi”
“Jangan besok, lusanya lagi banyak tugas, gimana kalau malam Rabu”
“Lalu kalau ketemuannya dimana nih Din?” timpalku.
“Ntar lah, kan bisa diatur” balasnya.
“O ya, kamu punya HP, boleh tau nomornya nggak? Kan kita bias berhubungan”
“081794xx, kalau kamu?”
“081578xx”
“Eh.. Ngomong-ngomong kamu dah punya cowok” tanyaku.
“Belum, males punya pacar, kan nggak bisa menikmati kontol yang lain, bosen kalau cuman satu kontol aja.. Hee.. Hehee”
“O.. Ya, kamu udah gak Virgin umur berapa tuh?”
“19 sama pacarku, setelah itu dia pergi ninggalin aku, ya sudah kita putus deh”
“Aku mau koq jadi pacar kamu”
“Bener nih?”
“Tapi ada syaratnya”
“Apa donk?” timpalnya.
“Kamu harus memuaskan ‘adek kecil’ku ini setiap hari, mau nggak”
“Ntar kupikir-pikir dulu”
“O ya, kamu punya pic?”
“Ada, mau dikirimin yah, o ya email kamu”
“Iya tunggu ya, ntar kukirimin deh”

Tidak beberapa saat kemudian masuklah emailnya di emailku, kubuka, lumayan juga mukanya, walaupun nggak cantik-cantik amat. Mungkin kalau kuberi nilai paling cuman 6,5, beda sama Desi yang nilainya 7,5.. Hee.. Hee.. Nggak papa lah, yang penting penisku bisa terpuaskan oleh memeknya yang masih sempit, yang katanya ‘baru’ dimasukin oleh 3 penis.

“Masih mau sama aku?” katanya melanjutkan perbincangan kami
“Ya.. Maulah.. Kan yang penting ‘adek’ku puas”
“Dah ya, aku mau pulang, sudah jam 12 malam nih”
“Ya sudah, hati-hati di jalan yah”
“Muachh”
“Muachh juga”

Saat itu kamipun berpisah, aku masih chatting sampe jam 2 pagi, sambil membuka kisah-kisah di Rumah Seks.

Balik lagi ke kisahku, aku masih menunggu kapan pertempuranku dengan Dina, mahasiswi yang masih muda, yang katanya masih hot, katanya lagi dia itu hipersex, setiap hari dia itu harus menyalurkan libidonya, entah dengan masturbasi atau maen dengan teman-temannya. Sebagai pemberitahuan, aku juga mungkin punya libido tinggi, setiap hari aku juga minimal harus menyalurkan spermaku, entah itu dengan melakukan hubungan sex atau hanya onani, kalau tidak perasaanku kayak orang sakit aja, nggak bisa berpikir dengan baik, Hee.. Hee.

Lalu tepat hari Selasa, malam ini aku sudah berjanji dengan Dina untuk memuaskannya. Saat kulihat dia pertama kalinya tak beda jauh dengan pic yang dia kirim, walaupun nggak terlalu cantik, tapi bodynya sexy, rambut hitam sampai bahunya dan tingginya 155 cm, aku tingginya 166 cm. Kami janjian bertemu di Mall Malioboro, dan kami awali dengan mengobrol.

Ternyata dia ngga malu-malu dia santai aja kaya ketemu teman akrab, kuberanikan untuk menggandeng tangannya dan dia tak keberatan, tangannya halus banget, dan wajahnya bikin aku horny dengan matanya yang sedikit sipit dan bibirnya yang mungil. Akhirnya aku mengajaknya untuk mencari hotel yang murah untuk mengobrol biar enak, karena kalau di kos nggak enak sama teman-teman yang lain, juga sama ibu kos.

Dia nggak keberatan kuboncengkan di atas motorku. Dia datang ke mall dengan taksi. Kami mengobrol tentang apa saja baik di selama di mall atau selama perjalanan ke hotel itu. Sesampainya di hotel langgananku itu aku langsung memesan 1 kamar dengan single bed saja. Lalu kamipun menuju kamar hotel itu bergandengan tangan kayak sepasang kekasih saja.

Sesampainya di kamar, kami duduk bersebelahan dan kuberanikan untuk merangkulnya. Dia nggak marah. Duduk kami pun layaknya dua sejoli yang telah berhubungan lama, aroma tubuhnya sangat menggoda, dan terus terang aku sangat suka pheromone wanita (bau tubuh asli wanita), aroma tubuhnya bercampur dengan parfum yang dia pakai, menggoda sekali.

Dian bertanya soal aku berhubungan dengan wanita, dari pacaran hingga pengalaman ML. Aku bercerita sambil mengelus-mengelus rambutnya dan tiduran dengan kepalanya di pangkuanku. Dina mendengarnya penuh perhatian. Aku berbicara terus terang padanya tentang pengalaman pacaranku dan pengalaman ML-ku ketika masih mahasiswa baru. Dina menunjukkan sikap yang baik padaku, lalu dia berkata padaku bahwa dia sangat suka padaku dan dia ingin merasakan nikmatnya berhubungan badan denganku.

Dengan tiba-tiba dia mengajakku mandi bersama. Aku langsung setuju, “Aku sangat mau”, kataku dalam batin.

Dia menggandengku masuk ke kamar mandi, lalu dia menanggalkan pakaiannya. Aku mematung melihatnya, sexy sekali, sangat sesuai dengan impianku. Nipplesnya berwarna coklat muda, sebesar jagung dengan toket 34 yang sexy, tetapi vaginanya masih cukut lebat, semuanya membuat “adek kecilku” langsung melek. Dia menegurku..

“Ryan, kenapa kamu. Kok diem aja?”
“Nggak” jawabku.
“Kamu sexy banget Dina, kamu adalah impianku”, padahal ujarku dalam hati nggak cantik-cantik amat, tapi yang penting bodynya itu lo, bikin aku tegang terus. Dina pun tersenyum padaku.
“Masa” ujarnya sambil mendekatiku.

Dian pun melucuti pakaianku, dan sebelum dia melepaskan CD-ku, dia mengelus-mengelus penisku

“Keras banget, Ryan udah ga tahan ya”
“He eh” jawabku.

Setelah bugil, kupeluk dia dan kucium bibirnya, lembut sekali, tak henti-hentinya kupeluk dan kucium bibirnya.

“Dina, kamu mau kucukurkan rambut vaginanya nggak?”
“Buat apa, Ryan?”
“Biar vaginamu ngga bau and makin sexy. Kaya penisku, aku rajin mencukur rambut penisku dan kusisakan hanya bagian atasnya”.
“Pantas kedua bolamu mulus banget, Ann.. Menggoda banget”, ujarnya.
“Jadi kamu mau?”
“OK, tapi pakai cukuran apa?”
“Pake pisau cukur rambut ya” Aku sengaja membawa pisau cukur.
“OK”

Dina duduk di kloset dan kucukur pelan-pelan.

“Liat nich, sexy khan?” Kuambil cermin dan kuperlihatkan vaginanya.
“Iya, Ann. Dina suka. Jadi begitu ya biar sexy and sehat, gak bau gitu vaginanya?” Aku mengangguk.
“Coba kucium vaginamu sekarang” kataku dan kucium vaginanya perlahan dan lembut.

Dari atas turun ke bibir vaginanya lalu ke klitorisnya, kukecupi dan sesekali kumainkan lidahku perlahan tapi mantap. Sudah kumainkan klitorisnya, kubuka bibir vaginanya dengan jari dan tampak klitoris dan vaginanya yang masih merah. Kulanjutkan permainan lidahku bergerak di klitoris dan bibir vagina bagian dalamnya.

“Ohh, terus Ann, enak banget jilatan kamu” lenguh Dina dengan kedua tangannya memegang kepalaku dan mengacak-mengacak rambutku.

Kulanjutkan jilatanku dan sesekali kusedot klitnya dengan lembut. Dina makin menggeliat menggerakkan pinggulnya dan menekan kepalaku ke vaginanya. Kutangkupkan mulutku ke vaginanya, sehingga lubang senggamanya tertutupi oleh mulutku. Lalu kusedot lembut dan kugerakkan lidahku di klitnya hingga cairan vaginanya makin deras dan tertelan olehku, enak sekali bagiku. Ke dua tanganku memainkan toketnya, kuremas-remas lembut, kupelintir-pelintir nipple-nya. Dina makin menggila, pinggulnya bergoyang kanan kiri dan makin kencang lenguhannya..

“Ohh Ohh terus Ann.. Ohh Ann.. Enak banget”

Tempo agak kupercepat hingga Dina makin horny. Dia menjepit dan menekan-menekan kepalaku, lalu tubuhnya agak mengejang dan denyut vaginanya semakin terasa dan cairannya semakin membanjir hingga akhirnya..

“Ah, Ann, aku sampe”, teriaknya penuh kepuasan dan lalu kujilati cairan itu sambil merasakan denyutan vaginanya.

Bersambung . . . .

Pengalaman indahku bersama Dina – 2

Kupeluk dia keluar dari kamar mandi lalu kubaringkan Dina di tempat tidur, lalu aku duduk di sampingnya dan memulai foreplay kembali. Kumulai dengan ciuman di dahinya turun ke bibirnya. Perlahan kunikmati bibirnya yang mungil, dan kumulai permainan lidahku. Sesekali kusedot-sedot bibirnya. Lidah kami pun saling beradu dan semakin ganas.

Kulakukan itu sambil meremas-meremas boobs-nya, kenyal sekali dan nipples-nya pun mulai mengeras lagi. Kumainkan ke duanya dengan jari-jari tangan perlahan. Ciumanku turun ke lehernya yang putih. Kujilati, kukecup dan kedua tanganku tak henti-hentinya meremas toketnya, kepalaku pun di peluknya. Ciumanku turun lagi ke dadanya. Kuciumi dadanya secara melingkar, belum menyentuh nipplesnya. Kenyal sekali terasa di bibirku, dan tangannya tak lepas memeluk kepalaku serta desahannya semakin terdengar terutama saat aku mengecup putingnya..

“Mh, Ann.. Terusin”

Kukecup kedua putingnya. Lembut sekali rasanya di bibirku. Kujulurkan lidah dan kumulai mengusapnya dengan ujung lidahku, Dina mengeliat dan mendesah..

“Ohh.. Ohh..”

Bergantian kujilati putingnya, kiri kanan. Kugerakkan lidahku ke atas, bawah, kiri, kanan, dan melingkar. Desahannya semakin kencang, Dina mulai mengacak-mengacak rambutku walaupun pendek dan sesekali menekan-menekan ke dadanya. Nikmat sekali putingnya untukku, seperti cream yang lumer di dalam mulutku, terasa sekali saat kusedot-sedot nipple-nya tersebut.

Kusedot-sedot nip-nya perlahan dan lembut, sesekali kugigit kecil nip-nya. Dina sangat menikmatinya, dia sungguh santai. Kuhentikan sebentar permainan ini. Kusuruh dia untuk mengangkat tangannya di atas kepalanya hingga tampaklah ketiak yang mulus. Kuelus, kubisiki Dina di telinganya.

“Dina, aku suka ketiakmu” wajah Dina agak memerah, tak menyangka kubisiki hal itu. Kucium dan kujilati perlahan kiri dan kanan.
“Geli, Ann, tapi asyik”, katanya.
“Dina, vaginamu sudah basah ya?”, tanyaku sambil memegang selangkangannya.
“Iya, horny banget nich. Terusin donk”

Kumulai lagi dengan menjilati bibir, leher dan telinganya. Lalu turun lagi ke dada. Kujilati nip-nya dan sesekali kusedot. Gerakan lidahku kupercepat. Salah satu tanganku turun ke selangkanganya, mengusap-mengusap paha, bibir vagina, lalu klit-nya perlahan. Dina menggeliat dan mendesah-mendesah keenakan sambil memejamkan matanya.

“Ohh.. Mmh..”

Desahannya membuatku makin terangsang, pemainanku makin gila sehingga putingnya menjadi lebih memerah dan kucupang toketnya, kiri kanan. Lalu aku turun ke perutnya menuju vaginanya. Kujilati perutnya dan ‘belly button’-nya. Kubuka selangkangannya dan kuciumi vaginanya sambil menghisap cairan vaginanya, nikmat sekali rasanya. Vaginanya terasa hangat, kujulurkan lidahku lalu membelah vaginanya dari bawah ke atas perlahan. Dina makin menggeliat dan mendesah liar.

“Engh.. Ohh..”

Kugarap klit-nya. Kujilati perlahan, kugerakkan lidahku naik-turun, kiri-kanan, dan melingkar. Sesekali kusedot-sedot klit-nya, lembut sekali dan seperti ada sesuatu yang lumer dalam mulutku. Cairan vaginanya makin deras dan denyut vaginanya semakin terasa. Kutangkupkan lagi mulutku di vaginanya, dan kakinya menjepit kepalaku. Tanganku yang bebas mengerjai boobs-nya kembali, kuberi pijatan di toketnya. Kucoba menusuk lubang vaginanya hingga Dina berteriak kesakitan..

“Auw, sakit”

Kuurungkan niatku dan kembali mengelus klit-nya dan menyedot-menyedot vaginanya. Desahan terdengar kembali dari mulutnya, tak lama tubuhnya mengejang dan vaginanya makin berkedut dan..

“Ach..”

Dina dapat lagi, dan langsung kujilati. Lalu aku berbaring di sampingnya. Tubuh kami lumayan banyak berkeringat. Kucium bibirnya.

“Dina, tubuh kamu koq enak banget ya?” kataku sambil meremas-meremas dada nya.
“Ryann, masukin penismu donk. Aku udah nggak tahan lagi”
“Baik sayang”, kubisiki dia sambil bersiap mengambil posisi.

Wajahnya memerah kembali. Kubaringkan dia di tepi spring bed, dan aku berdiri. Kubuka selangkangannya. Kugesekkan kepala penisku di klit-nya, Dina memejamkan matanya dan tersenyum santai. Kupaskan penisku lalu aku berbisik padanya..

“Siap, sayang?”
“Iya” jawabnya sambil memelukku.

Perlahan kumasukkan penisku, vaginanya cukup sempit tapi basah, aku juga bingung, aneh, masa sudah pernah dimasuki oleh 3 penis, vaginanya masih sempit, apa dia sering mengkonsumsi jamu sari rapet, pikirku.

“Auw”, Dina berteriak kesakitan.
“Tenang, sayang. Kamu pasti akan merasakan kenikmatan” Dina kembali tenang.

Sodokan yang perlahan dan pasti akhirnya masuk ke vaginanya. Hangat sekali, kudiamkan penisku sebentar dan kuciumi bibirnya.

“Gimana, Dina?”
“Sakit, tapi sekarang nggak. Eng, Ann.. Penis kamu enak juga, pas. Kayak nggarukin vaginaku”
“Suka, ya?” Dina mengangguk.

Kumulai gerakanku perlahan, maju-mundur. Mm, nikmat sekali vaginanya memijat penisku. Dina memejamkan matanya dan tersenyum santai menikmati penisku. Desahan mulai terdengar dari mulutnya.

“Mh..”

Sodokan sedikit kupercepat, dan tanganku memijat toketnya serta memainkan nip-nya. Vaginanya makin basah, dan terdengar suara decakan dari vaginanya. Kucoba menggendongnya. Kakinya menjepit pinggangku kuat dan sodokanku semakin terasa hingga terdengar suara di antara vagina dan sodokan penisku. Kami berkeringat, dan aroma pheromone Dina semakin tercium, sexy sekali.

“Ann, Dina suka banget. Enak..”
“Aku juga suka, Din”, ujarku.

Beberapa menit kemudian, denyut vaginanya semakin terasa di penisku, mulai dari kepala hingga batangnya.

“Ryan, aku mo sampe lagi nich.. Ach”

Tubuhnya mengejang sehingga Dina mendongakkan kepalanya. Cairan vaginanya membasahi penisku dan semakin licin. Ini makin membuatku mau keluar ditambah aroma pheromonenya yang sexy.

“Din, aku juga mo keluar nich..” Dina yang masih keasyikan memelukku dan menjawab..
“Di dalem aja..” Denyut vaginanya makin membuatku cepat keluar dan..
“Argh..”

Penisku memancarkan spermanya di dalam vaginanya. Aku duduk, Dina masih kugendong. Kami berpelukan erat beberapa saat, lalu kucium dia.

“Ann, trims ya. Enak banget. Ntar lagi ya”
“OK, sayang”

Lalu kami beristirahat sebentar kira-kira 15 menit sambil aku memegangi payudaranya, eh ternyata nafsunya bangkit lagi.

“Lagi Yuk”, ajakku.
“Yuk” timpalnya.
“Gimana kalau kamu yang menjilat penisku, mau kan?”
“OK”

Lalu dia pun mulai memegang penisku, rupanya penisku sudah mulai bangkit setelah mengeluarkan lahar panasnya. Dia jilat, sambil dikocoknya. Ohh enak banget, nggak sampai 15 menit rupanya aku sudah mau mengeluarkan sperma lagi.

“Dina, aku mo keluar nich..”

Kocokannya dipelankan dan Dina memegangi penisku lalu mulutnya menutupi kepala penisku. Lalu crot.. Aku keluarkan spermaku. Nikmat sekali, Dina menelannya dan menjilati sisa spermak tanpa sisa.

“Kamu telen ya” pintaku.
“Iya, abis enak sih” jawabnya sambil masih menjilati penisku.
“Gimana, suka?”
“Suka banget, kalau setiap hari gini sih, kayak di sorga aja” Aku tersenyum.
“Aku juga suka ngoralin cewe”, sahutku.
“Dina sudah ngasih dua lubang yang membuatku nikmat”, kataku.
“Tapi aku masih mau lubang yang ketiga”
“Yang mana?” tanyanya.
“Anusmu”
“Maksudmu anal sex?”
“Yup, mo coba?” sahutku.
“Boleh, tapi gimana?”
“Kamu bawa jelly?” tanyaku.
“Buat apa?”
“Biar jadi pelumas di analmu, khan beda dari vagina. Kalo anal sex, harus pake pelumas biar gak sakit”
“Ada, tuch di dalam tasku. Kuambil ya”

Benar-benar aku menikmati Dina. Dia kembali dengan jelly. Kusuruh dia menungging lalu kujilati anusnya dan kubasahi penisku dengan jelly. Kusodokkan penisku ke analnya. Perlahan. Dina kesakitan pada awalnya, baru setelah 1/2 penisku masuk dia mulai santai.

“Ayo Ann, goyang”

Kugerakkan penisku maju mundur sambil kupegangi pundaknya untuk lebih memantapkan sodokanku. Tanganku yang lain memainkan klit-nya dan sesekali kuremas-remas dadanya. Jepitan analnya kencang sekali hingga sesekali kutambah pelumasnya. Ketika kutidurkan Dina di atas meja, dia sangat menikmatinya. Dan aku pun menjilati nipples-nya, serta memainkan klit-nya dengan tanganku. Cairan yang keluar dari vaginanya turun ke bawah menjadi pelumas. Licin sekali.

“Ann, kamu.. Gila yaa.. Tapi aku.. Suka”

Kupercepat kocokanku dan aku merasakan denyut di penisku. Aku mau keluar, cepat-cepat kucabut dan kumasukkan ke dalam mulut Dina. Dina telah siap dan crot.. Spermaku muncrat kembali, lagi-lagi Dina membersihkan perlahan. Kugendong dia ke tempat tidur. Kami berbaring berpelukan, lalu kumasukan penisku lagi ke dalam vaginanya.

“Mau lagi ya Ann, tapi aku masih cape, abis 3 lubangku kamu pake semua sih”
“Nggak, aku juga masih cape, nggak apa-apa kan, biar enak aja penisku dalam vagina kamu”
“Iya deh”, ujarnya.
“Ryan.. Sayang.. Terimakasih..”, ujarnya lagi.
“Aku juga Dina”, balasku sambil membelai rambutnya lalu kami tertidur.

*****

Demikianlah pembaca, mungkin cerita ini tidak terlalu merangsang nafsu seks anda, tapi kisahku ini adalah pengalaman apa adanya.

Tamat

Mistis cinta di pulau terpencil – 1

Hembusan angin laut datang silih berganti meninggalkan bunyi mencicit pada ruas tali temali dan tiang utama diatap kapal, yang diatasnya bertengger lampu berwarna merah dan hijau sebagai pemandu diwaktu malam. Alun yang datang dalam gulungan besar, laksana permadani raksasa berwarna biru, menggulung, mengunung dan seolah mau menelan kapal kayu yang sudah renta termakan asinnya air laut.

Bunyi mesinnya terdengar begitu ringkih, apalagi ketika haluan kapal mesti menyeruak, menembus gulungan alun yang memutar tiada henti dan menyisakan buih putih ketika memecah. Dilangit tak ada camar, awan hitam menggelantung menyisakan ujung runcing di kejauhan badai sedang berputar tepat dijalur yang mesti kami lalui agar dapat mancapai pantai Padang.

Para penumpang kelihatannya berusaha agar tertidur dan dapat sejenak melupakan bayangan ombak serta gelombang maupun angin badai yang sedang bergolak dan menakutkan. Hanya bunyi ombak yang tak henti mendesis ketika pecah dilambung kapal dan bunyi deritan panjang yang keluar dari persendian kapal kayu, yang sudah kering termakan umur. Bunyi deritan itu seperti sudah kukenal dengan baik.

“Dimana? Aku toh bukan pelaut ?”

Aku membatin dalam hati sambil terus memusatkan perhatian, menyimak derit demi derit disetiap alun yang datang dan pergi. Oh Tuhan. Betul, betul sekali, bunyi deritan itu sangat mirip dengan bunyi deritnya ranjang kayu di Mentawai, yang kering tanpa pelicin.

Oh.. Bunyi itu. Bunyi itu. Bunyi yang selalu mengiringi setiap gerak dan geliat kami, tatkala berpacu menikmati dan mereguk madu birahi yang terlarang.

“Upik.. Tolong lah. Aku sudah tak tahan lagi”

Pak Sitor menghiba sambil memegang pangkal kemaluannya yang panjang, hitam, dan berbentuk aneh. Kemaluannya sangat mirip ular cobra, kepalanya runcing mengkilat, makin ketengah makin besar dan melebar, tetapi dibagian pangkalnya kembali mengecil, keras, hitam dan kaku. Aku bergidik, merinding, membayangkan penis sebesar itu akan menusuk serta mengocok habis kemaluanku yang masih sempit karena belum pernah melahirkan dan masih dalam hitungan lima bulan semenjak diperawani suamiku.

“Pak saya takut. Jangan dulu dimasukin Pak..”

Aku mencoba menghindar ketika Pak Sitor hampir berhasil menindihku. Saat itu kami sudah telanjang bulat, aku sudah orgasme berkali kali karena ternyata Pak Sitor walaupun sudah berusia kepala empat, namun masih sangat lihai mempermainkan jari jemari serta menyedot dan memelintir kemaluanku dengan ujung lidahnya.

Diluar hujan laknat masih menderu mencurahkan air dari langit, hujan ini lah yang membuat Pak Sitor tidak bisa pulang kerumahnya, setelah menghantar aku dengan ojeknya tadi sore.

“Pak. Sebaiknya bapak tidur disini saja, sangat bahaya kalau mesti naik motor dalam keadaan hujan dan gelap begini”

Memang akulah yang menawarkan hal itu kepada Pak Sitor, aku berfikir toh dia sudah demikian akrab dan dekat dengan aku. Tiap pagi Pak Sitor menjemputku dirumah kayu ini dan mengantarkan aku ketempat kerja dengan ojeknya. Tidak pernah sekalipun dia terlambat menjemputku sehabis jam kantor, Teng… Jam empat dia sudah siap dengan motor bebeknya. Tidak ada pilihan lain selain mempergunakan ojek Pak Sitor sebagai sarana transportasi dari rumah kekantorku. Ini adalah kepulauan yang masih terbelakang, masih serba terbatas dan masih sarat dengan mistis.

“Iyalah pik.. Tapi… Dia kelihatan sedikit ragu ragu.
“Jangan kawatir Pak, aku tidur dikamar dan bapak tidur diluar, nanti akan kubentangkan kasur”

Tiba tiba listrik padam, gelap menerpa disekeliling kami.

“Wah upik. Kau lihat tak, tadi korek apiku kutarok dimana ya”
“Tidak Pak.. Saya nggak lihat. Waduh gelap sekali Pak”
“Oup”

Tiba tiba kami bertubrukan, secara reflek Pak Sitor memelukku dan aku marasakan ujung payudaraku menepel erat didadanya.

“Eeh… Maaf, Upik. Aku kaget”
“Tak apa apa Pak”

Untunglah keadaan gelap gulita sehingga Pak Sitor tak tahu kalau wajahku memerah karena jengah bercampur gelisah. Tubrukan tadi telah membangkitkan rasa aneh di hatiku, rasa yang hanya pernah aku alami ketika suamiku memeluk dan membelai payudaraku. Bulu bulu halus ditengkukku tiba tiba merinding, diikuti debaran jantung yang meninggi dan kerongkongan seperti tersedak karena dadaku terasa menyesak serta nafas jadi terengah engah.

“Tidak. Tidak.. Ini tidak boleh terjadi..”

Aku bergumam meyakinkan diri sendiri. Pak Sitor adalah tukang ojek yang terlebih dahulu kenal dengan suamiku, ketika beberapa bulan lalu dia berada disini sebelum berangkat ke Australia untuk tugas belajar.

“Dik. Sini aku kenalkan dengan Pak Sitor. Yang kemaren motornya kupinjam dan kita pakai jalan jalan”

Demikian suamiku memperkenalkan Pak Sitor kepadaku. Tidak ada yang istimewa dari penampilan Pak Sitor, kulitnya hitam tebakar matahari pulau yang selalu menyengat. Hanya saja badannya masih kelihatan kekar walaupun usianya hampir sebaya dengan ayahku. Pangkal lengannya padat berisi, dadanya bidang dan tegap, sementara wajahnya membayangkan watak keras dan pantang menyerah yang khas dimiliki orang orang dari Sumatera Utara. Belakangan baru aku tahu kalau Pak Sitor itu dulunya adalah kuli angkat barang di Teluk Bayur, pantaslah tubuhnya kekar dan tegap.

“Upik….”

Aku menarik tanganku dari genggaman Pak Sitor yang agak kasar dan keras, ketika kami bersalaman.

“Oh. Ini ya istri kau, Uda!”

Pak Sitor selalu menyebut dan memanggil suamiku dengan sebutan uda. Aku tahu itu panggilan yang keliru, karena uda adalah sama dengan panggilan Mas kalau di Jawa, sedangkan Pak Sitor pantasnya malah kami panggil ayah.

“Bah. Tak usah kau persoalkan kan lah masalah itu, aku kalau ketemu orang Jawa selalu kupanggil Mas. Tak ada yang protes”

Demikian sanggahan Pak Sitor ketika kami berusaha memberitahu dia mengenai ketidak tepatan panggilan uda kepada suamiku.

“Waduh kasian sekali kau Upik, masih penganten baru mau ditinggal pulak. Macam mana itu..!”
“Itulah Pak. Makanya aku titip istriku sama bapak, tolong jaga dia, antar dan jemput dia kekantornya setiap hari, dan untuk itu bapak akan dapat bayaran spesial dari kami. Tapi”

Aku ingin membantah tetapi suamiku telah memotong kata kataku dengan cepat sambil memeluk mesra bahuku.

“Sudahlah. Aku tahu Pak Sitor akan menjaga kamu dengan baik”

Jauh didalam lubuk hatiku, aku tidak setuju dengan keputusan suamiku, aku sedikit takut melihat penampilan Pak Sitor yang terlalu macho buat orang seusia dia.

“Tenang saja lah kau Uda. Dia akan kujaga dengan baik, akan kupastikan tak ada satupun orang lain yang bakal mengganggunya dipulau ini.”
“Terima kasih Pak”

Suamiku menjawab sambil menggamit tanganku dan mengajakku memasuki rumah kami. Itu dalah hari terakhir suamiku berada di pulau besamaku, sebentar lagi aku mesti ke dermaga mengantar dia untuk kembali ke Padang dan terus ke Australia selama satu setengah tahun dalam rangka tugas belajar dari perusahaannya.

Tidak ada lagi airmata ketika aku melepasnya dipelabuhan, semua sudah tumpah ruah tatkala semalaman kami bercinta habis habisan. Airmata dan air kemaluan kami mengalir menyatu dalam setiap pori kenikmatan yang kami pacu ronde demi ronde, seakan ingin menimbun stock orgasme buat hari hari penuh penantian selama kami berpisah.

Seiring perjalanan waktu, hubuganku dengan Pak Sitor semakin akrab, kekakuanku sedikit demi sedikit mulai mencair. Sesuai typical orang dari utara Pak Sitor bersifat terbuka, terus terang dan pemberani. Beberapa kali aku diganggu lelaki iseng sewaktu mau kepasar atau pulang jalan-jalan, tetapi semua mereka berubah hormat kepadaku begitu Pak Sitor menegur dan memarahi mereka.

“Eh.. Hati hati kau. Jangan ganggu si uni itu, atau kau diberi ketupat bangkahulu oleh lae Sitor”

Begitu yang pernah kudengar bisik bisik mereka. Suatu pagi aku kaget ketika Pak Sitor datang tidak sebagaimana biasanya.

“Lho.. Pak kok motornya diganti”
“Iyalah ini berkat bayaran yang kau berikan tiap bulan itu”
“Tapi motor kemaren kan masih bagus Pak”
“Betul tapi kurang kuat. Apalagi jalanan kan tambah rusak sejak musim hujan ini”

Betul juga, tidak jarang aku mesti turun dulu ketika motor memasuki lobang yang cukup besar karena motornya tidak sanggup membawa beban 2 orang. Sekarang motor Pak Sitor adalah Yamaha Rx King, memang lebih kuat dan lebih kencang walaupun hanya motor second.

Semenjak memakai motor baru, aku merasakan adanya kontak bodi yang lebih intens antara aku dan Pak Sitor, khususnya ketika kami berboncengan. Desain tempat duduk motor yang tinggi dibagian belakang serta posisi dudukku yang menghadap kedepan membuat tonjolan payudaraku sering menyentuh punggung Pak Sitor ketika motor direm mendadak atau memasuki lobang.

Pada awal awalnya aku berusaha agar hal itu tidak terjadi dengan menempatkan tasku sebagai pembatas, tetapi hal tersebut membuat aku hampir jatuh ketika motor masuk lobang dan tasku ikut bergeser seakan mau jatuh, reflek aku memegangnya, akibatnya peganganku ke sadel motor terlepas dan aku hampir terpelanting.

“Bah. Hati hati kau Upik, bisa bahaya kalau kau lebih perlu sama tas dari pada keselamatan diri kau!”

Pak Sitor memperingati aku dengan sedikit keras karena akibat pergerakan tubuhku tadi, motornya hampir masuk selokan.

“Maaf Pak. Aku nggak sengaja”
“Ya sudahlah… Sini tas kau akan kutarok di tengki bensin agar kau lebih leluasa berpegangan”

Akhirnya akupun menyadari bahwa Pak Sitor sepertinya sengaja melarikan motornya dengan kencang dan tiba tiba direm dengan mendadak agar payudaraku bisa menempel ke punggungnya. Semula aku sempat marah tetapi lama lama ada suatu dorongan dari hatiku. Kenapa nggak dinikmati aja, cuma nempel aja kok!

Terus terang tiap kali payudaraku menempel dipungung Pak Sitor, biasanya dia akan meliukkan motornya kekikri dan kekanan sehingga punggungnya terasa bergesekan dengan puting susuku. Aku memejamkan mata menikmati sensasi liar itu. Aku tahu dengan pasti Pak Sitor juga menikmatinya, tetapi kami sama sama diam dibawa angan masing masing. Kadangkala ketika rumahku tinggal beberapa meter lagi Pak Sitor sengaja membelokkan motornya..

“Upik.. Nanti aku akan langsung pulang kerumah. Jadi aku tambah bensin dulu ya”
“Iya.. Pak”

Bersambung . . . .

Mistis cinta di pulau terpencil – 3

Oh… Setiap gerakan jemari Pak Sitor menimbulkan getaran hebat kesekujur tubuhku. Permukaan tangannya yang kasar menimbulkan sensasi dan halunisasi yang belum pernah kurasakan selama ini.

“Upik…. Biar kuhisap puting susu kau ya”

Aku hanya diam. Dua kutub fikiran yang bertentangan berkecamuk didalam otakku, sebelah ingin menolak perlakukan Pak Sitor tapi sebelah lagi mendorong aku untuk menikmatinya.

“Jangan… Pak”

Aku berkata jangan… Tetapi tangan kiriku justru bergerak sendiri memegang payudaraku dan menuntunnya ke bibir Pak Sitor. Pak sitor menghisap putingku dengan gemasnya, aku betul betul sudah tak punya perlawanan lagi. Pasrah dan berharap Pak Sitor segera melumat seluruh permukaan tubuhku.

Vaginaku berdenyut kencang sekali, bibir bibirnya saling merapat dan merenggang seirama hisapan Pak Sitor di payudaraku. Aku dapat merasakan sesuatu sedang bergerak jauh dari dalam rahim ku. Rasa itu makin lama makin dekat menuju clitorisku dan rasa itu mendorong cairan hangat mengaliri permukaan dan dinding dinding vaginaku.

“Upik…. Tak enak kita dilantai ini”

Pak Sitor memangku tubuhku menuju kamar dan menidurkan akau ditempat tidur kayu satu satunya dirumahku. Satu demi satu pakaian dalamku dilorot Pak Sitor dari tempatnya, aku telentang pasrah tanpa sehelai benangpun, kulitku yang halus dan putih mebuat mata Pak Sitor tambah beringas. Bibirku sedikit terbuka terdorong rasa haus sex yang terbangun akibat rabaan dan remasan Pak Sitor tadi.

Tanpa dapat aku tahan pangkal pahaku telah terbuka dengan sendirinya, aku merasakan cairan hangat mengalir disela sela bibir vagina dan turun membasahi pangkal pahaku. Pak Sitor telah melempar semua pakaiannya, tubuhnya yang kekar laksana raksasa dalam siluet keremangan cahaya lampu. Dia menaiki tempat tidur dari arah kakiku dan dia berjongkok diantara kedua selangkanganku.

Tiba tiba kedua tangannya memegang dengkulku dan mendorongnya kekiri serta kekanan, kini vaginaku telah terbentang lebar dihadapannya. Badannya menunduk dengan pelan, aku merasakan kecupan hangat tepat dilobang pusarku. Aku menggelinjang karena rasa geli dan ransangan yang menghunjam dan mengharu biru semangat kewanitaanku.

Kedua tangannya terbentang lurus keatas, menggapai pucuk runcing payudaraku, sementara kepalanya bergerak turun menapak bulu halus yang menutupi bagian atas vagina ku. Aku dengar suara berguman yang tak jelas ketika mulut dan lidah Pak Sitor mulai menyibak dan menggelitik bibir kemaluanku.

Oup… Pinggulku seperti telompat ketika ujung lidah Pak Sitor menyapu dan menjilat clitorisku. Sementara tangannya masih tetap asyik meremas dan mencubit halus kedua payudaraku. Cairan bening dan hangat telah tumpah membasahi bibir dan mulut Pak Sitor, aku dengar bunyi kecipak.. Ketika lidah Pak Sitor begerak cepat dan memutar dipermukaan vaginaku.

Panasnya ludah dan lidah Pak Sitor telah membuat nafsu dan gairahku hampir mencapai puncaknya. Lidahnya makin kencang menusuk lobang vagina dan bibirnya semakin kuat menghisap clitorisku.

“Pak… Terus Pak… Hisap… Hisap… Hisap”

Aku berkata sambil terengah engah.. Karena dorongan kenikmatan yang luar biasa sedang menjalar jauh dari dalam tubuhku menuju kearah vagina. Dia terus bergerak seperti rasa buang air kecil yang sengaja ditahan tahan. Setiap kali Pak Sitor menghisap clitorisku maka dorongan itu semakin kuat dan terus mendekat kepermukaan vaginaku.

“Pak.. Lidahnya Pak… Tusukkan kedalam.. Yah… Ya… Didindingnya Pak… Jilat!!”

Aku semakin menekan kepala Pak Sitor agar lidahnya dapat lebih dalam lagi menusuk vagina ku. Tiba tiba dia melakukan gerakan yang tidak aku sangka sangka, vaginaku dia buka lebar lebar dan mulutnya menghisap habis semua lendir serta cairan yang ada divaginaku.

“Ooh… Pak… Aku nggak tahan… Aku lleepass”

Cairan putih bening itu.. Langsung hilang kemulut Pak Sitor, dia begitu lahapnya menelan dan membersihkan vaginaku dengan lidahnya.

“Pik… Sekarang giliran aku ya, coba kangkangkan lagi pantek kau… Supaya gampang aku tembus”
“Pak… Jangan dulu aku takut”

Kulihat Pak Sitor telah siap menusukkan penisnya yang hitam legam dan laksana ular cobra dengan kepala besarnya. Tangan kanannya mengenggam penis itu sambil tetap mengosok gosok bagian ujungya.

“Wah… Tak apa apa pik, toh… Lobang pantekmu sudah basah semua, gampang lah masuknya.”

Aku tidak dapat lagi mencegahnya, dia membungkuk diatas perutku, ujung penisnya diletakkan tepat dilobang vaginaku. Baru ujungnya saja sudah hampir menutup semua lobang itu, bagaimana kalau dia mendorongnya masuk.

“Pak… Pelan pelan ya”
“Tenang kau Upik…. Asal kau kangkangkan yang, lebar pasti enaklah masuknya”

Badan Pak Sitor makin membungkuk, bibir dan lidahnya melumat habis bibir dan mulutku, sebelah tangannya bertumpu ke pinggiran dipan kayu yang kami tiduri sedangkan sebelahnya siuk meremas paudaraku.

“Ouh… Pak… Aku basah lagi”

Sedotan kencang dibibirku membuat naluri nafsu kewanitaanku kian mengganas dan remasan kasar di payudaraku menimbulkan rasa nikmat yang luar biasa yang mendorong vaginaku kembali mengembang dan mengeluarkan cairan.

Aku rasakan pantat Pak Sitor mulai menekan dengan pelan, aku takut membayangkan kontol hitam besar tesebut akan merobek vaginaku, aku coba sedikit mengeser pantatku tetapi percuma karena ujung runcing kontol Pak Sitor telah mulai memasuki pitu gerbang kemaluanku.

“Upik…. Jangan bergerak kau… Nanti kontolku meleset bisa luka pantekmu… Diam saja sampai aku masuk semua”
“Iya… Pak… Tapi… Jangan.. Masukkan semua”

Aku makin merasakan bagian kepala kontol Pak Sitor telah menyeruak kedalam lobang vaginaku, aku juga merasakan dengan pasti betapa sesuatu seperti mengganjal diselangkanganku, tetapi tidak seperti yang kubayangkan ternyata tidak menimbulkan rasa sakit.

Karena posisi Pak Sitor yang membungkuk membuat pangkal kontolnya yang keras terus menekan dan menggosok clitorisku. Semakin kencang dia menusukkan kontolnya semakin enak pula aku rasakan.

“Oh… Pak…. Tekan yang kuat Pak… Iya…. Yang kencang Pak”
“Sudah habis masuk semua Upik…. Oh.. Tinggal bijinya yang masih diluar”
“Pak… Bijinya mengenai bawah pantekku Pak… Waduh… Enak Pak… Terus Pak”

Tak ada lagi yang lain difikiranku, yang aku rasakan saat ini hanyalah nikmatnya genjotan Pak sitor yang makin lama makin kencang… Sekaligus mengeluarkan bunyi berkecipak karena vaginaku betul betul telah mandi madu nikmat

“Pak.. Pelankan dikit… Nanti dipanku bisa patah”
“Biar aja Upik…. Besok kubetulkan kalau patah”

Dipanku hanya dipan kayu biasa.. Dan tiap gerakan mengocok yang dilakukan Pak Sitor selalu diiringi bunyi berderit dari kayu dipan yang sudah kering.

“Pik… Angkat sedikit pantat kau… Biar kontolku tepat menusuknya”
“Iya Pak… Nih.. Tusuk yang keras Pak”
“Oh oh oh…. Pik aku mau lepas”
“Aku juga.. Pak”
“Boleh didalam tak”
“Terserah… Pak.. Ayo… Aku datang…. Oh”

Gerakan Pak Sitor makin menggila sementara kedua lengannya erat memeluk pinggangku. Membuat tubuh kami bagian bawah betul betul menyatu dan tusukan kontolnya begitu dalam menghunjam. Aku rasakan tiba tiba tubuhnya mengejang.

“Oh… Upik… Aiirrnya… Tumpah ohh”

Semprotan hangat terlepas bertubi tubi dari ujung kontol Pak Sitor, setiap semprotan diiringi oleh getaran kepala kotol yang terasa neggelitik bagian dalam vaginaku.

“Oh… Pak…. Tusukkan lagi Pak… Aku hampir sampai”

Pak Sitor menarik kontolnya dan kembali menusukkan dengan kekuatan penuh.

“Oh… Siitoor aku… Keluar… Lepas… Sitor”

Aku berteriak sekuatnya, ketika rasa nikmat orgasme itu, menjalar dari bagian dalam rahimku, bergerak keluar dan lepas di clitoris yang tertekan pangkal kontol Pak sitor yang masih berdenyut kencang. Derit dipan kayu semakin kuat terdengar “Nyeit… Nyeit… Nyeit” dan tiba tiba aku merasakan getaran hebat menguncang dipan tempat tidurku.

Aku seperti tersadar oleh getaran tadi. Aku melihat sekeliling, dimana Pak Sitor, aku memegang selangkanganku. Masih kering dan aku masih memakai celana panjang.

“Muaro… Muaro… Padang… Padang”

Aku tersentak dari lamunanku, getaran hebat yang tadi aku rasa ternyata ditimbulkan oleh benturan kapal ke dermaga. Nun disana.. Kulihat seseorang melambaikan tangannya. Dia adalah suamiku. Aku sangat menyesali atas semua yang menimpaku selama aku tinggal dipulau itu, aku telah menjadi korban kehebatan ilmu hitam Pak Sitor yang dia pelajari dari penduduk setempat. Kupeluk erat suamiku, kutumpahkan tangis dan rinduku didadanya

“Uda… Maafkan Upik….”
“Sudahlah Upik…. Itulah sebabnya Uda mengirim Inyiak dukun untuk menjemputmu, karena dari jauh dia sudah tahu kalau kamu kena diguna-guna”
“Mari sayang kita lanjutkan bulan madu kita yang terputus, aku sudah tak sabar ingin mencium wanginya aroma vaginamu”
“Ah Uda”

*****

Demikian kisah nyata diatas diceritakan oleh pelakunya sendiri, sekarang mereka telah kembali berkumpul dan sedang berbahagia menungu kelahiran anak mereka yang pertama. Anda punya cerita juga! Kenapa tidak kita nikmati bersama! Kirimkan ke emailku untuk kita teruskan kepada segenap pencinta, penikmat dan penghamba keindahan sex.

Tamat

Mistis cinta di pulau terpencil – 2

Aku tahu itu hanya akal akalan Pak Sitor agar aku lebih lama duduk diboncengannya dan diapun dengan sengaja menempuh jalan memutar menuju ke kedai bensin. Sampailah pada suatu sore dimana dikantorku begitu banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari itu juga, karena laporannya mesti dikirim dengan kapal besok pagi ke kota Padang.

“Pak, Aku pulang habis magrib jadi bapak kesini aja nanti ya”

Aku memberi tahu Pak Sitor ketika jam empat tadi dia sudah standby di depan kantorku.

“Oh, Iyalah, kalau begitu bisalah awak narik satu dua tarikan lagi ya”

Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum dan Pak Sitor segera berlalu dengan cepat. Pak Sitor datang tepat waktu, pas habis magrib dia sudah membunyikan klakson motornya didepan kantorku yang gelap karena tidakpernah ada lampu penerangan.

“Iya Pak. Sebentar aku rapikan kertas dulu”

Aku menyahuti panggilan klakson Pak Sitor yang sudah ber tit tit tit berkali kali, didalam hati aku ngedumel. Nggak sabar amat sih jadi orang!

“Bah, Lama kali kau. Aku kawatir nanti kehujanan, kau lihat lah langit itu. Sudah mau runtuh dia”
“Oh.. Maaf Pak saya kira gelap karena udah malam aja”
“Habis kau dari pagi sampai malam begini cuma melotot melihat kertas yah.. Mana kau tahu mau hujan apa tidak!”

Aku segera melompat menaiki sadel motornya, kulihat langit memang sudah hitam pekat dan angin bertiup dengan kencang seperti mau mematahkan barisan pohon nyiur yang berderet dipinggir pantai.

“Kau pegang yang kuat ya. Aku mau kencang dikit biar tak kehujanan kita”

Belum sempat habis omongannya, motor sudah berjalan dengan kencang, mau tak mau aku harus memeluk tubuh Pak Sitor dari belakang. Nafasku mulai terasa sesak begitu merasakan sentuhan punggung Pak Sitor pada payudaraku. Sentuhan itu mengirimkan ransangan melalui puting susu dan menjalar kesekujur tubuh serta membuat bulu bulu halus dikudukku jadi meremang.

Pandanganku nanar, tubuhku terasa lunglai, apalagi aroma rambut Pak Sitor yang asli dan alami telah mempercepat degup jantungku, akhirnya kurebahkan tubuhku sepenuhnya memeluk erat punggung Pak Sitor. Aku tak peduli lagi motor itu mau kencang atau tidak, aku tak peduli hari mau hujan atau tidak. Yang ada dihati dan otakku adalah rasa senang bisa menikmati duduk berdempetan dengan laki laki.

Ingin rasanya tangan ku kuturunkan dari pingang ke selangkangan Pak Sitor tetapi rasa malu masih tersisa jauh dilubuk hatiku, niat itu aku urungkan hanya pipiku yang kutempelkan tepat didibawah ujung rambut Pak Sitor. Melalui kupingku dapat kurasakan getaran hebat sedang terjadi ditubuh Pak Sitor, jantungnya bedebar kencang dan motorpun jadi melambat. Tubuh Pak Sitor yan biasanya membungkuk memegang stang motor, sekarang berdiri tegak dan duduknyapun seperti sengaja digeser lebih kebelakang.

Tanpa kusadari posisi dudukku sekarang sudah semakin mengangkang, apalagi jalanan sepi serta gelap gulita, maklum daerah terpencil dan ditambah lagi dengan keadan hujan yang akan segera turun. Aku pakai celana panjang dengan bahan dasar yang cukup tipis sehingga aku dapat merasakan bagian alat vital ku menempel ketat ke pinggang Pak Sitor. Pelukanku semakin rapat dan denyut jantung serta denyut vaginaku berpacu dipinggang dan punggung Pak Sitor.

“Upik… Kita sudah sampai”
“Oh”

Aku terperanjat dan kaget, karena konsentrasiku pada saat itu hanya sebatas payudara dan vaginaku yang terasa mulai basah. Setelah lebih sembilan bulan ditingal suamiku ke Australia, tuntutan kebutuhan bathin itu semakin hari semakin menggila, tak heran sedikit saja tersentuh alat vitalku segera bereaksi.

Begitulah awal mula dari malam laknat tersebut terjadi antara aku dan Pak Sitor.

“Bah.. Lama kali lampu ini padam, biasanya setengah jam sudah nyala lagi”
“Iya Pak.. Mungkin ada pohon tumbang dan memutus kabel listrik, maklum angin dan hujan kencang begini”

Aku harus berteriak memberikan jawaban, karena suara ku hilang disela sela gemuruh air hujan yang mengguyur atap rumah yang terbuat dari seng.

“Upik sudah jam berapa ini”
“Hampir jam sepuluh Pak.” Jawabku
“Aku harus pulang… Hujan begini bisa bisa besok pagi baru berhenti”

Pak Sitor berkata sambil berdiri dan menggulung kaki celananya. Saat itulah tanpa kusadari ada sesuatu yang medorong mulutku untuk bicara, aku sudah berusaha menolak bisikan itu tapi aku tak kuasa. Dia seperti datang dari jauh membisikkan kata dengan penuh gema dan kekuatan gaib.

“Upik… Jangan biarkan dia pulang. Hanya dia satu-satunya manusia yang dapat menemanimu dalam gelap seperti ini”

Aku seperti mencium bau wangi yang aneh yang datang entah dari mana.. Ya.. Itu bau kemenyan putih yang dibakar.

“Hai Upik.. Kenapa kau melotot seperti itu.. Apa yang kaulihat”

Pak Sitor menghampiriku dalam keremangan lampu dinding, aku masih terkesima oleh bisikan dan wanginya bau kemenyan itu.

“E.. E h nggak Pak, Nggak apa, maksud sa.. ya… Tidak aku tidak boleh mengatakan itu. Aku coba melawan bisikan gaib itu.
“Eh macam mana kau ini. Ada apa Upik, kok kau seperti melihat hantu… tak perlu takut Upik, dalam hujan lebat begini jangankan orang, hantu saja sudah segan jalan keluar, jangan kawatir..”

Pak Sitor seperti sengaja memberikan intonasi yang berat ketika mengucapkan kata hantu… apakah dia tahu kalau aku memang sangat takut dengan hantu. Walaupun aku belum pernah melihat hantu itu seperti apa.

“Kalau dia pergi kau akan tinggal sendiri dalam gelap dan sunyinya malam!”

Bisikan itu kembali datang mendera, sementara bau kemenyan semakin semerbak membuat kepalaku mulai pusing. Ketakutan tiba tiba menyelimuti segenap jiwa dan ragaku, aku mulai kehilangan kontrol atas fikiran warasku.

“Pak… Jangan pulang”

Kata kata itu terlempar dan keluar dari mulutku begitu saja, aku tak menghendaki perkataan itu tapi aku juga tak kuasa mencegah bibirku untuk mengucapkannya.

“Diluar gelap Pak dan hujan masih deras nggak usah pulang”

Aku semakin kehilangan orientasi, tubuh dan jiwaku seperti dikusai sesuatu, aku tak berdaya untuk bertindak dan berfikir sesuai keinginanku, oh Tuhan..Kekuatan apa yang telah merasuk kejiwaku.

“Baiklah, aku temanin kau malam ini, tapi tolong panaskan air aku ingin minum kopi”

Seperti robot aku mengikuti permintaan Pak Sitor, aku ingin membantah dan bicara, tapi lidahku kelu dan sama sekali tak bergerak ketika otakku memberikan perintah.

“Wah sedapnya kopi buatan kau ini Upik, sama seperti orangnya manis”

Pak Sitor tiba tiba sudah merangkul bahuku dan kepalaku jatuh dalam pelukannya. Aku hanya diam, kemana kekuatan dan keberanianku selama ini. Dia bukan suamiku, dia hanya tukang ojek, tua dan hitam! Tapi aku tak kuasa menolaknya. Tepat diubun ubun kepalaku, panasnya nafas Pak Sitor menyengat tersembur keluar dari hidungnya yang pesek, seketika tubuh ku terasa kaku, dan panas itu semakin menjalar dari kepala terus kebawah.

Ketika panas itu melewati payudaraku, terasa bagaikan jari jari kekar menggelitik dan menjentik halus kedua putingnya. Payudaraku meregang keras dan memadat, kedua putingnya bagai berlomba mencuat lurus dan kaku, siap menerima remasan dan hisapan. Rasa panas yang diiringi bau kemenyan nan makin menyengat terus menelusuri permukaan tubuhku, aku tidak lagi duduk dipangkuan Pak Sitor tapi sudah terbujur kaku didepannya.

Rasa panas itu sekarang mengelinding dari pusar turun ke arah kemaluanku, bulu bulu halus kemaluanku serentak berdiri bagai dikomando. Perasaan aneh menyelimuti fikiranku, aku bagaikan terbang dan melayang, vaginaku bagai tersengat aliran listrik, berdenyut, mengembang dan menguncup sendiri tanpa bisa kutahan, aku begitu teransang oleh harumnya bau kemenyan dan aliran udara hangat itu.

Aku dapat merasakan denyutan vaginaku semakin kencang dan dari dinding bagian dalamnya aku dapat merasakan aliran cairan hangat menyeruak kepermukaan. Celana dalamku mulai basah dialiri cairan itu, pinggulku tak kuasa kutahan untuk tidak bergerak turun naik.

Tiba tiba secercah cahaya datang menimpa wajahku, aku kaget dan seperti terbangun dari mimpi. Persis dihadapanku bola pijar 40 watt sudah menyala listrik kembali hidup.

“Pak… Aku kenapa”
“Wah tak apa apa Upik… Kau hanya tertidur dan menggigau… Mungkin kau kecapean”

Sepintas aku melihat Pak Sitor memegang sejumput daun daunan ditangan kanannya sedangkan tangan kirinya sibuk mengipas perapian kecil yang entah datang dari mana. Diatas bara kelapa, onggokan kemenyan mengeluarkan asap dan bau yang beraroma kemitisan.

“Upik… Kau sedang capek, sekarang pejamkan matamu… Biar kupijat kau”

Aku ingin berontak. Aku ingin lari, aku ingin berteriak, tetapi kemana tenagaku. Kemana suaraku. Aku hanya bisa terkapar diam dan pasrah. Aku tak kuasa tuk mengangkat kedua tanganku, semua persendianku seperti terkunci dan berat, hanya mataku yang masih terbuka sambil menatap apa yang akan diperbuat Pak Sitor terhadap tubuhku.

Pak Sitor mencelupkan daun daunan ke air kembang di dalam baskom plastik hijau, yang biasa kugunakan buat menarok kain cucian.

“Wah tubuh kau panas sekali Upik. Biar kucipratkan dulu air ini agar kau merasa segar kembali”

Tetes demi tetes air itu jatuh menerpa mukaku, setiap tetesnya kurasakan bagaikan bongkahan air es, dingin dan sangat meyejukkan.

“Sekarang santai saja dan pejamkan mata kau”

Kurasakan kedua jempol Pak Sitor menekan halus kedua alis mataku, gerakannya lembut dan teratur. Mulai dari bagian mata sebelah dalam terus keujung mengikuti garis alisku yang tipis dan tersusun rapi. Tiba tiba kedamaian dan kesejukan seperti dihembuskan kesetiap pori pori kulit dan menjalari seluruh hati dan jiwaku.

Pijatan Pak Sitor mulai turun kearah bahuku, aku sekarang bisa menikmatinya tanpa perlawanan sama sekali. Pijatan itu sedikit demi sedikit terus turun, turun mili demimili dan jari jarinya mulai menelusup kebawah bajuku.

“Upik… Sekarang kau duduk.. Biar kupijat bagian punggungmu”

Tak kuasa aku menolak, Pak Sitor persis duduk behadap hadapan denganku, hembusan safasnya panas menerpa hidungku. Kedua telapak tangannya diletakkan dibahuku, jemarinya meremas lembut batang leherku dan sedikit menyentuh pangkal kupingku.

Oh… Aku merasakan tubuhku melemas dan syahwat mulai terbangun kembali. Tangan itu masih terus menelusup kepunggungku, meraba, membelai sekaligus mengirimkan signal ransangan yang begitu kuatnya. Tangan itu tidak hanya diam disitu, dia terus bergerak dan dengan sentakan halus pengait BH ku terlepas sudah.

“Upik.. Bajumu kubuka ya… Biar lebih leluasa aku memijatnya”

Aku hanya diam dan terpejam, sekarang aku duduk tanpa baju, sementara BH masih mengantung ketahan dikedua lenganku. Pangkal payudara ku sudah tak tertutup dengan sempurna, putih kulitnya memancarkan cahaya kenikmatan dimata Pak Sitor, matanya tak pernah lepas dari situ.

“Oh.. Upik… Ini buah paling ranum yang pernah aku lihat, biarkan aku memegangnya”

Aku tidak mengerti kenapa dia mesti minta izin, karena belum lagi habis ucapannya aku sudah merasakan remasan kasar dikedua payudaraku. Remasan itu keras dan memutar, mula mula dipangkal payudara terus merambat naik menuju putingnya.

Bersambung . . . . .

Nini negosiator ulung – 1

Pada awal tahun 97, aku mendapat tugas kantor ke Singapura selama 4 hari untuk beberapa pekerjaan, aku tiba pada hari Senin sore dan pekerjaanku akan dimulai pada hari Selasa. Aku tinggal di Westin Plaza, hotel paling tinggi, kalau tidak salah berlantai 72, sekarang namanya Swiss Hotel, kebetulan kamar dengan King Bed Size yang aku pesan sudah habis dan karena aku sering menginap di hotel tersebut, front office memberi free upgrade ke Junior Suite yang terdiri dari sebuah ruang tidur dan sebuah ruang pertemuan dengan satu set sofa dan meja makan yang terletak di lantai 66. Dari jendela kamar tersebut dapat terlihat pulau Batam. Terdapat pintu yang dapat dibuka dengan sebuah balkon di luarnya. Saat melihat ke bawah dari balkon tersebut, mobil-mobil di bawah tampak seperti layaknya mainan Matchbox.

Malam harinya setelah aku jalan jalan sebentar di pertokoan di bawah hotel, setelah makan seadanya di food court, aku kembali ke hotel untuk mempersiapkan pekerjaan besok harinya. Dalam kesendirian di kamar sebesar itu, pikiranku melayang, terlalu sayang kamar ini kubiarkan hanya untuk aku sendirian.

Esoknya, aku berangkat ke daerah Scott Road untuk memulai pekerjaanku. Aku naik MRT dari City Hall melewati 2 stasiun untuk turun di Stasiun Orchard. Sorenya waktu aku pulang ke hotel, saat pintu MRT menutup di Sommerset, aku melihat Nini baru turun dari eskalator menuju ke arah kereta yang aku tumpangi, tapi dia tidak sempat karena pintu kereta keburu menutup otomatis dan berjalan.

Hmm Nini ada di sini, dimana dia tinggal? Di stasiun berikut aku turun lalu kutunggu kereta berikutnya dan aku naik, aku telusuri untuk mencari Nini, tapi tidak kutemukan hingga di stasiun berikutnya aku sudah harus turun. Aku telepon ke rumahnya untuk memastikan. Penjaga rumahnya yang sudah mengenalku mengatakan bahwa Nini sedang ke luar negeri. Hhmm.. Benar, Nini ada di Singapura. Kutelepon HP-nya, kudengar nada sambung khas Singapura, tapi tidak diangkat. Saat itu belum jamannya SMS. Akhirnya aku lupakan saja.

Seperti biasa setiap kali aku ke Singapura, aku selalu mengunjungi bar yang berlokasi di basement Hyatt, Scott Road. Siangnya aku janjian dulu dengan Andre temanku asal Jakarta yang sudah pindah ke Singapura. Jam 8 aku tiba di sana, masih sepi, Andre sudah menunggu. Menjelang jam 10, bar itu sudah penuh, hampir seluruh kursi terisi dan banyak yang berdiri. Banyak wanita asal Indonesia dan Thai dengan dandanan seronok mencari mangsa di sana. Aku berdua dengan Andre tidak mempedulikan mereka karena aku tidak pernah tertarik pada wanita-wanita seperti mereka.

Di tengah keremangan, aku berjalan menuju toilet. Ketika sedang berdesakan mencari jalan, terasa penisku ada yang meraba, aku acuh saja, paling-paling salah satu wanita pencari mangsa itu. Saat aku ingin melanjutkan ke toilet, tiba tiba rabaan tadi berubah menjadi remasan, aku berpaling melihat si empunya tangan, begitu aku menolehkan kepalaku, sebuah bibir hinggap di pipiku, langsung aku mundur untuk melihat siapa dia..

“Deasy.. Ternyata lu toh.. Lagi di sini” ujarku surprise.

Deasy, 24 th, 165/50/34C, seorang pramugari adalah sepupu Nini yang sangat erat, hubungan mereka seperti 2 orang sahabat yang saling berbagi apa pun termasuk aku. Hanya sekali aku bercinta dengan Deasy di kamar Nini, ketika itu aku sedang berkunjung ke rumah Nini, Deasy sedang berada di sana, Nini memperkenalkan aku pada Deasy, beberapa saat kemudian Nini harus pergi, jadi aku berdua dengan Deasy di rumahnya yang besar itu. Sebelum pergi Nini berbisik..

“Kalau kamu tertarik, silakan pakai kamarku, she is an easy going girl”.

Singkat cerita akhirnya aku bercinta dengan Deasy di kamar Nini, di atas ranjangnya. Belakangan baru aku tahu, ternyata kejadian itu adalah rencana Nini. Karena Deasy ingin merasakan bercinta dengan aku setelah mendengar cerita Nini.

Sebagai seorang pramugari sebuah penerbangan nasional yang memiliki jalur ke luar negeri, Hyatt memang dipilih untuk tempat tinggal crew bila harus menginap di Singapura. Deasy bersama beberapa kawannya sesama pramugari sedang bersantai di tempat itu. Pikiranku langsung pada kamarku yang besar itu.

“Jam berapa lu take off lagi besok?” tanyaku to the point.
“Malam ke Amsterdam, lu sendiri ngapain di sini? Lama kita nggak ketemu ya” katanya.
“Agak sibuk, gua ada kerjaan di sini. Eh.. Masih suka ketemu Nini?” tanyaku.
“Sering dong, gua denger dia ke Singapore kemarin, sama lu nggak?” tanyanya lagi. Hhmm, berarti benar Nini ada di Singapore, tapi dimana dia?
“Nggak tuh, rasanya gua liat dia tadi pagi di Stasiun MRT, tapi kereta gua keburu berangkat. Sama siapa dia pergi?” tanyaku.
“Cemburu nih, gua nggak tau sama siapa, dia nggak pernah bilang sama siapanya kalau pergi” jawabnya.
“Sekarang lu sama siapa, bawa cewe nggak? Tinggal dimana” tanyanya lagi.
“Westin, sendiri, sekarang lagi sama Andre temanku, dia tinggal di sini, yuk aku kenalin, orangnya OK kok, kaya gua” ajakku.
“Apanya yang kaya lu” Deasy berbisik di telingaku penuh arti.
“Yang pasti bukan kontolnya, soalnya gua belum pernah pake dia, ntar kalo lu udah pake dia, tolong kasi tahu sama gua ya, siapa punya yang lebih enak” godaku sambil tertawa.

Deasy pamit pada temannya lalu kugandeng dia bertemu Andre. Mereka berkenalan dan kami mengobrol kesana kemari sambil minum.

“Lu tidur sama siapa malam ini, sama captain nggak?” tanyaku menggoda.
“Weei, enak aja, tuh sama yang tadi di sebelahku, teman seangkatan” jawabnya.
“Jadi bisa tolong tidurin gua dong malam ini, kamar gua terlalu besar buat sendirian” ujarku sambil tanganku mengelus pahanya di bawah meja.
“He he he, untung lu ngajak duluan, kalau nggak, gua yang maksa ikut lu, udah lama nih nggak ngerasain lu punya, ntar ya gua bilang teman-teman dulu” katanya sambil meraba penisku sebelum pergi menemui teman temannya.

“Teman teman bilang ‘silakan’, kalo enak bilang-bilang, mereka juga mau. Gua bilang ‘jaminan mutu'” katanya saat kembali.
“Kalau teman lu lagi butuh cowo, nih ada yang nganggur” aku menunjuk Andre.

Deasy memanggil teman-temannya dan diperkenalkan pada Andre. Aku dan Deasy meninggalkan tempat itu lalu dengan taxi menuju Westin pada jam 12 malam. Setiba di lift, aku tekan 66. Kami hanya berdua. Melihat itu, Deasy langsung menyodorkan bibirnya minta kucium. Kami berciuman saling melepaskan kerinduan karena lama tak bertemu. Lidahnya memasuki mulutku mencari lidahku, menyapu bagian atas dan bawah rongga mulutku sambil tangannya meremas-remas penisku.

Setiba di kamar, Deasy langsung mendorongku ke balik pintu dan menyerangku dengan ganasnya, bibir dan lidahnya menari-nari dan menjilati seluruh leherku, tangannya membuka kausku lewat atas lalu putingku habis diciuminya sementara tangannya tergesa-gesa membuka celana panjangku hingga tinggal CD yang melekat di tubuhku. Sambil bibir dan lidahnya terus bergerilya di tubuhku, tangannya menarik CD-ku turun dan langsung menggenggam dan mengocok penisku.

“Hhmm.. Kontol kaya gini yang bikin ketagihan tau”, katanya sambil berjongkok.

Langsung tanpa basa basi, dimasukannya penisku ke dalam mulutnya dan dikocoknya keras-keras sambil ujung lidahnya bermain di kepala penisku. Lalu diangkatnya kakiku dan diletakkan di pundaknya. Lidahnya menjalar di selangkanganku sampai anusku tidak ketinggalan dijilatinya juga. Penisku kembali berada di dalam mulutnya dan jarinya ditusukkan ke dalam anusku. Aku hanya bisa mendesah keenakan.

Mendengar desahan itu, Deasy semakin bersemangat hingga mempererat jepitan bibirnya dan mendorong kepala sedalam-dalamnya sampai hampir seluruh penisku masuk ke dalam mulutnya dan memaju mundurkan kepalanya. Sekitar 10 menit kemudian, aku merasa ada dorongan sperma yang keluar dari penisku, menyemprot di dalam mulut Deasy sekitar 5-6 kedutan. Deasy menelan semuanya lalu menjilati penisku sampai bersih dan lalu berdiri menciumku.

“Gila lu Des, nggak sampe 10 menit, laper banget ya, udah berapa lama mulut lu nggak kena kontol” aku berkata vulgar.
“Kalau kontol yang kaya lu punya sih.., ya udah lama” katanya.
“Jadi kena kontol lain sering dong” kataku menggoda.
“Yaah, biasalah, namanya kebutuhan he he he.., sekarang gua pengen coba lidah lu ya” kata Deasy sambil membuka pakaiannya sampai telanjang bulat.

Tiba tiba aku ada ide. Aku matikan semua lampu di kamar, aku buka seluruh gorden ke arah luar, lalu aku buka pintu keluar ke balkon. Kuajak Deasy dalam keadaan telanjang bulat seperti aku menuju balkon. Pemandangan lampu-lampu sekitar Singapura sedemikian indahnya. Deasy memegang pinggiran balkon dan aku peluk dari belakang di perutnya, perlahan tanganku naik menuju buah dadanya yang berukuran 34C, kuremas remas dan kupermainkan putingnya, kujilat belakang lehernya lalu punggungnya. Deasy menolehkan kepalanya, kusambar bibirnya dan kami berciuman. Dengan tidak adanya gedung lain di sekeliling kami yang berdekatan membuat suasana lebih menggairahkan.

Perlahan aku berjongkok, kujilati dari pinggang melewati garis pantatnya, sedikit mengenai vaginanya lalu lidahku kuturunkan menuju paha dan betisnya. Aku balik lagi mendaki menuju selangkangannya dan mulai mencari vaginanya. Deasy semakin menungging dan membuka kakinya lebar-lebar memberi jalan pada lidahku untuk mencapai liangnya. Kujulurkan lidahku ke dalam liang vaginanya, dengan posisi itu otomatis hidungku tepat menempel di anusnya, tapi aku teruskan mengorek-ngorek vaginanya dengan lidahku.

“Aac.. Yeess.. Ennaannkk Viirr, teeruus Viirr” Deasy berteriak di alam terbuka sekencang kencangnya. Tidak akan ada yang mendengar atau melihat kecuali pakai teropong tentunya.

Bentuk badan Deasy sudah menekuk 90 derajat hingga buah dadanya menempel pada reiling balkon, kedua tangannya sekarang menjulur ke belakang dan membuka belahan pantatnya. Hhmm.. Tak akan pernah kutolak apa yang disodorkan oleh Deasy, aku tahu apa yang harus aku lakukan, karena ini memang kegemaranku.

Kujulurkan lidahku mencari anusnya, lalu kumasukkan 2 jariku ke dalam vaginanya. Deasy membuka belahan pantatnya semakin lebar sehingga memudahkan lidahku untuk bergerilya di anusnya. Kocolok-colok, kumasukkan ujung lidahku dan kuputar di dalam lubang anusnya beberapa kali. Terasa kontraksi vagina Deasy di tanganku dan Deasy berteriak..

“Viir.. Gua.. Keluar viirr..” teriaknya. Terasa kontraksi vagina Deasy di jariku yang tertanam di situ dan Deasy menggelengkan kepalanya berkali-kali sampai akhirnya lunglai tubuhnya lemas terduduk menimpaku di balkon tersebut.
“Gila lu ya, makin jago aja lidah lu, padahal baru beberapa bulan nggak ketemu, pantesan Nini nempel terus sama lu” katanya.

Aku tarik Deasy menuju ranjang, lalu kami tiduran beristirahat sambil menonton TV. Perlahan kukecup kening Deasy dan tangan Deasy merayap ke arah penisku yang masih lemas. Deasy meletakkan kepalanya di perutku menghadap ke arah TV. Otomatis penisku ada di depan matanya. Sambil menonton dijilat-jilatnya ujung sampai lingkaran kepala penisku. Dengan cara menjilat dan menghisap diselingi dengan gigitan kecil, perlahan-lahan penisku membesar dan mengeras di dalam mulutnya.

“Viir..,.. Masukin ya.. Gua pengen ngerasain kontol lu di vagina gua” bisiknya.
“Lu mau di atas atau di bawah?” jawabku.
“Gua di atas dulu” jawabnya sambil langsung naik ke atas tubuhku.

Diarahkannya penisku ke lubang vaginanya. Setelah menempel, Deasy menggoyang pantatnya agar kepala penisku membelah vaginanya, lalu perlahan penisku masuk ke dalam vaginanya semakin dalam.

“Ooch..,.. Viirr.. Ennaak.. Penuh amat rasanya..” desahnya.

Deasy menekan vaginanya pada penisku sedalam-dalamnya hingga terasa ujung penisku mentok di dalam vaginanya dan kuberi kedutan. Deasy mengerang lalu memutar pinggulnya pelan makin lama makin cepat. Aku pun menaik turunkan pinggulku seirama dengan putaran pinggulnya. Tak lama Deasy berteriak histeris dan terasa vaginanya semakin licin, pertanda bahwa orgasmenya telah tiba.

Kulepaskan penisku lalu kubalikkan badannya. Deasy mengerti maksudnya, dengan bertumpu di atas lututnya, kepalanya diletakkan di atas bantal dan tangannya menjulur ke belakang membuka belahan pantatnya seperti yang dilakukannya tadi di balkon

“Viir.. Lagi dong, gua pengen ngerasain lidah lu lagi..” erangnya.

Kembali Deasy memberi hidangan kegemaranku. Aku berlutut di belakangnya, kupegang pantatnya menggantikan tangannya, lalu mulai kujilat anusnya, kukorek keras dan kutusukkan lidahku dalam-dalam. Deasy menjerit-jerit keenakan, jarinya dimasukkan ke vaginanya dan dikocoknya dengan cepat.

“Aach Viir.. Viir.. Cepat masukin kontol lu Viirr..” pintanya.

Tanpa basa basi, aku berlutut dan menusukkan penisku ke dalam vaginanya, aku hentakkan dengan keras dan langsung kugenjot dengan cepat. Deasy meraung-raung di kamar itu. Kuletakkan bantal di perutnya dan kutekan pantatnya sampai Deasy tertelungkup dan pantatnya terganjal bantal, kuluruskan kakinya rapat sehingga penisku terjepit di antara pahanya dan keluar masuk vaginanya. Kutaruh tanganku di pundaknya sebagai pegangan dan kumaju mundurkan pantatku sehingga penisku keluar masuk vaginanya dari belakang dan mengenai G-spotnya.

Bersambung . . . .

Aku seorang pelacur

Kenalkan namaku Indah. Umurku 24 tahun. Statusku bersuami dengan 2 orang anak. Pekerjaanku pelacur. Tetapi nanti dulu, jangan mencemoohku dulu. Saya bukan pelacur kelas Kramat Tunggak apalagi Monas di Jakarta atau Gang Dolly di Surabaya. Saya seorang pelacur profesional. Oleh karena itu tarip pemakaian saya juga tidak murah. Untuk short play sebesar US$ 200, dengan uang muka US$ 100 dibayar saat pencatatan pesanan dan kekurangannya harus dilunasi sebelum pengguna jasa saya sebelum menaiki tubuh saya.

Jelasnya, sebelum kunci kamar tempat berlangsungnya permainan dikunci. Short play berlangsung 1 jam, paling lama 3 jam, tergantung stamina customer. Kalau sesudah 1 jam, sudah merasa capai, dan tidak memiliki lagi kekuatan untuk ereksi, apalagi untuk ejakulasi, artinya permainan sudah usai. Semua kesepakatan ini tertulis dalam tata cara pemakaian tubuh atau jelasnya lagi tata cara persewaan kemaluan saya. Ini sudah penghasilan bersih, sudah merupakan take home pay.

Saya tidak mau tahu soal sewa kamar, minum, makan malam dan sebagainya. Semua aturan ini saya buat dari hasil pengalaman menjadi pelacur selama 3 tahun (saya berniat berhenti menjadi pelacur dua tahun lagi, bila modal saya sudah cukup). Saya tidak pernah diskriminasi, apakah pembeli saya itu seorang pejabat atau konglomerat. Pokoknya ada uang kemaluan saya terhidang, tak ada uang silakan hengkang. More money more service, no money no service.

Biasanya para langganan yang sudah ngefans betul pada saya masih memberi tips. Setelah persetubuhan selesai, saya akan menanyakan, “Bapak (atau Mas) puas dengan layanan saya?” Jawabnya bisa macam-macam. “Luar biasa!” mengatakan demikian sambil menggelengkan kepalanya. Atau ada yang menganggukkan kepala, “Biasa!”. Tetapi ini yang sering, tanpa berkata sepataHPun memberikan lembaran ratusan ribuan dua atau tiga lembar. Untuk tarip long-play atau all night, tergantung kesepakatan saja, namun tidak akan kurang dari enam ratus dolar. Itu tentang tarip.

Sekarang tentang service. Saya akan menuruti apa saja yang diminta oleh pelanggan (customer) selama hal itu tidak merusak atau menyakiti tubuh saya atau tubuh pelanggan. Dengan mulut, oke, begitu juga mandi kucing atau mandi susu yaitu memijati tubuh pelanggan dengan buah dada saya yang putih dan montok, juga oke-oke saja. Tetapi bersetubuh sambil disiksa, atau saya harus menyiksa pasangan saya, saya akan menolak.

Tiga tahun menjadi pelacur telah memberikan pengalaman hidup yang besar sekali dalam diri saya. Saya mempunyai buku catatan harian tentang hidup saya. Saya selalu menulis pengalaman persetubuhan saya dengan bermacam-macam orang, suku bangsa bahkan dengan laki-laki dari bangsa lain (Afrika, India, Perancis, dan lain-lain). Tetapi kalau selama tiga tahun saya menggeluti profesi saya itu lahir dua orang anak manusia, (masing-masing berumur 2 tahun 3 bulan dan satunya lagi 1 tahun), tentunya saya tidak bisa bahkan tidak mungkin mengetahui siapa bapak masing-masing anak itu. Cobalah dihitung, kalau dalam seminggu saya disetubuhi oleh minimal 10 orang, dalam 1 bulan ada 30 orang yang memarkir kemaluannya di kemaluan saya (1 minggu saat menstruasi, saya libur).

Tetapi ini tidak berarti anak itu tanpa bapak. Resminya anak itu adalah anak Pak Hendrik (nama samaran). Dia adalah boss tempat saya secara resmi bekerja. Seorang notaris dan sekarang sedang merintis membuka kantor pengacara. Pekerjaan resmi (pekerjaan tidak resmi saya adalah pelacur) ini cocok dengan pendidikan saya. Saya, mahasiswa tingkat terakhir Fakultas Hukum salah satu universitas swasta, jurusan hukum perdata. Tetapi nantinya saya kepingin menjadi notaris, seperti Pak Hendrik ini.

Sebetulnya saya ditawari Pak Hendrik untuk menangani kantor pengacara yang akan didirikannya tadi. Tetapi saya tidak mau. Menurut persepsi saya (mudah-mudahan persepsi saya salah) dunia peradilan di negeri kita masih semrawut. Mafia, nepotisme, sogok, intimidasi masih kental mewarnai dunia peradilan kita. Dari yang di daerah sampai ke Mahkamah Agung (ini kata majalah Tempo loh). Tetapi sudahlah itu bukan urusan saya. Lalu darimana saya kenal dengan Pak Hendrik? Itu terjadi pada tahun pertama saya menjadi pelacur.

Waktu itu saya hamil 2 bulan. Kebetulan Pak Hendrik mem-booking saya. Setelah selesai menikmati tubuh dan kemaluan saya sepuasnya, saya muntah-muntah. Itu terjadi waktu saya bangun pagi. Dia bertanya apa saya hamil. Saya jawab iya. Lalu dia bertanya siapa bapaknya. “Ya entahlah”, jawab saya. Waktu itulah dia menawari pekerjaan untuk saya, kesediaan untuk secara resmi menjadi suami saya dan tentunya melegalisir bayi yang akan saya lahirkan.

Saya tidak tahu bagaimana dia mengurus tetek bengeknya di kantor catatan sipil dan bagaimana dia dapat menjinakkan isterinya. Yang jelas setelah itu tiap hari Selasa dan Kamis saya berkantor di kantor Pak Hendrik. Lalu apa keuntungan Pak Hendrik? Ya pasti ada. Tiap hari Selasa dan Kamis, dia akan sarapan kedua. Mulai dari menciumi, meraba-raba badan dan buah dada, dan terakhir menyutubuhi. Kadang-kadang saya malah tidak sempat bekerja karena selalu dikerjai oleh suami saya tersebut. (Bangunan yang dipakai sebagai kamar kerja Pak Hendrik dan saya terpisah dengan bangunan untuk ruang kerja stafnya).

Wajah saya memang cantik. Tinggi dan berat serasi, bahkan berat badan di atas angka ideal, namun terkesan seksi. Buah dada cukup besar, tetapi tidak kebesaran seperti perempuan yang menjalani operasi plastik dengan mengganjal buah dadanya dengan silikon. Kata orang saya cukup seksi tetapi dari sikap dan penampilan sehari-hari juga terkesan cerdas. Singkat kata, kalau ada perempuan laku disewa Rp 1,6 juta sekali pakai, bayangkan sendiri bagaimana penampilan, penghidangan dan rasanya. Baiklah terakhir saya ceritakan tentang pengawal saya, atau bodyguard saya.

Namanya Mulyono. Saya biasa memanggilnya Dik Mul, karena memang usianya baru 21 tahun, tiga tahun lebih muda dari saya. Orangnya tinggi, atletis dengan potongan rambut cepak, dan penampilannya seperti militer. Konon katanya, sehabis lulus SLTA Mulyono pernah mengikuti tes masuk di AKMIL, tetapi jatuh pada tes psikologi tahap 2. Orangnya sopan (asli dari Klaten, Jawa Tengah) dan disiplin, dia juga sangat loyal pada saya (saya sudah sering mengetes kesetiaannya tersebut).

Mulyono sudah saya anggap adik sendiri. Menjadi sopir pribadi, mengurus pembayaran kontrak, mengatur waktu kerja, melindungi dari berbagai pemerasan oknum keamanan dan sebagainya, pokoknya seperti sekretaris pribadi. Hanya saja dia tidak tinggal serumah dengan saya. Saya kontrakkan dekat dengan rumah saya. Selain itu dia masih mengikuti kuliah di Universitas Terbuka, Fakultas Hukum. Lalu berapa gajinya? Itu rahasia perusahaan.

Tetapi yang jelas, sebagai seorang penjaga putri cantik, atau penjaga kebun wisata, sekali waktu dia saya beri kesempatan untuk mencicipi atau menikmati keindahan kebun itu. Mula-mula dia memang menolak. Itu terjadi pada suatu malam minggu di rumah. Dia saya panggil, saya minta dia memijati badan saya. Dia menurut. Saya hanya mengenakan gaun malam tipis dengan celana dalam dan BH yang siap dilepas. Mula-mula kaki saya dipijatnya pelan-pelan, enak sekali rasanya. Rasanya tangannya berbakat untuk memijit. Kemudian naik ke betis, yang kiri kemudian yang kanan.

“Dasternya ditarik ke atas saja Dik Mul”, kata saya waktu dia mulai memijat bokong.

Saya sengaja memancing nafsu seksnya sedikit demi sedikit. Sementara nafsu saya sudah mulai terbangun dengan pemijatan pada bokong tadi. Bokong saya diputar-putar, dan nafsu seks saya semakin bertambah. Terus pemijatan pada pinggang, lalu punggung. Pada pemijatan di punggung kancing BH saya lepas, sehingga seluruh punggung dapat dipijat secara merata tanpa ada halangan.

Waktu Mulyono memijat leher, dia terlhat sangat berhati-hati. Setelah saya membalikkan badan, Mul akan memulai memijat dari kaki. Tetapi saya mengatakan agar dari atas dulu. Rupanya dia bingung juga kalau dari atas mulai darimana kepala atau leher, padahal dada saya sudah terbuka sehingga kedua bukit kembar yang putih dan kekar itu terbuka dan merangsang yang melihatnya. Belum sampai dia menjawab pertanyaan saya, saya sudah mengatakan..

“Dik Mul, Mbak Indah dicium dulu yach!”
“Ach enggak Mbak jangan.”
“Lho kenapa? Dik Mul nggak sayang sama Mbak ya?”

Tanpa menunggu jawaban, saya sambar leher Mul, saya peluk kuat-kuat, saya cium bibirnya. Dengan kedua kaki saya, tubuhnya saya telikung, saya sekap. Dia terlihat gelagapan juga. Lama leher dan kepala Dik Mul dalam dekapan saya. Rasanya seperti mengalahkan anak kecil dalam pergulatan karena Dik Mul ternyata diam saja. Baru setelah lima menit, Dik Mul memberikan perlawanan. Pelukan saya lepaskan. Dia mulai mencium lembut pipi saya, turun ke dagu, lalu dada, di antara kedua buah dada saya. Disapunya dengan bibirnya semua daerah sensitif di sekitar mulut, dada dan leher. Saya menikmati benar ciuman ini. Apalagi setelah bibirnya turun ke bawah di sekitar pusat, pangkal paha dan sekitar kemaluan saya.

Tanpa saya sadari tubuh saya meliuk-liuk, mengikuti dan menikmati rangsangan erotis yang mengalir di seluruh tubuh. Kemaluan saya mulai basah, menanti sesuatu yang akan masuk. Setelah puas diciumi, saya berbisik..

“Dik Mul, masukkan sekarang kemaluannya ya! Saya sudah nggak tahan..”

Dia lalu berdiri dan mulai melepaskan, baju, celana, kaus baju dan terakhir celana dalamnya. Kini penisnya terlihat utuh putih kehitaman, dengan semburat urat-urat kecil di sekitar pangkalnya. Ujungnya seperti ujung bambu runcing, lebih panjang bagian bawah. Penis itu mencuat ke atas, membentuk sudut lebih kurang 30 derajat dengan bidang horisontal.

Pelan-pelan penis itu mulai ditelusupkan di antara bibir kemaluan saya. Setelah itu ditarik secara pelan-pelan. Kemaluannya dan kemaluan saya dapat diibaratkan dua kutub magnit, pergesekannya membangkitkan arus listrik yang merambat dari kemaluan keseluruh tubuh, juga dari kemaluannya dan memberikan rasa nikmat yang sangat kepada pasangan yang sedang ber-charging tersebut. Gosokan kemaluan Mulyono yang semakin cepat membuat seluruh tubuh saya seperti terkena listrik. Kemaluan saya terasa berdenyut meremas kemaluan Mulyono.

Saya orgasme, dan ini terulang lagi beberapa kali, multi orgasme. Makin lama rangsangan itu semakin meningkat. Bersetubuh dengan Mulyono memang saya rasakan agak lain. Biasanya saya bersikap meladeni kepada para pelanggan, tetapi dengan Mulyono saya seperti diladeni, dipuaskan rasa haus saya. Gerakan keluar-masuk kemaluannya yang lambat, ciuman disekitar buah dada yang terkadang diselingi dengan menghisap-hisap putingnya, dan reaksi menggeliat-geliatnya tubuh saya, seperti suatu pertunjukkan slow motion yang mengasyikkan. Dan ketika saraf tubuh saya tak lagi kuat menampung muatan listrik itu, saya berbisik..

“Dik Mul, tembak sekarang ya!” Dan Mulyono mempercepat gesekan kemaluannya, sampai pada puncaknya kakinya mengejang. Bersama itu pula saya peluk kuat-kuat tubuh Mulyono.

Inilah puncak persetubuhanku dengan Mulyono. Teman-teman, sekian dulu perkenalan saya yang panjang lebar.

TAMAT

Nini negosiator ulung – 2

Makin lama gerakanku makin cepat hingga maksimal. Deasy kembali berteriak keenakan sambil tangannya meremas apa saja yang dapat dipengangnya. Gerakanku makin cepat, kudorong sedalam-dalamnya hingga keringat bercucuran di punggung Deasy. Akhirnya kucapai orgasmeku di vaginanya. Kutekan penisku sedalam-dalamnya dan kudiamkan sambil kusemburkan spermaku beberapa kali, setiap kali menyembur, penisku makin keras dan membesar, sehingga Deasy pun merintih..

“Gila viir.. Oocchh.. Viirr.. Aacchh.. Gua keluar lagi nichh..”

Jam 4 pagi kami tertidur dalam keadaan telanjang bulat. Saat terbangun jam 10 pagi, sekali lagi kami menumpahkan nafsu birahi di kamar itu sebelum Deasy kembali ke Hyatt dan aku beristirahat untuk pertemuan sorenya.

Sorenya saat aku harus menghadiri pertemuan dalam rangka negosiasi harga untuk barang telekomunikasi yang akan dibeli oleh perusahaanku dari salah satu supplier dari Amerika. Pertemuan diadakan di ruang meeting di hotel Mandarin dan dihadiri oleh suatu perusahaan Indonesia sebagai distributornya. Aku tiba pukul 16:55, masih 5 menit lebih awal bersama manager perencanaan yang baru datang siangnya dari Jakarta.

Saat aku masuk, di dalam ruangan sudah ada VP Sales dari perusahaan Amerika itu dengan Sales Managernya, Anthony, Direktur perusahaan distributor mereka di Indonesia beserta Account Managernya. Aku telah mengenal mereka semua. Aku mengambil tempat duduk menghadap ke pintu bersebelahan dengan managerku. Setelah berjabatan tangan dan mengobrol basa basi, negosiasi segera dimulai.

Pada saat aku sedang membacakan dokumen, pintu terbuka, aku mengangkat wajahku. Di depan pintu berdiri seorang wanita yang kalau tidak dalam suasana formal dapat membuatku meloncat dari kursi yang aku duduki. Nini berdiri di sana juga dengan wajah kaget melihatku, tapi segera situasi dapat kami kuasai.

Dengan cepat Nini memasang telunjuknya di depan bibirnya, aku mengerti. Nini menghampiri sang direktur sambil memberikan sebundel dokumen. Lalu Nini diperkenalkan sebagai PR di perusahaan distributor itu. Tempat duduk di meja berbentuk bundar itu tinggal satu yang kosong dan Nini duduk di sana, di sebelah kiriku. Penampilannya sangat menarik dengan blazer warna cerah dengan kemeja warna gelap di dalamnya dan rok ketat di atas lutut sedikit.

Dimulai dengan penjelasanku mengenai final design dari system yang dibutuhkan, lalu pihak Amerika menerangkan kelebihan kelebihan produknya. Lalu si distributor mulai membahas aspek komersial, tampak Nini mengambil bagian pembicaraan dalam aspek ini. Selama mendengarkan, aku mencatat di kertas notes kecil yang aku bawa dari kamar hotel, tercetak hotel Westin Plaza di kertas itu. Tak terasa sudah jam 7, kami break untuk dinner dan dilanjutkan jam 8:30 malam di tempat yang sama, bersama-sama kami pergi ke sebuah restoran chineese food dekat dengan Mandarin lalu kembali ke ruang meeting.

Saat makan, Nini mengajakku mengobrol santai dan dengan anggunnya bersikap sangat profesional dan dapat menyembunyikan bahwa dia telah mengenal aku luar dalam. Tak ada tanda-tanda dan kode-kode bahwa Nini ingin bertemu berdua atau rindu atau yang lainnya seperti halnya Deasy kemarin. Padahal aku sudah membayangkan bahwa Nini akan menemani aku malam ini di kamar yang besar itu

Setelah aku dapat memperlihatkan bahwa produk mereka bukan yang terbaik karena ada produk saingan yang lebih baik dari segi feature, walaupun feature tersebut tidak aku butuhkan, tapi sebagai kartu truf negosiasi kusampaikan hal itu. Lalu kusampaikan pula perkiraan harga yang dapat aku terima yang masih jauh dengan harga penawaran mereka, berbeda sekitar 20%. Aku kembali ke hotel jam 22:30, sangat lelah dan langsung mandi serta tiduran sambil menonton TV.

Tiba tiba telepon berdering..

“Good Evening Mr. Mahendra, I have a lady in front of me, her name is Nini, would like to met you” seorang resepsionis wanita berkata di telepon. Haah, aku kegirangan, tapi tak kuperlihatkan.
“Ok, thank you, can you ask her if she willing to come up or should I go down” kataku di telepon. Terdengar si resepsionis berbicara denan Nini.
“She said, if you don’t mind, she prefer to met you there” katanya lagi.
“OK, can you ask somebody to escort her to my room”
“Definitely sir” katanya. Terdengar dia memanggil seseorang lalu terdengar dia berkata pada Nini..
“You may follow him, madame” sesaat kemudian dia berkata lagi..
“She is on her way. By the way, she is very pretty sir, good night and thank you” katanya.

Dua menit kemudian terdengar pintu diketuk, terlihat Nini diantar oleh petugas concierge. Setelah pintu kututup, Nini hanya mengecup pipiku lalu berjalan dengan anggunnya menuju sofa dan duduk di sana lalu menyalakan Marlboro putihnya, pakaiannya sudah berganti, celana panjang dan kaus ditutupi jacket kulit.

“Bagaimana kamu tahu aku tinggal di sini?” tanyaku.
“Tadi kamu pakai kertas catatan dari Westin, aku coba tanya ke front office, lalu aku datang ke sini” jawabnya.
“Bagaimana kamu yakin bahwa aku ada di kamar?” tanyaku kembali.
“Aku tidak yakin, tapi aku coba, ternyata kamu ada” jawabnya lagi.
“Aku sangat kaget melihatmu di ruang meeting tadi, tak kusangka bahwa negosiasi itu dengan kamu Vir.., kalau aku tahu bahwa kamu yang akan aku temui, aku pasti tolak tawaran mereka” Nini membuka topik.
“Aku mewakili perusahaan, harusnya aku yang lebih kaget kamu ada di sana tadi, jadi tolong ceritakan yang sebenarnya” sahutku.
“Pak Anthony minta bantuan aku untuk menggolkan proyek ini, aku dapat 3%, terserah caranya bagaimana” kata Nini menjelaskan padaku. Hhmm, 3% cukup besar juga, nilai proyek puluhan juta dollar, maklum proyek infrastruktur telekomunikasi yang sedang in di Indonesia. Otakku berputar, tidak terpikir rasanya untuk bercinta dengan Nini.
“Kita turun yuk, minum kopi sambil berpikir dan ngobrol sebentar, selintas aku ada rencana lain” kataku, aku ganti pakaian.

Nini tahu bahwa kalau aku sudah serius begitu, aku tidak dapat diganggu maupun dirayu untuk bercinta. Malahan Nini selalu berusaha membantu aku bertukar pikiran untuk memecahkan masalah bersama-sama. Kami turun ke coffee shop dan memesan 2 cangkir kopi.

“Apakah mereka tahu kamu menemui aku sekarang ini?” selidikku.
“Tidak, menurut rencana, besok pagi meeting diundur ke sore dan aku disuruh menemani kamu privately sampai siang, dan menyampaikan bahwa ada 2 persen untuk kamu” kata Nini.
“Seberapa dekat hubungan kamu dengan Anthony?” aku bertanya.
“Tidak dekat, aku dikenalkan oleh sepupuku Deasy, katanya ada boss yang perlu PR untuk menggolkan proyek besar” jawabnya. Wah, Deasy baru meninggalkan kamar ini tadi siang, pikirku.
“Hmm.. Sebenarnya aku tahu harga mereka bisa turun sekitar 14 persen lagi, tapi Anthony mau untung terlalu besar, padahal untuk proyek besar begini, 5 persen cukuplah, toh dia juga nggak kerja, cuma ngurus admin saja, banyakan aku yang kerja nantinya. Mustinya kita dapat 10 persen Ni.., aku juga kan musti setor ke atas..” kataku.
“Dapet 3% aja lebih dari cukup Viir.. Aku bisa berhenti dari sebagian pekerjaanku yang sekarang sementara cari lagi yang lebih bernilai..” kata Nini perlahan.
“OK, besok aku atur dan kamu akan dapat poin bahwa kamu yang berhasil menggolkan proyek ini, sekarang balik yuk, kamu mau pulang atau tidur di atas? Tidur di atas aja deh, temenin aku ya” ajakku.

Nini dan aku tidur tanpa pakaian saling berpelukan di dalam selimut, tanpa ada yang mencoba untuk menggoda dan merangsang satu sama lain walaupun kulit kami saling bersentuhan dan buah dada Nini terasa menekan lengan dan dadaku. Agak penat juga aku berpikir, lalu aku tertidur. Saat aku bangun, sebagaimana normalnya laki-laki, saat bangun pagi terkadang penis sudah dalam keadaan berdiri keras. Pagi saat itu, di luar masih gelap, kurasakan penisku sudah berdiri dan keras sekali seperti batang kayu ditambah kehangatan terasa mengalir dari tubuh telanjang Nini yang menempel di tubuhku. Kurasakan Nini masih tidur, kukecup keningnya mesra, matanya terbuka dan tersenyum, kepalanya menengadah mengecup pipiku mesra sekali.

“Good morning darling, sleep well?” dia bertanya.

Aku tak menjawab, tapi kudorong sedikit tubuhnya sampai telentang, lalu aku berlutut merebahkan kepalaku di dadanya sambil memeluknya. Nini melingkarkan satu tangannya di leherku. Mesra sekali kami berdua. Perlahan aku kecup keningnya, matanya, hidung, pipi lalu bibirnya. Saat bibir kami bertemu, rupanya dorongan birahi yang telah terpendam sejak kemarin terasa mau meledak, seketika itu pula Nini menyambar bibirku dam menciumku dengan permainan bibir, lidah dan mulut yang luar biasa nikmatnya. Nini memang seorang ahli dalam bercinta. Tangannya yang lain meraba penisku yang sangat keras lalu dikocoknya perlahan.

“Hmm.. Penis kamu sangat keras Vir. Lebih keras daripada biasanya, cepat masukin Viirr, aku ingin merasakan kerasnya di dalam vaginaku” desahnya.
“Hmm.. Nggak mau ‘appetizer’ dulu?” bisikku.
“Aku pengen sekarang viir.. Nanti aja ‘dessert'” desahnya lagi.

Aku naik ke tubuhnya, pahanya dibuka lebar, kutempelkan penisku ke vaginanya, kugoyang kiri kanan perlahan agar kepala penisku dapat membuka bibir lipatan vaginanya. Agak sulit. Terasa bibir vaginanya terbuka sedikit, kudorong perlahan lalu terasa kehangatan dari dalam vaginanya menyelimuti ujung kepala penisku, kudorong terus dengan mantap sambil tetap kugoyang pantatku. Nini mulai memutarkan pantatnya searah jarum jam beberapa kali, lalu putarannya dibalik menjadi berlawanan arah jarum jam. Putarannya perlahan-lahan seirama dengan goyanganku. Dengan begitu aku dapat merasakan pegangan kuat mencengkeram dari vagina Nini di penisku dan Nini pun merasakan sesak dan penuhnya lubang vaginanya saat diisi oleh penisku. Tidak ada rangsangan untuk mencapai orgasme.

Nini menghentikan putaran pantatnya, aku pun berhenti tapi kudorong penisku sedalam-dalamnya di vagina Nini sampai ujung kepala penisku terkena sesuatu. Nini mulai menggerakkan vaginanya seakan memijit seluruh batang penisku. Sungguh kuat otot bawah perut Nini meremas penisku. Setiap kali Nini melepas pijitan vaginanya, kukedut otot keggelku perlahan hingga terasa penisku makin mengeras di dalam vagina Nini.

“Oohh.. Viirr.., ini yang aku cari.. Enaak sekali Viirr..” Nini menggelengkan kepalanya.
“Vagina kamu juga tiada duanya Ni.. Oocch pijitan vaginamu.. Ennaakk..” bisikku pula.

Makin lama pijitan Nini dan kedutanku makin cepat dan kami mulai menggoyangkan pinggul lagi, makin cepat, pinggul Nini terangkat untuk lebih leluasa berputar semakin cepat seperti gasing. Aku pun tak kalah bersemangat mengocok vagina Nini, mendorong sedalam-dalamnya hingga Nini berteriak setiap kali kusodokkan penisku dalam-dalam. Bibir kami berciuman dengan liarnya, lidah mencari lidah, bibir saling menjepit diiringi desahan-desahan menggairahkan. Seakan tiada lelahnya, posisi ini kami pertahankan cukup lama.

“Nini.. Aku hampir keluar..” aku menjerit.
“Keluarin aja Viirr, kita sama sama..” Nini balas menjerit. Tak lama kemudian..
“Oocchh.. Ni.. Aku keluaarr..” teriakku, terasa seluruh tenaga tubuhku mengalir menuju penisku dan terpusat di sana, kutahan sebentar spermaku sampai terkumpul di ujung, lalu kusemburkan yang pertama kuat-kuat sampai terasa aliran sperma melewati saluran kencingku dengan deras.
“Aachh.. Viirr.. Kenceng banget.. Lagi Viirr.. Sembur.. Viirr.. Aku juga keeluuar”

Kusemburkan dengan kuat yang kedua, ketiga, keempat.. Semuanya ada 8 semburan yang makin lama makin lemah. Setiap semburan yang aku lakukan, Nini mengerang sambil mengencangkan pelukannya di leherku sekaligus melakukan pijitan pada vaginanya sehingga penisku seakan diperas agar spermaku habis di vaginanya. Akhirnya aku ambruk di badan Nini lalu kucium seluruh wajahnya yang berakhir di bibirnya. Penisku masih agak keras, kugeser tubuhku hingga penisku terlepas. Lalu aku telentang di atas ranjang dan Nini berbalik memelukku, menciumku dan meletakkan kepalanya di dadaku. Tangannya mengelus-ngelus penisku.

“Dessertnya” bisik Nini.

Lalu Nini mulai mencium bibirku dengan hangat, disusurinya bagian dalam bibirku dengan lidahnya, lalu mencari lidahku dan kami saling berciuman kembali dengan panasnya, sementara tangannya meraba dan meremas penisku. Nini mulai menjilati seluruh daerah leherku lalu ke dada, kedua putingku dihisapnya dan diberi gigitan kecil. Tubuhnya yang berada di atas tubuhku membuat cairan yang ada di dalam vaginanya terasa meleleh membasahi sekitar perutku. Nini memutar tubuhnya sehingga posisi kami menjadi 69. Penisku yang belum sepenuhnya berdiri lagi, dijilati mulai dari ujung sampai zakarnya. Aku tarik pantatnya ingin menjilati vaginanya, tapi Nini menolak sehingga aku hanya dapat memegang bulatan pantatnya saja.

“Ini dessert buat kamu, sayang, nikmatilah” katanya.

Bersambung . . . . .

Nini negosiator ulung – 3

Lalu dilanjutkannya jilatannya ke paha bagian dalamku, lututku dihisapnya, lalu makin turun ke betis. Posisi yang membalik demikian membuat pemandangan yang indah bagiku, vagina dan anusnya tampak jelas di pandangan mataku. Kupakai jariku untuk meraba anusnya, kembali Nini menepiskan tanganku. Kini lidahnya tiba menjilati permukaan kakiku lalu jari-jari kakiku mulai dikulum dan dihisapnya.

“Nini.. Oocchh.. Gellii.. Nii..” desahku.

Setelah seluruh jari kakiku mendapat giliran, kembali Nini naik ke atas sampai di sekitar selangkanganku. Nini meminta aku mengangkat pantatku, diselipkannya sebuah bantal yang dilipat lalu kakiku diangkatnya ke atas sehingga pantatku terbuka menantang. Lidahnya mulai terasa di anusku, dijilati dan ditusuk-tusukkannya ke dalam anusku sementara tangannya mengocok penisku yang telah berdiri tegak. Nini mengambil posisi berlutut di selangkanganku, ujung penisku mulai dijilatinya dan lidahnya menusuk belahan ujung penisku. Rasanya ngilu dan geli. Penisku mulai masuk ke dalam mulutnya perlahan sampai akhirnya seluruhnya terbenam. Kepalanya mulai digelengkan ke kiri dan ke kanan. Jari tengahnya sudah tertanam di anusku, dikocoknya perlahan lahan.

“Ni.. Agak cepet Ni.. Nggak tahan nih..” kataku.

Nini mempercepat kocokan jari dan mulutnya keluar masuk. Malahan melalui gerakan jarinya aku mengetahui bahwa Nini meminta aku mengerakkan pantatku turun naik dengan kasar. Aku naik turunkan mengikuti keianginannya. Penisku masuk dan keluar dengan cepatnya dan dengan gerakan kasar aku pompa mulutnya sampai bibirnya menyentuh dasar penisku. Terasa ujung penisku membentur ujung tenggorokannya lalu masuk ke dalam tenggorokannya yang sempit. Terasa nikmat sekali hingga gerakan itu makin mempercepat orgasmeku.

“Nini.. Ennaak sekalii.., aku mau keluuarr Nii..” teriakku.

Akhirnya spermaku menyembur di dalam mulut Nini lalu ditelannya. Setelah membersihkan penisku dengan lidahnya, Nini bangkit memandang aku, rona yang memancarkan kepuasan terlihat di wajahnya sambil tersenyum.

“Apakah dessertnya sesuai pesanan?” tanyanya.
“Lebih dari pesanan, dapat extra ya. Sekarang aku kirim dessert untuk kamu ya” jawabku sambil kuraba buah dadanya yang indah terjaga bentuknya walaupun Nini sudah berusia hampir di awal kepala 3. Sementara di luar hari sudah mulai terang.
“Dessert buatku nanti malam saja, biar aku penasaran seharian menanti, sekarang kita mandi, aku balik ke Mandarin dulu. Kamu datang jam 10 kan?” tanyanya.

Itulah Nini yang selalu penuh dengan kejutan dan hal-hal baru dalam teknik permainan sex serta caranya menggoda aku sungguh memperlihatkan ciri seseorang yang sangat matang dalam bercinta. Sampai dengan saat ini, belum pernah aku temui wanita yang dapat secara overall menyaingi Nini dalam bercinta.

Walaupun agak kecewa karena mulutku belum “bekerja”, aku iyakan saja usulnya. Kami mandi bersama sambil mendiskusikan rencanaku di kamar mandi. Setelah selesai, Nini meninggalkanku kembali ke Mandarin jam 8:30. Pada jam 10 saat aku tiba di Mandarin, Anthony meminta agar meeting dilakukan pada jam 2 siang karena masih harus meminta keputusan dari US untuk finalisasi harga dan Anthony bilang bahwa Nini akan datang untuk menemani aku sekedar melewatkan waktu. Aku menolak kendaraan yang disediakan Anthony. Aku pergi dengan Nini menuju Sommerset MRT, kembali ke Westin. 3 Jam kami lewati hanya dengan mengobrol di kamar diselingi dengan lunch yang dipesan melalui room service. Sengaja kami agak terlambat. Menjelang jam 2:30 sebelum kami kembali ke Mandarin, kami kembali membicarakan masalah proyek ini dan strategi yang akan aku pasang bersama Nini.

Akhirnya pada jam 15 pertemuan dimulai. Pembicaraan cukup alot, terlihat beberapa kali Nini keluar masuk ruangan bersama Anthony. Pada jam 18:00 Nini masuk dengan kancing depan blousenya bertambah satu yang terbuka. Itu adalah kode yang telah disepakati. Kesepakatan harga dicapai pada Jam 18:10 dan aku menandatangani MOU bersama Anthony dan sang VP dari US. Anthony mengundang makan malam, tapi aku tolak dengan alasan ada rencana pertemuan selanjutnya. Aku kembali ke Westin. Nini mohon pamit untuk kembali ke Jakarta dengan pesawat SQ terakhir jam 9 malam.

30 menit kemudian, pintu kamarku terbuka. Kusambut Nini masuk membawa travel bagnya sambil kukecup pipinya. Memang pada paginya aku minta dibuatkan kartu kunci satu lagi untuk Nini. Lalu Nini mengeluarkan selembar kertas ber-kop perusahaan Anthony, di bawahnya ditandatanganinya di atas sebuah meterai. Kubaca isinya.., ternyata angkanya melebihi strategi yang telah kami pasang, rupanya Nini telah melakukan negosiasi tersendiri dengan manis hingga membuat Anthony mau tidak mau mengikutinya.

Kami berpelukan berciuman dengan gembiranya. Aku ajak Nini mandi sama-sama, lalu kami makan malam di puncak gedung hotel Westin ini, sebuah revolving restoran. Dari situ kami menikmati pemandangan kota Singapore waktu malam dan melihat ke semua arah karena restoran itu berputar 360 derajat perlahan-lahan. Nini sangat cantik malam itu, mengenakan gaun malam, rok lebar panjang hitam sampai lutut. Atasnya warna hitam juga dengan belahan bentuk V di depan dan belakang sampai mendekati pusarnya memperlihatkan bagian dada dan punggungnya yang tidak ada lapisan apa pun lagi di dalamnya

Kami duduk berhadapan ditemani sebuah lilin terpasang di meja kami dengan diiringi sajian musik live hingga menambah suasana romantis yang tercipta sambil menikmati makanan yang kami pesan. Saat kami selesai dengan makanan kami, seorang waitress mendatangi kami.

“Sir, Maam, what would you like for dessert, coffee or maybe ice cream for you maam” katanya.
“A cup of coffee for me please, and you.. Ni” jawabku sekalian aku tanya Nini.
“Just a cup of tea for me, I will have another great dessert after this..” kata Nini sambil mengerlingkan matanya padaku.

Waktu waitress itu pergi..

“Is that right darling?” lanjut Nini dengan memandangku penuh gairah.
“You’ll got it, no question about that, don’t worry honey, but for my appetizer, do you mind, to take off your panty” pintaku.
“I dont have it now” jawabnya santai.
“Whaat?” kataku sambil tersenyum.

Lalu aku pindah duduk ke sebelahnya, kupeluk punggungnya. Nini tahu maksudku, digesernya duduknya sedikit ke depan memberi ruang pada tanganku untuk mengelus punggungnya, lalu tanganku menyusuri pinggangnya sampai ke bulatan pantatnya. Tidak ada tali atau batas CD di sana. Aku masih penasaran, kutaruh tanganku di pahanya. Nini menarik tanganku mendaki ke arah vaginanya dari balik roknya yang lebar. Jariku menyentuh bulu-bulu halusnya. Ternyata benar bahwa Nini tidak memakai CD.

“Honey, gairahku yang sudah di puncak sudah aku tahan seharian sampai sekarang ini, jadi kalau patung singa itu terlihat lagi dan kita masih duduk di sini, aku akan minta dessert yang kamu janjikan di kursi ini saja. Berani nggak?” tantangnya sambil menunjuk ke arah patung singa jauh di bawah yang menjadi lambang kota Singapura.
“OK, kita lihat saja nanti” jawabku.

Kopi dan teh telah diantar, kami masih santai dan mendengarkan musik jazz yang dialunkan oleh kelompok musik lokal, tetapi tangan Nini menjalar di paha dan penisku. Untung saja posisinya di bawah meja jadi tidak banyak orang yang melihat. Akhirnya aku minta bon untuk aku tanda tangani dan mengajak Nini keluar dari restoran itu.

“Patung singa belum terlihat lho” bisik Nini sambil menggandeng lenganku, buah dadanya yang kenyal menekan lenganku.
“Mumpung habis minum kopi panas-panas, jadi lidahku bertambah panjang he he..” gurauku.
“Asyiik dong” katanya riang.

Kami kembali kekamar jam 23:30, lalu aku memasang radio di kamar dengan musik slow. Seperti kemarin, lampu aku matikan, gorden aku buka semua, tapi pintu ke balkon masih aku tutup. Aku ajak Nini berdansa, kutaruh kedua tanganku di pinggangnya, Nini mengalungkan tangannya di leherku, dengan gemulai Nini mengikuti gerak langkahku berdansa di ruangan itu. Kepalanya disandarkan di dadaku, terasa kedua bukit buah dadanya menekan dadaku.

Penisku bergerak menegang, Nini merasakan itu karena bawah perutnya menekan penisku, sebelah kakinya diselipkan di antara kakiku dan menekan penisku. Nini menegadahkan kepalanya. Aku cium lembut bibirnya, Nini membalas ciumanku dengan lembut pula. Kuelus punggungnya, kususupkan tanganku ke balik bajunya di bagian punggung dan menyentuh pangkal buah dadanya. Nini menggelinjang pelan.

Lalu kubawa Nini mendekati pintu keluar balkon, perlahan kubuka pintunya dan kami melangkah keluar berpelukan di luar balkon. Kuangkat tanganku ke bahunya dan kugeser kain yang tergantung di bahunya ke pinggir hingga menyebabkan baju atasnya jatuh menggantung di pinggang. Nini diam saja, malah ciumannya semakin menggairahkan, lidahnya mulai memasuki mulutku mencari lidahku. Kuraba dadanya yang kenyal, kuremas remas dan putingnya kupencet perlahan.

“Oocch Vir.. Cumbu aku viirr.. Aku kehausan viirr..” desahnya dari bibir sexynya.

Tanganku mendapatkan kaitan rok dan ritznya di pinggir, perlahan kubuka dan roknya jatuh ke lantai, lalu kuangkat baju atasnya melewati kepala, tinggallah Nini telanjang bulat di balkon berdua denganku yang tinggal memakai CD karena Nini pun sudah membuka kemeja dan celanaku. Kusandarkan Nini di balkon, kepalaku mulai menunduk menjilati seluruh bagian leher dan tengkuknya, kulanjutkan bagian ketiaknya lalu hinggap di buah dadanya dan kuhisap putingnya agak kencang.

“Viirr.. Terus Viirr.. Teruuss.. Aacchh..” desah Nini.

Kulanjutkan perjalanan lidahku menuju pusatnya melewati pusarnya. Aku temukan clitorisnya yang telah membesar, kujilat clitorisnya, kujepit dengan bibirku dan kutekan-tekan dengan lidahku.

“Viirr, ennaakk, terruss Viirr.. Tekaann..” Nini menekankan kepalaku ke clitorisnya.

Kuangkat sebelah kakinya lalu kuletakkan di pundakku, vaginanya terlihat basah menantang. Kujilat ringan bibir vaginanya lalu kucari belahannya dan kumasukkan lidahku dalam-dalam, kuputar lidahku menyapu dinding vaginanya.

“Oocchh.. Lidahmu ennaakkch Viirr.., lebih dalam lagi Viirr..” desahnya.

Aku semakin bersemangat, kujulurkan lidahku sebisanya ke dalam vaginanya, jariku merayap di anusnya dan kudorong memasuki anusnya. Kusedot agak kuat vaginanya sambil tetap lidahku mengorek di dalam vaginanya.

“Viirr.. Aach.. Aku hampir keluar..” teriaknya. Kupercepat kocokan jariku di anusnya hingga Nini berteriak kuat.
“Akuu keelluar.. Kelluarr.. Aacchh.. Eennaakk..” teriak Nini sekencang-kencangnya di udara terbuka seperti itu.

Langsung aku hisap vagina Nini kuat-kuat sambil mendorong jariku di anusnya dalam-dalam lalu aku diamkan. Badan Nini bergetar kencang menikmati orgasmenya di lantai 66 tersebut. Lalu aku tuntun Nini masuk dan berbaring di ranjang.

“Uucch.. it’s the best ‘dessert’ i ever have” katanya sambil tetap matanya terpejam.
“Is that a dessert or an orgasm” kataku.
“That is a dessert as I asked you before” jawabnya.

Malam itu kami melanjutkan penumpahan nafsu birahi yang meledak-ledak dari dalam tubuh kami seakan tiada habisnya sampai pagi. Kami baru bangun tidur pada jam 12 siang, lalu sorenya pulang ke Jakarta. Sebelum kamar kutinggal, kutengok balkon kamar itu sambil tersenyum. Hhmm, 2 wanita telah kubuat terkapar orgasme di sana dalam 3 malam, mengapa tidak genap 3 sekalian saja ya?

Nini berangkat lebih dulu, baru 1 jam kemudian aku menyusul dengan pesawat SQ yang jam keberangkatannya berbeda. Sesampai di Jakarta aku langsung ke rumah Nini dan baru pulang esoknya hari Sabtu. Dan sampai sekarang aku lupa memberitahunya bahwa aku telah bertemu Deasy sehari sebelum bertemu dengannya di Singapore.

Beberapa minggu kemudian, perusahaan tempatku bekerja menandatangani kontrak pembelian itu dan membayar uang muka. Bulan depannya Nini menanyakan nomor rekening bankku karena dia akan mentransfer bagianku yang merupakan bagian dari uang muka. Sebetulnya aku ingin menolak, tapi aku kan harus setor juga ke beberapa atasanku. Begitulah memang Indonesia. Akhirnya Anthony menepati keseluruhan deal dari yang telah ditandatanganinya saat seluruh pembayaran dari kantorku selesai setahun kemudian dan saat itu bertepatan dengan awal krisis ekonomi dimana nilai tukar dollar melambung tinggi.

Hubunganku dengan Nini semakin erat saja. Beberapa bulan setelah kejadian di Singapore, Nini memenuhi tekadnya untuk berhenti dari sebagian pekerjaan yang digelutinya selama itu. Memang, business is business, sex is sex, bagiku itu adalah dua hal yang berbeda dan bertentangan kutubnya.

Tamat

Namaku Elang – 1

Namaku Elang. Usiaku saat ini awal tiga puluh. Bekerja di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta. Aku punya pengalaman yang ingin kuceritakan dan persembahkan kepada pengunjung setia cerita dewasa.

Pagi itu awal Mei, pukul 7:00, aku mendapat telepon yang tak kuduga-duga di kantor. (Memang aku biasa datang pagi untuk menghindari macet).
“Hallo, siapa nih?”
“Hai, lupa sama aku ya?”
“Iya, siapa ya?”
“Coba tebak. Masih ingat Ilen?”
“Ilen?”
“Iya. Yang tinggal di Wastu Kencana, Bandung.”
“Oh, yang anak Inggris?”
“He eh. Tapi kamu bukan dia. Karena aku kemarin ketemu dia di Bandung.”
“Makanya. Tebak siapa aku. Ilen is the clue. Aku sobat baiknya. Anak Inggris juga.”
Aku mencoba mengingat-ingat suaranya. Tapi tetap saja tidak ingat. Iyalah, mana aku ingat anak-anak angkatan 91. Lain jurusan lagi.
“Sombong. Lupa ya sama aku?”
“Aku nyerah deh.”
“Ini Srida.”
Srida. Emh, aku ingat dia.
“Hai! Dimana kamu sekarang.”
“Di kantor. Aku kerja di Jakarta sekarang.”
“Dimana?”
Dia menyebutkan nama sebuah bank asing dari Amerika yang sangat terkenal.
“Hebat kamu. Boleh dong aku ambil kredit? Di bagian apa kamu?”
“Cuma di bagian Telemarketing. Tapi lumayan deh.”
“Dapat teleponku dari Ilen ya?”
“He eh. Tiap pagi kutelepon dia. Dari kantor.”
“Enak banget. Di kantorku, telepon lokal saja dibatasi.”
“Iya. Di sini sih mau interlokal berjam-jam juga boleh. Khan bagian tele, apalagi aku dateng pagi banget. Maklum, numpang kakak.”
“Sama. Emh, senang sekali dapat telepon dari kamu.”
“Lang, tidak nyangka kamu ada di sini juga. Kemarin-kemarin sih aku ada lihat kamu di TV. Hebat kamu.”
“Biasa saja. Lagian kenapa baru sekarang telepon?”
“Barusan aku dapet dari Ilen.”
“Sering balik ke Bandung?”
“Tiap minggu. Jumat pulang, Minggu atau Senin pagi kembali ke Jakarta.”
“Gila. Nggak capek?
“Abisnya bosen. Tidak punya teman sih.”
“Sekarang khan ada aku.”
“Iya deh.”

Kami pun berbincang di telepon sampai pukul 8.00. Saat dia harus benar-benar bekerja. Sedang jam kerja kantorku pukul 8:30. Kami bicara banyak. Soal pengalaman masa kuliah dulu. Kenanganku muncul setelah telepon ditutupnya.

Srida. Gadis itu teman kuliahku di Fakultas Sastra. Hanya kami beda jurusan. Aku di Perancis, sedang dia di Inggris. Terus terang dulu aku naksir dia. Anaknya manis, pendiam, berkulit putih. Dengan berat dan tinggi badan proporsional. Wajahnya mirip Shinta Bella dimixed dengan Cornelia Agatha. Pokoknya oke banget. Dia sejurusan dengan Ilen, teman baikku waktu Opspek dan telah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dulu aku pernah minta tolong pada Ilen untuk membantuku mendekatinya. Tapi aku hanya diberikan telepon dan alamat Srida saja. (Nantinya aku tahu kalau Ilen itu menaruh harapan kepadaku. Pantas Ilen ‘dulu’ kayaknya menggodaku setiap kali main ke kostku). Dulu aku pernah menelepon Srida beberapa kali. Biasa, merayu. Tapi dia tidak bergeming. (Nantinya aku juga tahu kalau dia mengira aku tidak serius, dan menyangka aku playboy tengil. Padahal suwer; dia benar! Hahaha!). Ya sudah akhirnya kami nggak jadian. Aku tetap sebagai playboy, dia setahuku pacaran dengan anak angkatan 90.

Sebenarnya aku waktu kuliah di Sastra itu sudah kerja di perusahaan familiku, asli karena kebisaanku, bukan KKN dan juga kuliah di D3 Tehnik Informatika swasta. Iseng dan penasaran saja untuk kuliah di dua tempat. Apalagi di Sastra khan rata-rata banyak ceweknya. Jadi ya itu, playboy kampung ini makin betah saja. Di kampus, aku cukup populer dengan panggilan Abang. Iyalah, aku tua-an, sudah kerja, dan berasal dari Kalimantan. Karena sudah kerja, sudah punya cukup uang. Makin banyak saja cewek-cewek yang lengket denganku. Credit card can buy everything, man. Utamanya pada tahun awal 90-an. So, aku bisa dengan mudah pilih-pilih cewek. Dan lagi tampangku tidak malu-maluin deh buat digandeng. Tidak sombong, korbanku sudah banyak! Aku jahat ya. Tapi akhirnya kutakluk juga dengan seorang gadis, adik tingkatku. Yang akhirnya menjadi istriku tercinta.

Aku ngelantur ya? Bosen? tidak apa-apa. Aku bingung juga buat cerita. Aku bukan pengarang sih. Aku cuma mencoba menceritakan ulang pengalamanku.

Aku lanjutkan ya.
Sejak pagi itu. Srida menelponku paling tidak tiga kali sehari. Pagi-pagi seperti tadi, siang saat makan siang. Dan sore sebelum pulang kantornya. Rata-rata tiap kali menelepon satu jam sampai satu setengah jam. Gila ya? teman-teman kantorku juga bingung. Kenapa aku jadi males makan keluar pada jam istirahat. Aku pasti hanya nitip, atau pesen delivery saja. Mereka mulai curiga. Apalagi atasanku, perawan(?) tua yang ceriwis dan nyinyir. Beberapa bahkan langsung menebak aku selingkuh. Ooops, lupa ceritain kalau aku itu sebenarnya sudah tunangan dengan Venus.

Aku senang mendengar suara manja Srida di telepon. Sungguh. Dia sudah berubah. Bukan Srida yang dulu selalu ogah-ogahan menerima telepon. Yang tertutup dan pendiam. Dia total berubah. Dia bahkan memanggilku sayang. Dan tak malu-malu menyambut rayuan dan gurauanku. Bahkan yang agak-agak miring. Kadang aku berpikir ini semua karena kisah lama yang terulang. Rasa cinta yang mendadak datang kembali. Gila, kenapa dia muncul sekarang. Saat tanggal pernikahanku sudah ditetapkan. Sering juga aku merasa ini hanya perasaan senang, mendapat kembali kawan lama.

Bosen? tidak apa-apa kalau pembaca bosen, silakan lewati saja cerita ini. Lucunya, sampai berhari-hari kita telepon-teleponan saja. Aku sibuk, dia tidak bisa keluar kantor. Padahal jarak kantorku dengan Kuningan (kantor Srida) tidaklah bisa dikatakan jauh. Paling setengah jam pakai mobil. Srida selalu mengajak bertemu. Tapi karena rasa cintaku pada Venus (tunanganku) aku selalu menolak. Srida belum kuceritakan kalau aku sudah bertunangan November 1997 lalu. Teleponnya, selain ke kantor juga sekali-sekali ke rumah atau ke HP-ku. Tapi tak pernah lama. Paling hanya menyampaikan kesepiannya di Jakarta yang tanpa teman itu.

Saat kerusuhan 14 Mei, aku terpaksa menginap di kantor. Srida beberapa kali menelponku, mengatakan dia akan pulang cepat. Dan kalau bisa akan pulang ke Bandung. Srida akan kembali hari Senin, sebab kantornya memutuskan untuk meliburkan karyawannya.

Senin tanggal 18 Mei sore aku mendapat telepon dari Srida. Dia mengatakan sedang berada di RS Harapan Bunda. Ternyata keponakannya diopname karena menderita kelainan pada jantungnya. Dia memintaku untuk menjumpainya di sana.

Mulanya aku tidak mau, sebab setelah beberapa hari tidak mendapat teleponnya, walaupun ada rindu, aku sadar kembali bahwa aku telah punya tunangan dan akan menikah dalam beberapa bulan. Namun akhirnya rayuannya dan rasa penasaranku membuat luluh tekadku. Sepulang kantor, aku pun menuju ke RSHB. Sempat celingukan karena sedikit lupa akan rupa dan sosoknya. Kucoba hubungi HP-nya sedang dipakai. Akhirnya aku melihat seorang gadis sedang duduk di ruang tunggu apotik. Ah itu dia. Gadis itu pun melihatku. Tersenyum manis. Aduuh, cantiknya. Benar, wajahnya tambah manis, body-nya lebih kurus dari yang kuingat, namun sangat montok. Tak puas-puas kupandangi dia.
“Elang!” Dia memanggilku.
“Hai!” Hanya itu yang sanggup kukatakan.
Dengan segera dia berdiri menyongsongku. Menyalamiku dan menyodorkan pipinya. Ah, aku cukup kaget. Perasaan dulu dia nggak begini. Mungkin karena dia merasa telah akrab kepadaku melalui telepon-telepon kami. Kupandangi dia lekat-lekat. Tubuhnya hanya dibaluti kaos tipis merk Playboy berwarna putih, sedang bawahannya dia memakai rok pendek yang menampakkan kakinya yang bagus dan panjang mulus itu. Aku dapat melihat sekilas bra hitam yang dipakainya, menonjolkan sepasang buah dada yang menantang, ranum.

“Lama ya, nungguin aku?”
“Nggak juga. Kamu tidak berubah banyak, Lang. Hanya tampak lebih matang.”
“Kamu yang berubah.”
“Apanya?”
“Semuanya. Lebih, apa ya?” aku sempat terdiam, “Menggiurkan.” Dia hanya tersenyum.

Dia mengajakku duduk, kemudian mulai bercerita soal keponakannya yang masih balita itu. Aku mendengarkan sambil sesekali menatap erat wajahnya. Dalam hati, aku harus mengakui kalau dia tambah cantik. Sungguh! Rambutnya yang ikal dipotong sebahu. Modern style. Tampaknya dia sadar kalau kupandangi.

“Hei!” sentaknya.
“Apaan?” Tanyaku.
“Matamu itu.”
“Salah sendiri. Kenapa kamu tambah cantik.”
“Sudah merayunya. Biasanya cowok kalau habis merayu lalu minta yang nggak-nggak.”
“Tapi kalau aku yang minta diberi khan?”
“Mintanya apaan dulu.”
“Disun.”
Dia mencubitku.
“Macem-macem saja. Entar pacarmu marah. Siapa tuh, si kaca mata itu?”
Aku cuma diam, lalu sadar, dia mesti tahu tentang Venus.
“Venus? baik.”
“Nah itu. Mending kita telepon Ilen sekarang.”
“Yuk!” Kugaet tangannya.

Sambil berjalan tanganku beralih, memeluk pinggangnya yang ramping. Dia tak menolak. Tanganku tetap di sana, bahkan saat menelepon Ilen dari telepon kartu. Iyalah, kalau pakai HP bisa berapa? Interlokal khan kalau ke Bandung. Itu saja ngabisin kartu teleponnya sekitar 40 pulsa dan punyaku yang masih 230-an. Masalahnya, Ilen itu bawel banget orangnya.

Sehabis itu kami makan malam di kantin RS. Aku sebelumnya mengajak Srida ke caf atau restoran, tapi dia menolak. Lain waktu saja, katanya. Kami bicara banyak. Tentang jalan hidup yang kami tempuh. Tentang masa lalu. Terkadang jemarinya kugenggam, kuremas. Dia tak sekalipun menghindar. Tentu saja aku tak cerita kalau aku sudah tunangan. Setelah malam itu, kami sering jalan berdua. Terkadang aku menemaninya di RS. Untungnya tunanganku begitu percaya kepadaku, dan memang tidak terbiasa menelponku kalau tidak penting-penting benar.

Kami saling berbagi hadiah. Dia memberiku bermacam barang yang berbau Coca Cola, karena dia tahu aku maniak dengan merchandiser dari perusahaan minuman tersebut. Ada-ada saja surprise darinya. Aku bahagia bersamanya. Aku pun demikian tidak lupa akan maniaknya dia dengan tokoh Tazmania dari Warner Bros.

Tapi hubungan kami hanya sebatas makan, jalan, nonton, berpegangan tangan, peluk pinggang, dan cium pipi saja. Bosenin kali ya? Tapi ya, aku cukup senang.

Sampai akhirnya di bulan Juni. Aku ingat benar tanggalnya, tanggal 13. Saat itu aku di Bandung, dalam rangka memperingati setahun wafatnya ayah Venus, tunanganku. Juga ada tugas kantor. Srida sudah ada di Bandung sejak kemarin (aku yang mengantarnya ke Gambir). Dia tahu aku akan ke Bandung. Di tengah acara peringatan, HP-ku berbunyi. Dari layar, kutahu dia yang menelponku.
“Hai. Ntar aku telepon. Aku sedang di acara temanku nih”, kataku pelan.
“Nggak usah. Gini saja. Kutunggu di Dago. Anak-anak bikin warung tenda.
“Namanya.. (kurahasiakan). Aku tunggu.”
“Oke.” Telepon pun kututup.
Venus melihatku, bertanya, mungkin curiga. Kujawab saja anak-anak angkatanku mengajak reuni. Venus percaya saja. Dan memang dia tidak pernah mau mencampuri urusanku dengan teman-temanku waktu kuliah dulu. Makanya setelah acara keluarga selesai, aku segera ke Dago pakai taksi. Tidaklah sulit mendapatkan warung tenda yang dimaksud. Di sana sudah ada Ilen dan anak-anak Inggris lainnya. Setelah sekitar dua jam di sana, Ilen minta diantar pulang. Aku dan Srida yang mengantar. Di rumah Ilen, Ilen menggoda kami habis-habisan (sesekali dia menyinggung soal Venus). Aku dan Srida hanya bisa seperti anak SMA, tersipu malu. Segera saja kuajak Srida pulang. Dan gilanya, Srida mengatakan ingin jalan kaki menuju rumahnya. Aku mengira dia bercanda. Gila! Jarak Wastukencana (rumah Ilen) dengan Gatot Subroto (rumahnya) khan lumayan jauh. (Tanya deh sama yang mengerti Bandung). Tidak tahu berapa km, pokoknya jauh deh. Tapi Srida meyakinkanku, katanya dia ingin menikmati malam ini bersamaku. Banyak pula hal yang ingin dibicarakannya. Ya sudah, kujabanin saja. Emang banyak yang diceritakannya. Masa lalunya, kisah cintanya, rahasianya, keluarganya. Sementara aku hanya mendengar dan sesekali menanggapi pertanyaannya. Aku juga berbohong padanya (soal Venus, apalagi).

[Info saja nih; waktu aku mulai jalan dengan Venus, aku tidak pernah berlaku ‘curang’, sebelumnya aku layaknya buaya yang tidak pernah menolak bangkai. Teman-teman Venus sendiri pun protes saat tahu Venus jalan denganku (some of them was my victims, honestly), tapi Venus tak terpengaruh. Mungkin karena itu aku bisa awet dengannya dan tidak ‘obral’ lagi. But, dengan Srida ini aku tidak tahulah. Why?].

Semakin dekat rumahnya, kami berjalan semakin pelan. Satu setengah jam ada mungkin, kami berjalan-jalan. Karena Swatch di tanganku sudah menunjuk angka setengah satu pagi. Selain pelan pun, kami semakin rapat. Dapat kucium lembut parfum yang dipakainya, yang keluar dari tubuh yang terbalut stelan hitam-hitam dan jaket Levi’s-ku. Tubuhnya lembut dan hangat dalam rangkulanku. Tapi ya, sekali lagi, hanya sebatas rangkulan. Bosen, ya? Biarin. Lima ratus meter dari kompleks rumahnya, dia mengusulkan untuk menunggu taksi. Aku pun mengiyakan. Dari pada entar sendirian, mending sekarang. Taksi segera didapat. Kami pun naik. Sudah hampir masuk ke kompleksnya. Kami berpandangan. Entah bagaimana bibir kami sudah saling mendekat, sebelum akhirnya bersentuhan.

Lembuut sekali. Dan aku yakin mata si sopir meloncat keluar melihat kami dari spion. Kami tak peduli. Terus kukulum bibir ranumnya. Dan sungguh, aku telah sekian lama merindukan bibir madu ini. Perlahan tapi pasti mulailah lidah kami bermain, saling memilin. Damn! It was the best kiss I ever had!

“Pak. Rumahnya yang mana?” Dengan malu-malu, Pak supir tua itu bertanya. Ooops! Kami berdua tersentak. Lalu saling pandang. Tersenyum. Malu-malu.
“Gimana Srida?” Tanyaku.
“Terserah kamu.” Jawabnya dengan suara serak.
“Emh, jalan terus saja Pak”, kataku.
“Terserah Bapak kemana, keliling Bandung juga boleh. Oh, putar-putar deh.”
Si sopir itu pun manut.
Aku memegang tangan Srida. Dia memandangku, kemudian menunduk. Kupegang dagunya yang indah. Kusodorkan wajahku. Perlahan dia mendorongku menjauh. Mukanya mengarah ke sopir itu.
“Biarin.” Bisikku.

Lalu ciumanku pun kulanjutkan. Srida pasrah. Sopir itu pun tahu diri, tidak plirak-plirik lagi. Kami berciuman dengan penuh perasaan [swear!]. Menikmati setiap helaan nafas dan kehangatan yang menjalar di sekujur tubuh kami. Kurengkuh dia dalam pelukan. Perlahan kurasakan kejantananku mulai bereaksi. Terasa hangat sekali di bawah perutku. Tanganku pun sudah beroperasi di punggung Srida. Perlahan turun, sampai di bokong yang indah dan hangat. Kuremas perlahan sepasang bongkahan itu silih berganti. Srida mengerang perlahan. Tubuhnya yang indah meregang. Bibirku pun tidak lagi hanya sekedar menikmati tiap lekuk bibirnya, tapi telah berpindah, ke pipi, pelipis dan keningnya. Kemudian kembali ke bibirnya. Kurasakan tangannya meraba-raba punggungku, dan kemudian ke arah bokongku. Aku menekan tubuhnya dengan tubuhku. Bibirku turun ke dagunya, menggigit lembut. Srida merintih. Perlahan bibirku turun ke lehernya, sedang tanganku beralih ke dadanya. Meraba, meremas, dan memilin dari balik bajunya. Bajunya yang dari bahan satin menambah sensual bentuk payudara Srida. Bibirku terus menciumi leher gadis itu. Lidahku menjilati kejenjangannya. Seperti musafir yang kehausan. Kuhisap, kujilati, kutelusuri lehernya. Srida tambah tak teratur gerakannya. Jemarinya menarik rambutku, nyaris menjambaknya. Aku yakin dia sudah benar-benar terangsang. Tanganku pun turun, membelai perutnya yang datar. Bermain-main sejenak di situ. Lalu dengan pasti menyentuh kehangatan di antara kedua pangkal pahanya. Sebentuk daging lembut yang ditutupi celana dari bahan sandwash itu memancarkan hangatnya. Srida melenguh perlahan. Oh, aku sungguh menikmati erangannya itu.

Lalu tangan kananku menuju bagian belakang tubuhnya. Dari sela-sela celananya tanganku masuk, meraih. Pertama-tama kurasakan pinggiran celana dalamnya yang berenda. Kejantananku seolah berontak. Sesaat kemudian jemariku telah berada di dalam panty Srida. Oooh, lembutnya tubuh gadis ini. Bentuknya bagus sekali. Terasa lembut menyentuh tanganku yang kasar. Srida mengerang, kali ini dia menggigit leherku untuk menekan suaranya. Kuremas-remas daging lembut itu.
“Oh, Elang. Aku cinta padamu.” Tubuhnya meregang kembali, seperti kucing selepas tidur.
Aku sudah tidak sabar. Tanganku kutarik keluar. Meraba-raba hingga ke dadanya. Perlahan membuka dua kancing atas baju Srida. Nafas gadis itu terengah-engah, seolah meronta, ketika ujung jari-jariku menyentuh tepi bra yang dikenakannya. Nafasku pun sudah tak beraturan. Secara naluriah, tanganku pun mencoba meraih payudara kanannya, terasa nikmat dan hangat ketika jari tengahku menyentuh puting susunya. Oh, sempurnanya tubuh ini. Saat bibirku perlahan turun ke arah payudaranya, tiba-tiba kedua tangan Srida mendorongku. Lalu meraih bajunya yang telah kusut masai.
“Berhenti, Lang.” Parau sekali suaranya, “Jangan. Tidak di sini.”
Aku pun tersadar. Astaga. Benar-benar naluri. Perlahan Srida mengancing kembali hemnya. Aku pun mengusap bibirku, menghilangkan goresan merah dari situ. Masih kurasakan manis bibir dan lipstiknya di situ. Aku tersenyum, Srida juga.

“Maaf. Aku terbawa perasaan”, bisikku.
“He eh”, angguknya.
Lalu kami baru ingat kembali. ‘Ya ampun kami di dalam taksi’.
“Dimana kita, Pak?” Tanyaku ke sopir.
“Di Braga, Pak”, jawabnya, kentara sekali malu-malu.
“Kita kembali ke tempat tadi Pak.” Kulirik argo taksi GR itu sudah 14 ribu. Gila. Berapa lama ya Pak Tua ini dapat tontonan gratis. Aku agak menyesal juga.
“Baik Pak.”

Lalu Pak Tua itu pun mengantar kami ke kompleks perumahan Srida. Atas permintaan Srida, kami hanya mengantarnya di depan kompleks (ngertilah, Srida tidak mau sopir itu tahu rumahnya). Lalu aku pun pulang ke hotel Horison.

Bersambung . . . . .