Pesiar bersama Grace – 1

Kisah nyata ini bermula ketika saya mengikuti test penerimaan karyawan sebuah perusahaan di kota Mataram. Pada hari Sabtu jam 10.20 yang telah ditentukan, saya diinterview pada session terakhir.

“Saudara Andi, silakan” panggil resepsionis cewek itu mengajak saya ke sebuah ruangan.

Di ruangan itu sudah duduk seorang wanita yang cantik, seperti artis mandarin yang ternyata adalah seorang Manager HRD. Memakai setelan hem, dalamnya berwarna putih dan jasnya merah serta dipadu rok mini merah, kulitnya putih bersih karena masih ada keturunan tionghoa. Saya perkirakan umurnya masih muda sekitar 26 tahunan.

“Permisi Bu..”
“Selamat pagi, silakan duduk” sapanya ramah mempersilakan saya duduk di sofa yang cuma dibatasi dengan meja kecil hingga kami saling berhadapan.
“Oh ya, kenalkan saya Grace”
“Andi Bu” jawab saya sambil bersalaman dengannya.
“Panggil Mbak aja ya”
“Iya.. Mbak”

Setelah acara tanya jawab mengenai bidang yang saya lamar dan bagaimana tanggapan dari perusahaan, akhirnya sampailah pada pertanyaan yang terakhir.

“Dulu apa pekerjaannya, Andi?” tanya Grace sambil menopangkan sebelah kakinya yang putih itu.

Duh cantiknya cewek ini, udah putih, cantik lagi seperti artis Mandarin di Hongkong itu, pikirku. Kuperkirakan tingginya 170 cm/56 kg dengan pinggang yang langsing, pokoknya seksi deh.

“Sampai sekarang sih masih sebagai free guide” jawab saya jujur.
“Maksudnya..?”
“Pemandu tour lepasan untuk turis domestik, begitu”
“Oh gitu, sebetulnya perusahaan ini membutuhkan orang yang berkualitas tinggi”
“Jadi maaf ya, Andi belum bisa memenuhi syarat yang ditentukan perusahaan”
“Nggak apa-apa kok Mbak, saya bisa menerimanya”
“Oh ya, saya cuma sebentar di Lombok ini, kira-kira dua mingguan”
“Maksud Mbak..?” tanya saya nggak ngerti.
“Kalo saya minta Andi menjadi tour guide saya selama dua minggu, berapa biayanya?”
“Terserah Mbak aja, pokoknya ditanggung puas deh jalan-jalan ke pulau Lombok” jawab saya senang, meskipun tidak dapat pekerjaan tapi ada order nih, cantik lagi.
“Besok ya, jam 09.00 di hotel Senggigi Beach, saya tunggu”
“Ya Mbak, pasti saya datang”
“Permisi Mbak”
“Ya, silakan” jawab Mbak Grace mengantar saya keluar ruangan.

*****

Tepat jam 09.20 esoknya, saya sampai di hotel Senggigi Beach tempat Mbak Grace menginap.

“Selamat pagi Mbak, kamar Mbak Grace yang mana ya?” tanya saya pada recepsionis hotel itu.
“Oh, Pak Andi ya, sudah ditunggu di lobi hotel sama Ibu Grace”
“Terima kasih Mbak”
“Sama-sama”

Ternyata Mbak Grace sudah menunggu di lobi dengan kaos ketat berwarna biru hingga samar-samar kelihatan payudaranya yang masih terbungkus BH menonjol di balik kaos gaulnya dan dipadu celana panjang jins, kelihatannya jauh sekali dari formalitas.

“Maaf Mbak, kelamaan nunggu ya?”
“Nggak apa-apa kok, tapi panggil Grace aja ya”
“Ya Mbak.. E.. Eh.. Grace”
“Andi, bisa nyopir khan?”
“Bisa.. emangnya kenapa”
“Tadi saya pinjam mobil kantor untuk jalan-jalan”
“Oh, bisa kok Mbak, jadi kita nggak perlu pake taksi”
“Grace pengin liat tempat gerabah dulu ya”
“Ya, ayo kita berangkat sekarang” ajak saya sambil menggandeng tangannya, rupanya Grace tidak keberatan saya gandeng tanggannya yang putih mulus itu.

Pada jam 09.40 kami berangkat ke desa Banyumulek, tempat gerabah khas Lombok yang luarnya memakai anyaman rotan itu, jaraknya di luar kota Mataram. Setelah sampai, Grace membeli beberapa gerabah hingga jam 12.10 dan kami kembali lagi ke Mataram untuk makan siang.

“Terus mau kemana lagi Grace?” tanya saya padanya dalam mobil yang akan menuju hotel.
“Temenin saya berenang yuk”
“Ayo, tapi saya nggak bawa baju renang nich”
“Ah, gampang nanti saya beliin, gimana?”
“OK boss”

Maka sampailah kami di hotel Senggigi Beach, ternyata kolam renang tidak begitu ramai dengan orang, cuma ada beberapa bule sedang berjemur.

“Tunggu di sini ya Ndi, saya mau ganti baju dulu” celoteh Grace sambil berlalu ke ruang ganti.

Setelah beberapa saat, wow.. Grace sudah berganti dengan baju renang yang seksi sekali, berwarna putih selaras dengan kulitnya dan payudaranya menonjol dari balik baju renangnya.

“Ayo Ndi, kok bengong aja” katanya mengagetkan saya dan kami pun berenang di dalam kolam yang cukup besar itu.

Kami berenang sampai jam 17.10 sore dan lalu Grace mengajak saya mengakhiri dulu acara renangnya.

“Sampai besok ya Ndi”
“Ya, sampai besok Grace” jawab saya sambil menelan ludah karena membayangkan betapa putih dan seksinya Grace memakai pakaian renangnya itu.

Beruntung sekali jika saya bisa memeluk atau bahkan making love dengannya. Ah tapi itu cuma angan-angan saya saja. Hari berikutnya saya antar Grace ke pemandian alam Suranadi, tempat air awet muda di Narmada, dan beberapa tempat wisata lainnya.

“Kita ke mall yuk” ajak Grace sambil menggandeng tangan saya mesra bagai sepasang kekasih saja.
“Ada acara apa nich ke mall?” tanya saya sambil melirik Grace yang duduk dengan santai dan seenaknya, bahkan kadang-kadang rok mininya memperlihatkan hampir separuh lebih pahanya yang putih mulus hingga si boy jadi tidak tenang, kapan ya bisa bergesekan dengannya, pasti sedap, pikirku.
“Saya mau beli pakaian atas nich” jawabnya.

Selama sepuluh hari berlalu, kami sudah menjadi akrab sekali. Siang itu Grace mengenakan kaos ketat putih bergambar panda yang dipadu dengan rok jins mini berwarna biru dengan sabuknya yang besar, saya tidak tahu apakah ini model baju gaul jaman sekarang atau kreasi Grace sendiri. Mall Cilinaya itu sungguh ramai pada saat hari Minggu, hingga saya bisa menggandeng pinggang Grace yang ramping itu dan wangi tubuhnya sungguh harum sekali. Rupanya Grace tidak keberatan saya peluk pinggangnya. Ini baru lumayan, pelan-pelan ada kesempatan nih, pembaca.

“Kita cari baju yuk” ajaknya ke toko baju dalam mall tersebut.
“Okey..”
“Ini bagus nggak Ndi?” tanyanya sambil memperlihatkan hem merah.
“Bagus juga kok Grace, cobain aja” jawabku.
“Iya deh” jawabnya sambil menuju ruang ganti.

Tentu saja saya mengikutinya dan membantu menutup kain tempat mencoba baju itu, namun yang membuat saya berdebar-debar, ternyata ada celah sedikit untuk mengintip ruang ganti itu, mungkin saja Grace tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Pertama-tama Grace membuka kaos ketat warna putihnya hingga sekarang tampak kelihatan BH warna kuningnya yang sungguh indah, membuat si boy langsung berdiri, kemudian ia mencoba hem merah itu dan ternyata pas sekali dengan bentuk tubuh Grace. Setelah cocok dan membayar harganya, saya mengajak Grace mencoba naik cidomo (semacam dokar yang ditarik oleh kuda), sedangkan mobil masih diparkir di Mall supaya aman.

“Gimana Grace, rasanya naik cidomo?” tanya saya sambil memperhatikan rok mininya yang tadi agak tersingkap pada saat naik cidomo hingga kelihatan sedikit celana dalamnya yang berwarna putih polos. Si boy langsung berdiri hingga celana jins saya jadi sesak.
“Lucu ya, naik cidomo begini”
“Ya, ini namanya kendaraan tradisional khas daerah sini”
“Oh, gitu..”

Setelah bolak balik naik cidomo, kami kembali ke hotel supaya Grace bisa beristirahat.

“Ndi, kamu tadi ngintip saya ya?” tanya Grace tiba-tiba sambil menatap saya lekat.
“E.. Eh.. Ya.. Nggak sengaja kok” kata saya tergagap-gagap karena kaget bahwa Grace tahu tadi saya memperhatikan wilayah pribadinya. Saya pasrah saja kalau akan dimaki atau bahkan diusir.
“Mmh.. Gitu ya”
“Maaf ya Grace, saya nggak sengaja kok, kalo Grace nggak suka saya bisa pergi sekarang kok” jawab saya sambil akan meninggalkannya.
“Tunggu.. Ndi, sebetulnya Grace nggak apa-apa kok”
“Terima kasih kalo begitu” jawab saya yang tidak jadi meninggalkannya, bahkan sempat duduk di hadapannya kembali.
“Gimana badannya Grace?” tanyanya lagi dengan antusias.

Wah ada kesempatan lagi, saya ingin berusaha membujuk Grace supaya mau making love dengan saya siang ini, paling-paling ditolak atau diusir, itu resikonya.

“Seksi sekali” jawabku.
“Yang bener” tanyanya memastikan.
“Abis bodinya Grace seksi sich, rajin fitness ya”
“Iya, ini akibat latihan fitness”
“Ndi, masuk kamar yuk, soalnya panas di luar” ajak Grace tiba-tiba sambil menggandeng tangan saya masuk kamar kelas VIP itu, sungguh kamar yang bagus sekali.

Tiba-tiba HP Grace berdering, dan Grace menjawab HP-nya sambil duduk di sofa. Wow, sekarang dengan jelas sekali kelihatan CD-nya yang berwarna putih karena duduknya yang agak membuka kedua pahanya itu. Sungguh pemandangan yang indah sekali. Setelah Grace menutup HP-nya, Grace menatap saya dengan pandangan yang lain.

“Ada apa Grace?” tanya saya sambil duduk di sampingnya.
“Mungkin satu atau dua hari lagi saya kembali ke Jakarta” jawabnya sambil menyandarkan kepalanya pada pundak saya.
“Lho, kok cepat sekali” tanya saya sambil mengelus pundak kirinya pelan.
“Biasa, panggilan dari bos besar..” jawabya sambil mengusap-ngusap paha kiri saya dengan mesra.
“Gimana kalo sekarang, Andi kasih hadiah”
“Hadiah apa, pasti asyik nih?” celoteh Grace penasaran sambil menatap saya serius.
“Gimana, kalo hadiahnya berupa ciuman”
“Hush, ngawur kamu, khan udah kukasih liat” celotehnya sambil nyengir.
“Lho, ini khan ada rasanya” jawab saya nggak mau kalah sambil tangan kanan saya mengusap-usap pipinya yang putih mulus.
“Geli tau..” tolaknya manja.
“Lama-lama enak kok” rayu saya sambil mencium lehernya, bahkan menjilatinya sedikit demi sedikit supaya Grace merasakan rangsangan.
“Jang.. An.. Ndi.. Kamu.. Nakal..” sentak Grace sambil mendorong tubuh saya, namun dorongannya malah membuat kami berdua jatuh ke sofa dengan posisi saya menindih Grace.

Kesempatan itu tak saya sia-siakan karena langsung saja saya cium bibirnya yang merah basah. Beberapa saat Grace masih memberontak lemah dan pergumulan itu semakin membuat tangan kanan saya menekan-nekan payudaranya yang masih terbungkus kaos dan tangan kiri saya memegang kepalanya.

“Mmh..” guman Grace karena mulutnya penuh oleh lidah saya yang berusaha membelitnya dan kembali ke lehernya yang putih bersih, terus menjilatinya dengan gemas.
“Sst.. Jann.. Ngan.. Sst..” celotehan dan sedikit rintihan Grace membuat saya tahu bawah Grace sekarang agak terangsang, dan perlawanannya sudah mulai semakin lemah.
“Aduh.. Sst.. Ndi.. Pelan-pelan..” rintihnya sambil memegang tangan saya yang sedang meremas payudaranya.

Bersambung . . . .

Pesiar bersama Grace – 2

Tangan saya kembali bergerilya ke bawah punggungnya, dan berusaha melepas BH putihnya hingga akhirnya lepas juga. Dengan tiba-tiba BH itu disentak oleh Grace sendiri hingga lepas ke lantai dan menarik kaosnya hingga ke atas. Tampak jelas payudaranya yang putih mulus dengan putingnya yang sudah berdiri kencang.

“Ndi.. Pakai kondom ya..?” pinta Grace sambil meraba-raba si boy dengan pelan.
“Ya Grace..” jawab saya sambil membuka kondom yang sudah saya persiapkan dari tadi. Grace sekarang sudah melepas kaos ketatnya hingga tinggal tersisa rok mini dan CD putihnya.
“Tunggu Grace, biar saya saja yang nanti melepasnya” cegah saya saat melihatnya akan membuka roknya, dan sekarang saya juga sudah membuka pakaian dan celana panjang hingga bugil tinggal tersisa CD saja.
“Ini rahasia kita berdua lho” bisik Grace sambil menatap saya tajam dan saya lihat di matanya ada keinginan yang terpendam dan sudah lama tak tersalurkan.
“Oke boss..” jawab saya sambil menciumnya dengan hangat dan disambut dengan gemas oleh Grace, bahkan tangan saya dengan bebas meremas payudaranya yang kiri dan kanan secara bergantian. Kemudian ciuman saya turun ke payudaranya dan melumatnya, menghisap bahkan menggigit putingnya hingga Grace merintih. Itu saya lakukan selama beberapa menit.
“Sst.. mmh.. terus.. sst.. ke bawah.. dikit.. sst..” pinta Grace sambil merintih tidak karuan sambil mendorong kepala saya memintaku mencium dan menjilat pusarnya.

Tangan kanan saya juga aktif merayap pada pahanya dan semakin naik ke bawah hingga masuk ke dalam roknya dan menyentuh vaginanya yang terbungkus CD. Saya usap-usap beberapa menit, kemudian tangan saya masukkan ke dalam CD putihnya dan mengorek-ngorek lubang vaginanya hingga mengeluarkan cairan.

“Sst.. Ndi.. Aduh.. Geli.. Sst..” rintih Grace sambil berusaha membuka roknya. Karena birahinya sudah cukup tinggi, saya bantu untuk membuka rok beserta CD-nya hingga Grace bugil sama sekali dan kelihatan bodinya yang padat dan montok.
“Ayo Ndi, buka juga dong, kok bengong..” pinta Grace tidak sabar sambil membuka CD saya dan keluarlah si boy dengan tegaknya. Grace sampai tercengang melihat si boy yang agak bengkok ini.

Bagaimana saya tidak bengong melihat cewek cantik putih mulus dan seksi di hadapan saya dengan ukuran payudara 34B ini. Kami sama-sama bugil sekarang dan saya mengambil posisi agak berjongkok untuk menghisap vaginanya yang ditumbuhi bulu halus dan tercukur rapi, sedangkan Grace tiduran di sofa sambil membuka pahanya agak lebar.

“Lho, kok bengong” tanya Grace sambil membimbing kepalaku agar lebih dekat pada vaginanya.
“Ehh..” jawabku kaget tapi cuma sesaat karena berikutnya, vaginanya sudah saya jilat, yang pada awalnya baru pada bibir vagina dan lama-kelamaan pada lubang vaginanya mencari biji kacangnya serta menghisapnya lebih keras, bahkan bulu-bulu halusnya juga ikut tersapu dengan jilatan dan hisapan saya.
“Sst.. Oh.. Yes.. Sst.. Mmh..” rintih Grace panjang sambil menggerakkan pinggulnya ke atas sampai wajah saya terbenam semua dalam permukaan vaginanya. Sementara tangan kiri saya meremas-remas payudaranya silih berganti dengan dibantu tangan Grace sendiri.
“Sst.. Teru.. Ss.. Ndi.. Sstss.. Mmh.. Sst.. Saya.. Kelu.. Ar.. Arkh..” jerit Grace karena dengan tiba-tiba menjepit kepala saya dengan kedua pahanya.

Rupanya Grace telah mengalami orgasmenya yang pertama karena saya tahu begitu banyak cairannya yang keluar.

“Grace, mau nggak isep si boy?” tanya saya menghentikan gerakan menghisap cairan vaginanya sambil menyodorkan si boy padanya.
“Mmh.. Gimana ya, Grace belum pernah tuch” jawabnya sangsi karena mungkin Grace memang belum pernah menghisap kemaluan cowok.
“Gini, kuajarin, Grace lumat aja dan jilat dulu kepalanya ya” bujuk saya sambil membimbing Grace duduk di sofa dan saya berdiri di hadapannya mengulurkan kontol. Tangan kanannya saya arahkan untuk memegang kontol saya dan memintanya mengocok pelan.
“Begini ya..?” tanya Grace sambil mengocok kontol saya pelan dan mengurutnya hingga si boy semakin keras saja.

Rupanya si Grace cepat belajarnya, dan saya semakin menikmatinya.

“Bagus.. Sekarang kulum Grace.. Sst.. Ya.. Gitu..” pinta saya lirih karena dengan cepatnya Grace mengulum kepala kontol saya dan semakin lama semakin ke dalam hingga kontol saya sampai masuk semua pada mulutnya, bahkan kadang-kadang tanpa diminta, Grace menjilati buah zakar saya tanpa jijik dan kembali mengulum dan menghisap kontol saya dengan irama yang kadang cepat kadang pelan.
“Sst.. Udah Grace.. Cukup..” pinta saya karena sudah tidak kuat menahan hisapan Grace yang semakin lama se makin liar saja.
“Ayo Ndi, Grace udah nggak tahan nich..” jawab Grace sambil memasangkan kondom pada kontol saya.

Kemudian Grace rebah telentang lagi di sofa dengan masih memegang kontolku yang sudah memakai kondom dan mengarahkannya pada bibir vaginanya. Kontol saya gesek-gesekkan dulu pada bibir vaginanya untuk pemanasan hingga membuat Grace mendesis kegelian.

“Sst.. Geli.. Ndi.. Udah masukin aja..”
“Auwh.. Sst.. Pelan.. Sst..” jerit Grace karena kepala kontol saya sudah masuk setengah pada vaginanya dan akhirnya masuk semua dalam vaginanya.
“Sst.. Aduh.. Mmh.. Sstss..” rintih Grace begitu kontol saya masuk semua dan menggoyangkan pinggulnya dengan pelan. Saya juga memompa kontol saya keluar masuk vaginanya dengan perlahan dan semakin lama makin cepat.
“Sst.. Ndi.. Mmh.. Sst.. Ce.. Petan.. Sst..” pinta Grace pada saya karena saya memperlambat sodokan kontol saya.
“Mmh.. Nah.. Gitu.. Ter.. Us.. Ssttss..”
“Grace.. En.. Ak.. Nggak.. Sst..?” tanya saya tersengal-sengal karena Grace semakin aktif memutar-mutar pinggulnya, bahkan tangan kanannya memegang pantat saya dan menekannya dengan keras hingga kontol saya semakin dalam masuk ke vaginanya.
“Sstss.. Enak.. Ndi.. Sstt..” jawabnya lirih karena kedua tangan saya silih berganti meremas payudaranya yang kadang-kadang saya isap puting susunya bergantian.
“Sstssrtt.. Udah.. Ndi.. Kelu.. Arin.. Samaan.. Sst..” pinta Grace yang rupanya sudah tidak tahan pada sodokan kontol saya yang keluar masuk makin cepat diimbangi pula dengan cepatnya goyangan pinggul Grace.
“I.. Ya.. Grace.. Sst..” desis saya lirih karena saya dengan kuat juga diputar-diputar oleh pinggul Grace yang kencang itu hingga kontol saya rasanya senut-senut dijepit oleh vaginanya.

Beberapa puluh menit saya dan Grace melakukan making love itu dengan bersemangat hingga kepala Grace menoleh ke kiri-ke kanan tak beraturan. Rupanya pertahanan saya sudah akan bobol dan akhirnya saya memberi aba-aba pada Grace disertai dengan pelukan Grace yang makin kencang.

“Sst.. Ayo.. Grace.. Sst..”
“Ssrtrrsst.. Arkhkk..” jerit Grace melengking sambil menjepit kontol saya dengan erat, disertai sodokan kontolku yang makin cepat dan akhirnya..

Crot.. croot.. croot.. Tiga kali tembakan saya muntahkan dalam vaginanya tapi masih di dalam kondom. Grace akhirnya lunglai sambil memeluk saya dengan hangat.

“Hahh.. Lega rasanya..”
“Gimana rasanya Grace?” tanya saya sambil membelai rambutnya yang harum itu.
“Enak gila” jawabnya sambil tersenyum.

Selama dua hari, sejak kejadian itu saya sering melakukan making love dengan Grace, bahkan sering Grace yang memulai lebih dulu. Akhirnya pada hari terakhir saya mengantar Grace ke bandara Selaparang. Hari masih pagi kira-kira jam 05.25, karena pesawatnya akan berangkat jam 07.00. Mungkin Grace masih ingin curhat pada saya mengenai beberapa hal.

“Wah, masih sepi ya..”
“Iya Grace, baru kita aja yang datang, tapi nggak apalah, kita khan bisa ngobrol” jawab saya santai.
“Iya, ya”

Pagi itu Grace mengenakan hem yang baru dibelinya dan dipadu dengan rok jins mini kesukaannya yang berwarna putih. Setelah mengobrol sekitar lima belas menit, Grace kelihatannya gelisah dan mengajak saya ke toilet wanita.

“Saya tunggu di sini ya”
“Udah ayo masuk, mumpung nggak ada orang” pinta Grace sambil menggandeng tangan saya masuk ke toilet wanita itu.

Lalu kami masuk ke kamar mandi di pojok yang kosong. Gila juga Grace, nanti kalau ada yang tahu bagaimana, pikirku. Belum sempat saya berpikir panjang, Grace sudah melepas celana dalamnya yang berwarna merah dan mendorong saya duduk di atas toilet modern itu.

“Eh.. Grace.. Gimana kalo ada orang nich” jawab saya bingung, tapi akhirnya saya lepas juga celana jins beserta CD saya hingga si boy nongol dengan tegaknya.
“Sst.. Udah diam aja kamu” jawab Grace sambil meremas kontol saya hingga tegak sempurna.
“Tapi belum pake kondom nich”
“Nggak usah, Grace pengin yang original, ayo..” pintanya sambil mengarahkan kontol saya pada vaginanya.

Saya juga membantunya dengan memegang pantatnya hingga masuk semua kontol saya pada vaginanya. Posisi saya yang duduk memangku Grace dan Grace berhadapan dengan saya mengakibatkan tekanan vaginanya lebih terasa.

“Sst.. Ndi.. Ayo.. Cepetan.. Sst..”
“Iya..” jawab saya sambil dengan cepat menyodokkan kontol keluar masuk vaginanya.

Untung saja pagi itu belum ramai oleh penumpang dan toilet itu belum ada yang mendatanginya hingga Grace dan saya bisa making love dengan nikmat yang bercampur dengan perasaan berdebar-debar.

“Sst.. Sayang.. Cepet.. Ssrrtt..” rintih Grace sambil menggoyang pinggulnya dengan liar.
“Sst.. Mmhmm.. Ssrttss..” desisnya.
“Grace.. Sst..” desis saya lirih sambil tangan saya melepas kancing hemnya dan masuk ke dalam BH-nya serta meremas payudaranya dengan pelan, bahkan kadang-kadang saya cium juga bibirnya yang merah basah dengan gemas, yang dibalasnya dengan ciuman yang liar juga.
“Ssrtss.. Ssttrtss..” rintih Grace pelan sambil mempercepat goyangan pinggulnya.

Dan akhirnya kegiatan yang berlangsung kurang lebih 40 menit itu saya akhiri dengan mempercepat sodokan kontol saya dengan cepat hingga akhirnya muncratlah lahar putih saya dalam vaginanya dengan keras tanpa penghalang kondom.

“Sst.. Arkhkk..” jerit Grace sambil memeluk saya dengan erat karena bersamaan dengan keluarnya lahar putih saya, juga keluar lahar putih dari Grace. Hingga beberapa saat saya dan Grace masih menikmati sensasi itu dengan berciuman lembut.
“Trim’s ya Ndi..”
“Sama-sama Grace, kapan-kapan main-main ke Lombok lagi ya” jawab saya sambil membereskan celana dan baju, begitu pula dengan Grace yang mengganti celana dalamnya dengan yang berwarna hijau lumut.

Setelah rapi, saya dan Grace keluar toilet untuk mengobrol lagi menunggu pesawat yang masih belum berangkat juga. Beberapa saat kemudian baru Grace berangkat ke Jakarta dengan membawa dan meninggalkan sejuta kenangan. Selamat jalan Grace, terima kasih atas amplop dan kenangannya serta ijinmu agar saya bisa mengirimkan cerita pengalaman kita berdua ini, salam sayang dari sahabatmu Andi. Jangan lupa ya kirim komentarmu atas cerita saya ini.

Tamat

Hilangnya tiga keperawananku

Nama panggilanku Mayang. 21 tahun, bekerja di perusahaan swasta di Jakarta, Aku tergolong wanita dengan wajah biasa-biasa saja dengan tinggi badan 169 cm dan berat 50 kg, rambut seleher, kulit putih, banyak yang bilang aku memiliki bentuk tubuh yang bagus, sangat proposional. Sejak remaja, kehidupan sosialku tergolong cukup ‘konservatif’. Berbeda dengan kawan lainnya yang bebas berteman atau berpacaran, sementara aku hanya boleh dikunjungi kawan atau pulang bermain sampai jam 8 malam, terlambat sedikit saja aku akan seperti pesakitan yang diinterogasi polisi oleh orangtua. Setelah bekerja barulah aku mendapat kebebasan.
Akhir Januari ’91 adalah pertama kali aku berkenalan dengan Dito (37) cukup unik, salah sambung telpon yang mengakibatkan salah pengertian, sehingga menimbulkan argumentasi yang sengit. Namun setelah menyadari kesalahannya Ia minta maaf berkali-kali, ini dilanjutkan dihari-hari berikutnya, Ia pun kemudian semakin sering menelpon. Dito adalah seorang pimpinan divisi dikantornya, lima tahun menduda. Aku begitu terkesan dengan suaranya yang sangat bersahabat, apalagi banyolan2nya yang segar membuat waktu istirahat dikantor lebih ceria. Aneh rasanya seperti ada sesuatu yang hilang bila Ia tidak menelpon, sialnya, aku tidak berani menghubunginya walau hati kecil mendesak untuk memutar no. telponnya. Tiga bulan sudah kami bertelepon, sepertinya Ia tidak punya keinginan untuk bertemu muka, hal itu membuat aku sangat panasaran.
Aku sangat menunggu saat2 dimana ada kesempatan untuk mengemukakan keinginan untuk bertemu dengannya tanpa harus kehilangan muka. Pucuk dicinta ulam tiba, kata pepatah, suatu saat diakhir minggu-seperti biasanya-Ia menelpon untuk mengatakan “have a nice weekend” Aku memberanikan menanyakan rencananya menghabiskan ‘long weekend’ karena Seninnya tanggal merah.
“..tidak ada yang spesial, niatnya sih ingin membereskan rumah” jawabnya, aku sendiri baru tahu bahwa Ia tinggal sendiri di paviliun kontrakannya.
“..tidak keberatan kalau dibantu” tanpa sadar aku menawarkan diri. Menyadari kecorobohan ini mukaku memerah, baru saja ingin meralat Dito telah menyambut tawaranku dengan gembira
“..terima kasih sekali, memang rumahku ini perlu sentuhan tangan wanita” ucapnya, aku benar-benar tersipu, alangkah malunya. Bertemu mukanya dengannya memang keinginanku tapi mustinya bukan aku yang memulai, apa pandangannya nanti? Belum lagi sempat mememikirkan cara membatalkannya Dito telah menetapkan waktu “..aku tunggu kamu besok jam 10.00 dirumah” dan memberikan alamat rumahnya.
Keesokan hari, saat sampai dirumahnya aku sempat ragu, rasanya ingin kembali pulang, namun entah kenapa tanganku lebih memilih menekan bel daripada melangkah pulang. Tak lama kemudian dari dalam rumah keluar lelaki berperawakan sedang, berkulit coklat mengenakan jeans dengan T-shirt hitam dengan wajah yang tidak terlalu istimewa namun dihiasi senyum yang sangat menarik
“..Mayang ya” tegurnya sambil membukakan pagar, aku mengangguk dan membalas dengan bertanya “..Dito?” Ia pun mengangguk dan menyalamiku dengan genggaman tangannya kuat sambil menepuk-nepuk lembut punggung telapak tanganku dengan akrab sekali.
Sesampai di ruang tamu bergaya ‘Jepang’-tidak ada kursi hanya bantal2 besar dan meja-paviliun kecil dengan kesan lelaki yang sangat kuat. Setengah jam kami berbasa-basi. Ia lebih banyak mendominasi pembicaraan yang benar-benar mencairkan suasana yang agak kikuk, aku hanya terpana melihat Dito berbicara, tawanya yang lepas, dan canda nakalnya yang sering membuat wajahku merona merah, dan kemudian “..ayo kita mulai kerja bakti..” ajaknya sambil tersenyum. Senyum yang aku yakin telah memikat banyak wanita. Aku segera menuju dapur-yang juga sangat lelaki-piring, gelas dan sendok kotor menumpuk, sementara Dino membersihkan kamar tidur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang istirahat dengan segala pernik elektronik. Sesekali ia menengokku di dapur dengan celetukan-celetukan lucunya membuat aku tidak dapat menahan tawa. Sambil mencuci aku sempat tersipu-sipu membayangkan kegiatan kami yang layaknya seperti pasangan yang baru menikah.
Jam 1.00 siang ‘kerja bakti’ tuntas, sebelum permisi untuk mandi Dito memesan pizza lewat telpon untuk makan siang, Ia menyilahkan aku memutar VCD sementara menunggunya mandi. Aku memilih film sekenanya saja karena tidak ada bintang2 filmnya yang familiar. Aku sempat kaget melihat adegan ciuman difilm itu yang berbeda dengan adegan ciuman difilm yang biasa aku tonton dan yang membuat aku terkejut ternyata adegan ciuman itu berlanjut lebih dahsyat lagi. Sambil berciuman tangan pria di film itu mulai meraba-raba paha pasangannya dan semakin naik hingga dibagian sensitif dibalik rok. Mata si wanita terpejam menikmati elusan-elusan itu. Apalagi adegan selanjutnya yang memperlihatkan pria itu menciumi buah dada pasangannya yang saat itu sudah telanjang bulat, aku betul2 terpana! Ingin rasanya mematikan VCDnya tapi rasa ingin tahu akan apa yang terjadi berikutnya membuat aku tidak menekan tombol off di remote control, adegan berikutnya semakin memanas, saat siwanita membuka celana dalam pasangannya aku menahan napas melihat kemaluannya yang panjang dan besar itu dijilati dan dihisap!
Ada rasa aneh yang menjalar ditubuhku, membuat aku duduk dengan gelisah, dan semakin gelisah lagi waktu si pria mulai menyetubuhi pasangannya. Seumur hidup belum pernah aku menyaksikan adegan2 seperti itu, mimik si wanita yang demikian menikmati ditambah lagi desah2annya telah membuat bagian2 sensitif ditubuhku mengeras, tanpa sadar aku pun merapatkan paha dan menggerak-geraknya, napasku pun mulai tidak terartur..saat itulah lamat2 kudengar pintu kamar mandi terbuka, secepat kilat kutekan tombol off di remote control dan mengembalikan piringan VCD ketempatnya. Dan benar, Dito berdiri di sampingku kelihatan lebih segar dan harum
“Kok udah selesai nontonnya?” Tanya Dito.
“Ngga kok aku Cuma denger radio aja” Jawabku berbohong.
Belum lagi berbicara banyak pengantar pizza tiba, “safe by the bell”, aku begitu lega karena kuatir Dito mengetahui kebohonganku.
Kami pun menikmati makan siang sambil lesehan dikamarnya yang merangkap ruang istirahat sambil bercengkerama. Berbicara dengannya betul2 mengasyikan, iya tahu betul kapan harus berbicara dan kapan harus menjadi pendengar yang baik, Duduk lesehan membuat rok jeansku sedikit tersingkap, sesekali aku menangkap pandangan Dito yang mencuri tatap kearah pahaku yang putih dan anehnya aku bukannya malu malah sebaliknya menikmati tatapnya.
“Mau nonton VCD” Dito menawarkan, selesai kami makan “Tapi filmnya belum disensor, ngga apa2 kan?” aku mengerti maksudnya dan bingung mau menjawab apa, kebingunganku diartikan ‘iya’ rupanya, Dito langsung memutar VCD, kami duduk lesehan dengan menyandarkan punggung masing2 ditembok. Kembali adegan2 yang aku lihat tadi muncul dilayar TV 29’nya, hanya saja ceritanya berbeda. Awalnya aku cukup risih juga nonton adegan2 panas itu berdua tapi melihat Dito begitu santai tidak ada tendensi apa2 aku pun mulai relaks dan menikmati film ‘panas’ itu. Kembali perasaan aneh itu muncul setelah 20 menit melihat adegan yang seronok itu, dan entah bagaimana mulainya tiba-tiba aku merasa bibirnya mengecup lembut leherku, dapat aku rasakan darahku berdesir.
Ya, ampun! aku bukannya mengelak atau marah, malah sebaliknya menikmati kehangatan bibirnya dileherku yang kemudian menjalar kebibirku, kecupan lembutnya perlahan-lahan berubah, Dito mulai mengulum bibirku, aku terpejam ketika merasakan lidahnya menerobos mulutku. Aku bukannya tidak pernah berciuman, tapi yang seperti dilakukan Dito baru pertama aku rasakan dan ini menimbulkan sesuatu yang luar biasa. Belum hilang rasa itu, aku sudah merasakan jilatan lidahnya membasahi leherku yang jenjang, hangat sekali rasanya. “aahh..”, Aku mendesah pelan sambil menengadahkan kepalaku, agar lidahnya leluasa melingkar-lingkar di leherku.., menari-nari di situ.., aakkhh.., semakin tak karuan rasanya. Dan tiba-tiba aku merasakan tangannya meremas lembut payudaraku membuat desiran darahku semakin kencang, aku betul2 terangsang, tapi rasa malu ku tiba-tiba menyergap dan aku berusaha melepaskan tangannya dari payudaraku “..Jangan Dit..” pintaku, ia sepertinya bingung
“..Aku belum pernah ..” kataku,
“..oh maaf..” Dito sepertinya memahami penolakanku, dan kamipun melewati petang itu dengan nonton sesekali diselingi kehangatan bibirnya.
Menjelang malam aku pun pulang, dan berjanji untuk datang lagi esok hari Minggu. Sampai dirumah aku langsung mandi dan berkurung dikamar membayangkan kejadian di rumah Dito, sesuatu yang belum pernah aku alami dalam hidup, film yang “panas”, kecupannya yang membara dengan lidahnya yang menjalar dileher dan remasan tangannya didadaku. Ingin rasanya menghilangkan semuanya itu dari kepalaku, tapi semakin aku ingin membuang semakin kuat bayang2 semua kejadian itu melekat dikepalaku. Tanpa sadar aku mulai menirukan apa yang dilakukan Dito, meng-elus2 dan meremas payudaraku sendiri. Rasa nikmat yang timbul menguasai seluruh tubuhku, semakin lama semakin keras telapak tanganku me-remas2 dan instingku menuntun agar jari-jemari menyentuh puting payudaraku ..dan saat jari-jemariku mulai memilin-milin puting kecil ke-merah2an itu..ngghh..tanpa sadar aku melenguh dan meng-geliat2 kecil, aku sangat menikmatinya sampai tertidur pulas.
Pagi harinya, Minggu yang cerah, aku begitu ceria sarapanpun kuselesaikan dengan secepat kilat tidak sabar rasanya untuk segera memenuhi janji dengan Dito. Tepat jam 10.00 aku sudah dirumahnya
“..Hallo, selamat pagi..” sapaku begitu pintu terbuka.
“..Hai pagi,..” sapanya kembali, Dito tampak segar dan wangi, ia kemudian mengecup kedua pipiku dan memelukku erat, membuat aku agak tersipu dengan penyambutannya.
“..Ayo masuk..temenin aku sarapan ya..”ajaknya sambil menarik tanganku
“..Aku sudah..minum saja..” ia kemudian membuatkan aku teh hangat manis dan duduk berhadapan dengannya di meja makan kecil dengan dua bangku. Seperti biasa Dito yang lebih banyak berbicara dengan gayanya yang memukau.
Selesai sarapan kami masih tetap duduk dimeja makan menghabiskan teh hangat dan kopi sambil berbincang-bincang. Dito sesekali meremas tanganku, kadang membelai pipiku dengan punggung jari2nya..”Kulit kamu halus” celetuknya, aku menunduk tersipu-sipu. Dito mengangkat daguku dan mengecup lembut bibirku, kecupan lembut yang panjang dan secara perlahan berganti dengan lumatan-lumatan panas. Kehangatan bibir dan desiran nafasnya yang menyentuh kulit begitu membangkitkan gairah kewanitaanku. Entah kapan mulainya, tiba-tiba saja kami telah berdiri berpelukan sambil tetap saling melumat dan..lebih liar, aku merasakan lidahnya menggeliat-geliat didalam mulutku. Aku bukan lagi Mayang yang kemarin, Mayang yang sekarang tidak lagi pasif saat lidah Dito menari-nari dirongga mulutnya, Mayang yang sekarang membalas keliaran lidah Dito dengan gairah yang mengapai-gapai keluar dari tubuh yang mulus dan sintal.
Aku merasakan pagutan-pagutan Dito dileherku yang jenjang diselingi dengan jilatan2 lidah yang membara membuat seluruh bulu2 halus dibadanku berdiri. Dan saat lidahnya turun ke belahan dadaku..menari-nari di situ dibarengi dengan remasan2 tangannya dipinggulku, membuat aku semakin tak karuan. Begitu tangannya mulai meremas-remas payudaraku-bukannya menolak seperti kemarin-malah aku mengharapkan lebih, Dito seperti mengerti keinginan itu, ia mulai melepaskan kancing bajuku satu persatu dan membuka bra 34b yang menyangga payudaraku.. “agghh”..jerit birahi keluar tanpa aku sadari saat tangannya meremas-remas lembut dan payudaraku yang putih dan sudah mengeras. Aku terlena pasrah dibawah kenikmatan yang baru pertama kurasakan ini.
Aku bahkan ingin lebih, segera kudekap kepalanya dan kutarik mendekati dadaku yang kubusungkan, Dito tahu persis harus melakukan apa, lidahnya menjilat-jilat, berputar-putar melingkar-lingkar di puting susuku dengan liarnya, aku menggelinjang-gelinjang menahan geli dan nikmat yang luar biasa. Dari meja makan kami pindah ketempat tidur, disini kembali kedua puting payudaraku menjadi bulan-bulanan mulut Dito, aku merintih..mengerang, keringatku mulai menetes, rasanya sulit sekali untuk bernafas teratur, tiap kali menarik nafas selalu terhenti oleh rasa geli yang menyengat puting payudaraku.
Aku baru sadar sudah dalam keadaan tanpa sehelai benang pun di tubuhku saat Dito merebahkanku di kasur. Dito menerkam tubuh sintalku dengan birahi yang membara, kamu berpelukan saling memagut, menjilat, meremas dan berguling-gulingan. jari-jemari Dito merayap dan menyentuh bagian kewanitaanku, akupun meradang. Aku tidak lagi mampu menahan eranganku yang keras saat jari-jemarinya dengan lembut membelai lembut mulut kemaluanku, jari-jarinya dengan lincah bermain-main, menekan dan mengelus seluruh permukaan kewanitaanku, yang kurasakan mulai basah oleh cairan birahi.
Sambil melumat payudaraku Dito mulai melepas seluruh pakaiannya dan aku merasakan kejantanannya yang keras dan hangat menyentuh pahaku. Dito menarik tanganku agar menyentuh kejantananya, bukannya sekedar menyentuh, akupun mulai meremas-remas, sentuhan tanganku di kemaluannya membuat birahiku semakin menggelegak. Dito kemudian beringsut ke bawah lidahnya menjalar ganas menjilati kulit mulus pahaku membuat tubuhku mengelinjang keras. Aku merasa pahaku bergetar ketika lidah Dito yang panas mendekati selah-selah paha. Aku menjerit tertahan saat lidah Dito sampai di bibir kewanitaanku, lidahnya yang nakal menelusuri seluruh pinggir bibir kewanitaanku. “Ahhgg..”, Aku menjerit dan menggelinjang hebat ketika lidahnya mulai menjilat-jilat klitorisku, aku mencengkram rambut Dito menahan gejolak birahi yang sudah tidak tertahankan lagi. Tapi rupanya Dito tidak ingin segera berhenti memberikan kenikmatan lidah dan mulutnya.
Kewanitaanku seperti diselimuti oleh sesuatu yang basah, panas, dan lunak. saat mulutnya mulai menghisap-hisap kemaluanku layaknya mencium bibir. Belum pernah aku rasakan kenikmatan seperti itu. tubuhku bergetar keras merasakan lidahnya yang sesekali masuk kedalam kemaluanku dan bergerak-gerak cepat. Tanganku mencengkram apapun yang dapat kuraih, sungguh tak aku kuasa menahan sengatan kenikmatan diseluruh bagian tubuhku, aku mengeliat, menggelepar, dan menyorongkan kewanitaanku kemulut Dito untuk lebih menikmati sensasi mulutnya, hanya jeritan-jeritan dari mulutku yang mengekspresikan kenikmatan yang luar biasa. Aku sudah dalam keadaan terangsang sekali punggungku terangkat-angkat, mataku tak mampu kubuka, nafasku kian terasa berat, bahkan mengelepar-gelepar seperti ikan tanpa air akibat nikmat tak terkira. Rintihanku kian tak terkendali, sementara Dito seakan tak ingin menyudahi kehangatan birahi lewat bibir kewanitaanku, bahkan. Jilatan dan hisapan mulut Dito kian buas menerpa kewanitaanku, benar-benar tak terperi nikmatnya.
Aku betul-betul sudah tidak berdaya lagi, entah beberapa kali sudah tubuhku mengejang dan mengeluarkan cairan birahi saat mulut dan lidahnya bermain-main di kewanitaanku. Akhirnya Dito perlahan-lahan merayap naik ketubuhku dan melumat dadaku, sementara kakinya secara perlahan membuka kedua kakiku. Sentuhan2 kulitnya disekujur tubuhku membuat aku seperti melayang-layang..aku memeluknya erat2 dan menanti apa yang akan dilakukan Dito selanjutnya.
Dan..kemudian aku merasakan kejantanannya menyentuh mulut kewanitaanku dan perlahan mamasukinya seluruh tubuhku bergetar hebat merasakan ujung kejantanannya dalam mulut kemaluanku yang semakin basah. Dito tidak langsung memasukan seluruh kejantannya tapi berulang-kali mengeluar-masukan ujung kemaluannya dengan perlahan membuatku terbang melayang. Aku terpejam, merasakan nikmatnya, diriku terombang-ambing ke alam lain. Aku bahkan membuka kedua kakiku lebih lebar lagi seakan meminta Dito agar memasukan kemaluannya lebih dalam lagi dalam rongga kewanitaanku. Miliknya yang panjang dan hangat itu semakin dalam masuk, aku terbelalak karena rasa perih saat kejantananya merobek selaput daraku. Dito seperti tahu persis apa yang harus dilakukannya, ia melumat mulutku dengan lembut dan berbisik. “..rileks Mayang, sedikit lagi kamu akan merasakan kenikmataan seutuhnya..”sambil menjilati telingaku, menggigit mesra leherku dan melumat puting payudaraku membangkitkan lagi getar2 birahiku sehingga sakit itupun tidak lagi terasa.
“Aahhgg Dittoo.., oohh..”, erangan yang panjang tak dapat kutahan lagi saat merasakan seluruh kejantannya yang keras dan panjang perlahan-lahan menyusuri rongga kenikmatanku sampai akhirnya seluruhnya berada dalam diriku. Aku memeluknya erat2 melumat bibirnya saat ia mulai menggerakkan kemaluannya yang telah memenuhi seluruh rongga kewanitaanku, keluar masuk dengan perlahan. Sungguh kenikmatan yang sulit untuk digambarkan, rintihan birahiku semakin menggila kala Dito menggerakkan tubuhnya lebih cepat lagi. Kejantanannya tanpa henti menghentak-hentak seluruh bagian dalam kewanitaanku dan menggosok-gosok seluruh dinding kemaluanku dengan keliarannya, hentakannya semakin lama semakin cepat membuat aku semakin gila mengeliat-geliat. Tubuh kami semakin diselimuti peluh-peluh kenikmatan.
Setiap kali kejantanan Dito menerobos menguak kewanitaanku dan saat Dito menariknya, seluruh tubuhku dilanda kegelian, kegatalan dan entah rasa apalagi. Akhirnya aku merasakan satu desakan keras di rongga kewanitaanku aku menjerit dan mengerang kesetanan membuat tubuhku mengejang dan memuntahkan cairan birahi membasahi kejantanan Dito dan lorong kewanitaanku, sungguh sebuah kenikmatan puncak yang tak terkira. Seteleh itu entah berapa kali lagi tubuhku mengejang dan mengeluarkan magma birahi, dan rasanya aku tidak ingin berhenti merasakan kenikmatan ini.
Hingga akhirnya Dito semakin mempercepat gerakannya dan kurasakan kejantanannya membesar ia kemudian menekan keras kemaluannya hingga seluruhnya terbenam dalam rongga kenikmatanku disertai erangan-erangan liarnya, kurasakan semburan-semburan hangat keluar dari kemaluannya, diikuti oleh semburan-semburan cairan kenikmatan dari kewanitaanku membuat tubuhku seakan melayang-layang. Dan kamipun lemas dalam kenikmatan yang belum pernah aku rasakan seumur hidup.
Dihari-hari berikutnya aku tidak sabar untuk segera bertemu dan menikmati kembali kejantanan Dito, ia begitu banyak mengajarkan aku variasi dalam bersetubuh, oral sex misalnya. Awalnya aku merasa jengah tapi begitu aku merasakan lidahku menjalar-jalar dibatang kemaluannya yang keras ada sensasi sexual yang lain terlebih ketika aku mencium dan mulai menghisap kepala kemaluannya, Dito yang tergetar akibat hisapanku membuat birahiku memuncak. Saat seluruh kemaluannya berada dalam mulut aku betul2 seperti kerasukan mengulum-ngulum, menghisap-hisap dengan sangat bernafsu, dan sesekali kurasakan kejantanan Dito seakan ingin menerobos ketenggorokanku, begitu cairan birahinya menyembur-nyembur, disertai erangan-erangan liar Dito serta merasakan cairan hangat itu mengalir di tenggorokanku aku merasakan sesuatu yang luar biasa, tidak henti2nya aku hisap cairan2 tersisa seakan-akan tidak ingin setetespun terlewatkan, aku sungguh sangat menyukainya.
Suatu hari sepulang dari kafe dimobil dalam perjalanan pulang membayangkan apa yang akan dilakukan Dito dirumah membuatku “on”-mungkin akibat alkohol, Akupun mulai meraba-raba miliknya, setelah mengeras kukeluarkan dari balik celananya dan mulai kujilati dan mengulumnya dengan rakus. Tanpa terasa kamipun sampai, dengan tergesa-gesa kami melanjutkan lagi permainan panas didalam mobil ke dalam rumah. Kami berpelukan dan saling melumat dengan gairah yg membludak, puting susuku tak terlepas dari lumatannya dan tangan kirinya menjalar kedalam rok, mulai meremas2 dan memasukan jarinya kedalam lubang kenikmatanku. Tapi kali ini Dito tidak hanya memasukan jari tengah-seperti biasanya- ia memasukan juga jari manisnya dan disusul dengan jari kelingkingnya, dengan tiga jarinya Dito mengaduk-aduk kemaluanku, permainan baru ini membuat seluruh tubuhku menegang merasakan nikmat yang luar biasa.
Tubuhku yang sudah tidak tertutup sehelai benangpun direbahkannya ditempat tidur dan ia melanjutkan permainan “tiga jarinya” plus lidahnya yang menjilat-jilat dan menghisap-hisap klitorisku membuat kesadaranku seakan-akan hilang, tubuhku mengelepar-lepar tak tentu arah. Dito kemudian membalik tubuhku pada posisi tengkurap dan membuka kaki kananku, “tiga jarinya” masih didalam kewanitaanku Ia menambah sentuhan birahinya dengan menggigit-gigit punggungku..aahh..sungguh luar biasa..Setelah puas, Dito mulai naik kepunggung dan dapat kurasakan kejantannya memasuki kewanitaanku.
Dito tidak langsung menengelamkannya, Ia membiarkan “kepalanya bermain-main” dulu membuat “milikku” semakin basah, ditambah lagi dengan remasan tangannya di kedua bukit kenikmatanku, serta pagutan-pagutannya dileher membuat birahiku memuncak ingin rasanya Ia segera meneggelamkan kemaluannya. Tapi kembali Dito memberikan kejutan, ia mencabut kejantanannya, memegangnya dan mengarahkannya ke lubang anusku, dengan tangan Dito menekan kejantannya yang basah oleh cairan kenikmatan sehingga ujungnya memasuki anusku, belum lagi hilang rasa kagetku Dito kembali mencabut dan memindahkannya “kepalanya” ke lubang kewanitaanku. Berkali-kali ia memindahkan “kepalanya” di kedua lubangku dan tanpa terasa kalau kemudian sudah bukan kepalanya lagi yang masuk ke anusku tapi sudah hampir seluruhnya menguak dan menerobos anusku..dan saat ia menenggelamkan seluruhnya menimbulkan sensasi sexual yg dahsyat dan semakin bertambah saat Dito mulai menarik dan mendorongnya secara perlahan..aakkhh..dapat kurasakan bagaimana kejantanannya memberikan kenikmatan dalam anusku.
Dito tidak berhenti hanya sampai disitu ia kemudian memasukan jari2nya yg nakal kedalam lubang kenikmatanku..”oohh..Ditoo..” jeritku melepas birahi yang membludak saat ia melakukan “double attack” ..”fuck mee..fuck me hard honey..fuck my ass harder..harder..” aku meracau tidak karuan, membuat Dito semakin bernafsu dan semakin liar melakukan double attack-nya dan..kembali tubuhku bergetar keras merasakan dorongan magma birahi yang akan meledak..”..aagghh Ditoo tekann..aku keluaarr” jeritku, dan kurasakan lahar birahiku menyembur keras berbarengan semburan Dito, kamipun terkulai lemas dalam kenikmatan.
Aku tidak menyesali memberikan “tiga” keperawananku (kegadisan, mulut dan anus) kepada Dito bahkan menikmatinya walau tidak ada janji-janji manis, hanya gairah dan birahi yang diberikannya. Dito telah memberikan “pengalaman” yang luar biasa dalam hidupku.
TAMAT

Cyberlove story – 2

Ketika pompaanku makin cepat, ketika aku telah tiba saatnya untuk mencabut, Alia justru mengunci tubuhku dengan kakinya. Dibiarkannya aku ejakulasi di dalam tubuhnya. Padahal dia tahu, kami berdua sama-sama tak menggunakan proteksi. Akupun dengan tenangnya menikmati orgasme di dalam tubuhnya. Seluruh maniku telah tertampung di tubuhnya. Menit-menit berikutnya aku masih di dalam. Kebiasaanku kalau berhubungan seks memang begitu, sampai penisku lepas dengan sendirinya ketika mengecil kembali. Lucunya, ketika aku lepas dan rebah ke sampingnya, Alia cepat-cepat menutup roknya kembali. Dia sama sekali tak mengizinkan mataku menikmati kewanitaannya. Apa sebenarnya yang dia sembunyikan? Kurasakan kewanitaannya tak ada masalah, masih cukup erat menjepit penisku. Masih ada “rem”nya. Pahanya pun oke saja, tadi tanganku merasakaannya, halus berbulu lembut.
“Kenapa sih Yang?” reaksiku ketika dia menutup roknya kembali.
“Engga apa-apa.”
“Pakaianmu masih lengkap.”
“Sama aja kan, Mas puas juga kan?”
“Benar, barusan Mas puas sekali, tapi..”
“Engga pakai tapi,” potongnya.
“Bagusnya kan kita berdua telanjang bulat.”
Diam saja, tak ada komentar.
“Jadi foreplay kita bisa lebih panjang, gue paling suka foreplay dengan nyiumin tubuh loe,” lanjutku. “Loe juga bisa ‘tinggi’ dan mencapai puncak, engga kaya tadi,” lanjutku lagi. Aku yakin tadi dia belum sampai orgasme.
“Tadi aku puas juga kok Mas,” katanya sambil mencium pipiku.
“Tapi belum orgasme, kan?” lenganku merangkul memeluk bahunya.
“Tak masalah, yang penting Mas bisa puas.”
Dia pernah cerita, dengan pacarnya jarang mendapatkan orgasme tapi pacarnya selalu sampai puncak setiap berhubungan seks. Baginya tak problem asalkan bisa memuaskan pacarnya.
“Lebih indah kalau kita berdua bisa ke puncak.”
“Mas, kita engga usah bahas ini lagi, OK?”
“Okay, okay.” Kupeluk tubuhnya. Aku benar-benar jatuh cinta.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu yang mencemaskan. Kupegang kedua belah bahunya.
“Yang, tadi gue keluar di dalam, gue..”
“Engga usah khawatir Mas,” potongnya.
“Loe pakai spiral?”
“Engga ih, kayak ibu-ibu aja.”
“Lalu?”
“Sejak pertama gue ama pacar selalu keluar di dalam, engga ada efek.”
“Pacar loe mandul, kali?” Kalau benar, wah, dia bisa hamil nih.
“Engga juga, dia pernah hamilin anak SMU.”
“Oh..” Aku lega, tapi belum 100 persen yakin.
“Kayaknya dari gue Mas.”
Aku diam saja, mau komentar apa? Rangkulan di bahunya kupererat lalu kuciumi wajahnya. Menenangkan maksudku.
“Entar Mas, mau ke kamar mandi.” Dia bangkit, masuk kamar mandi dan pintunya dikunci. Di luar kebiasaan memang. Dengan pasangan seks yang lain umumnya aku sama-sama ke kamar mandi, saling membersihkan, atau langsung mandi bersama, atau kalau sama-sama terangsang bisa dilanjutkan main di kamar mandi. Alia memang berbeda. Aku ingin segera mandi tapi mesti nunggu Alia selesai. Gemericik suara douce menandakan Alia sedang mandi. Membayangkan tubuh putihnya yang telanjang bulat di kamar mandi penisku mulai bergerak bangkit lagi. Oh, aku kepingin lagi.
Oho.. Alia lupa celana dalamnya. Kupungut CD-nya yang masih tergeletak di lantai, kusimpan. Alia keluar kamar mandi sudah berpakaian lengkap, wajahnya segar, pipinya masih memerah. Aku cepat-cepat masuk kamar mandi sebelum dia mencari celana dalamnya. Selesai mandi dengan hanya berbalut handuk aku keluar.
“Mana celana gue,” tagihnya.
“Gue simpen, buat kenang-kenangan.”
“Ngaco, masa gue balik engga pakai celana dalam.”
“Loe bener engga mau nginep sini?”
“Mas Ajie, tadi kan gue udah bilang, gue izinnya cuman mengunjungi famili, engga nginap.”
“Jadi kapan dong boleh izin nginap?” celana dalamnya aku berikan.
“Ini kan baru pertama gue izin keluar. Entar deh, lihat-lihat situasi.” Alia duduk di ranjang dan mengangkat sebelah kakinya mulai mengenakan celana dalam. Sekilas aku nampak pahanya yang putih. Kubuang handuk yang menutupi tubuhku dan aku mendekat. Sebelum Alia sempat bangkit untuk menarik ke atas celananya, Aku menubruknya dan merebahkan punggungnya ke kasur.
“Mas..!”
Bibirnya kulumat. Payudaranya kuremas. Tubuhku yang telanjang telah menindih selangkangannya.
“Maass, gue kan musti balik,” katanya ketika Aku melepas bibirnya untuk menelusuri lehernya. Aku terus menciumi leher dan meremasi dadanya. Mulutnya mengatakan menolak, tapi nafasnya yang mulai memburu menandakan lain.
“Kan baru sekali, Yang, sekali lagi ya?”
“Kita masih banyak waktu.”
Ya, masih banyak, tapi suaramu serak dan nafasmu memburu. Diapun tak berusaha mencegah ketika celana dalam yang masih di pahanya itu kutarik lepas kembali. Juga tak menampik jariku yang meraba pintu vaginanya. Basah. Alia malah membuka pahanya lebar-lebar, membantu penisku memasuki tubuhnya. Kembali kami menyatukan tubuhku yang bugil dengan tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. Ronde kedua ini aku lebih “ganas”. Kadang tusukan kubarengi dengan hentakan kuat. Alia mengerang. Mulutnya lebih ribut dibandingkan ronde pertama tadi. Tubuhnya mengejang. Hah, apa ini? Denyutan-denyutan kuat teratur kurasakan pada batang kelaminku di dalam sana. Oh nikmatnya. Tubuhnya masih bergetar mengejang ketika aku ejakulasi. Pun masih kurasakan getaran itu walau aku sudah rebah lemas di atas tubuhnya.
“Oh, udah gelap,” katanya mengejutkanku. Alia menolak tubuhku ke samping dan bangkit. Dengan panik dia mencari-cari celana dalamnya dan mengenakannya. Cara memakai celana dalamnya yang buru-buru menyebabkan mataku sempat menikmati bulu lebat kelaminnya. Kulihat arlojiku. Rupanya kami sempat tertidur setengah jam setelah orgasme yang nikmat tadi.
“Tenang Yang, nanti gue anter.”
Sesuai permintaannya, Alia kuturunkan di dekat Mess penginapannya. Aku tidak boleh mengantarnya sampai Mess, untuk menghindari kecurigaan teman-temannya. Aku kembali ke hotel meneruskan tidur.
———-
Begitulah. Aku dan Alia menikmati seks dengan cara ini. Alia tak bisa setiap hari “mengunjungi famili”. Selang sehari kami setelah bertemu bisa bertemu lagi. Alia menelepon memintaku menunggu di dekat Mess lalu berdua kami ke hotel. Gaya berhubungan seks-nyapun masih sama seperti yang pertama. Gaya missionarist, Alia berpakaian lengkap (kecuali celana dalam tentunya) meskipun Aku selalu telanjang bulat. Tanganku belum pernah menyentuh langsung buah dadanya, apalagi menghisap putingnya. Remasan dada kulakukan dari luar. Mataku belum pernah menikmati klitoris dan liang senggamanya. Penis dan jariku yang sudah menikmatinya. Aku belum pernah menikmati tubuh telanjangnya secara utuh walaupun sudah menyetubuhinya belasan kali.
Kalaupun ada yang berbeda, terjadi pada pertemuan ketiga (hari ketujuh Alia di Jakarta). Dalam foreplay Alia bersedia meng-oralku. Tadinya Aku berencana untuk “keluar” di mulutnya. Sekaligus semacam “test” apakah dia mau menelannya. Tapi Alia keburu minta dimasuki. Ketika pada ronde berikutnya Aku gantian minta meng-oral dia, sudah kuduga Alia menolak. Tapi bagiku tak menjadi soal benar. Yang penting kami berdua puas. Beberapa kali aku mampu membuatnya orgasme. Bahkan dua kali Alia mengalami multiple orgasme. Satu hal lagi yang kudambakan, ketika bangun pagi Alia ada di sampingku sehingga kami bisa menikmati seks pagi hari yang menyegarkan. Ketika hal ini kuutarakan, Alia berjanji nanti pada malam terakhir dia di Jakarta akan minta izin menginap.
Tibalah saat yang kunantikan. Jam 3 sore Alia meneleponku. Biasanya dia menelepon sekitar jam 5.
“Udah selesai, besok siang tinggal pulang,” katanya.
“Bisa nginap dong.”
“Beres,” sahutnya. Hatiku bersorak. Sebentar lagi sampai besok pagi Aku bisa bersamanya.
“Gue jemput sekarang,” Penisku berdenyut. Engga sabaran “dia”, sejak dua hari lalu “nganggur” saja.
Begitu masuk kamar, Aku langsung bertelanjang dan memelorotkan celana dalam Alia, mendorongnya ke ranjang. Untuk kesekian kalinya kami bersetubuh dengan cara yang sama, cuma kewanitaannya yang terbuka. Keringat kami lebih banyak keluar, mungkin karena main di siang hari walaupun AC kamar cukup dingin. Alia benar-benar teriak! Sampai aku harus menutup mulutnya agar suaranya tak sampai kedengaran dari luar kamar.
———-
Kami berdua masih tergeletak lemas, tak berbicara, asyik dengan pikiran masing-masing. Penisku baru saja lepas dari vaginannya setelah orgasme yang amat nikmat tadi. Kurasakan, inilah orgasme yang paling nikmat setelah belasan kali kami bersetubuh. Alia memang agak aneh, tak sekalipun aku diizinkan untuk menciumi bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian walaupun telah menghantarnya ke puncak kenikmatan hubungan seksual. Tak apalah, Aku punya banyak waktu untuk mencoba dan mencoba lagi. Malam ini Alia sepenuhnya menjadi milikku. Kalau perlu aku akan begadang malam ini. Bertelanjang terus dan setiap saat bila siap akan menyetubuhinya. Kalaupun perlu tidur akan kulakukan lewat tengah malam. Itupun hanya supaya besok bangun pagi Aku siap menyetubuhinya lagi, suatu hal yang aku idam-idamkan: bangun pagi dengan wanita selain isteri ada di sampingku. Membayangkan itu semua Aku jadi horny lagi.
“Yang..” sapaku sambil mencium pipinya.
“Hmm..?”
Aku terus menciumi wajahnya, tanganku ke dadanya. Meremasi.
“Eemm. Apa sih?”
Kutempelkan penisku yang setengah tegang ke pahanya.
“Mau lagi.”
“Kok terus-terusan.”
“Iya dong, kan malam terakhir.”
“Tenang dong. Kita banyak waktu. Kita mandi dulu aja ya.”
Wow, kalau nggak salah dengar, mandi bersama adalah ajakan baru.
“Ayo!” sahutku semangat. Aku bangkit lalu menariknya ke kamar mandi.
“Yee.. siapa yang ngajak mandi bareng?”
“Lho, tadi katanya kita mandi dulu.”
“Iya. Kita berdua mandi tapi gantian. Gue dulu,” sahutnya.
Seperti biasa, selesai mandi Alia tampil dengan pakaian lengkapnya. Walaupun begitu, tampilan segar dan wangi tubuhnya membuatku tak sabaran untuk cepat-cepat mandi kilat. Keluar dari kamar mandi itulah aku mendapatkan kejutan luar biasa dari Alia.
Di kasur, Alia rebah terlentang dengan kaki membuka dan telanjang bulat! Tubuh langsat itu mengkilat tertimpa bias sinar matahari dari jendela kaca. Matanya tajam menatapku, sepasang buah dadanya membulat dengan puting menjulang seolah menantang, bulu-bulu lebat di permukaan kewanitaannya menjadi kontras “dikawal” sepasang paha saljunya. Aku sempat terpaku beberapa saat di depan pintu kamar mandi karena pemandangan yang tak biasa ini. Perilaku Alia ini lagi-lagi kurasakan aneh. Selama sepuluh hari ini dia sama sekali tak mengizinkan aku melihat tubuhnya yang tertutup pakaian, apalagi menyentuh. Tapi kali ini Alia “menghidangkan” seluruhnya! “Alia!” seruku sebelum akhirnya tersadar dari bengong, membuang handuk dan mendekatinya. Aku tak langsung menubruknya. Masih menatapi tubuhnya bahkan sempat berpikir, mulai dari mana? Akhirnya, masih berlutut di lantai, jari telunjukku (hanya satu jari) merabai bukit dadanya. Berputar di kaki dan lereng bukit dan berakhir dengan menyentuh ujung jariku di putingnya. Sudah mengeras. Alia melenguh pelan. Dengan gemas kedua telapak tanganku meremasi kedua bukit itu.
“Aah.. sakit. Pelan-pelan dong.”
“Oh, sorry Yang.”
Kukecup keningnya semesra mungkin, penuh perasaan. Lalu matanya, hidungnya, dan bibirnya. Disini aku lama mengeksplorasi bibir dan lidahnya. Aku akan melaksanakan niatku sekarang, menciumi seluruh tubuh kekasih gelapku ini. Dagunya kugigit pelan, Alia melenguh Lehernya kutelusuri dengan bibirku, Alia mengkikik. Tiada semilipun bagian payudaranya yang terlewat oleh bibir dan lidahku, Alia merintih. Waktu putingnya kuhisap-hisap, Alia mendesis. Waktu lidahku menyapu-nyapu pusarnya, Alia kegelian ketika bibirku “mencabuti” bulu-bulu di bawah perutnya, Alia terkaget. Dan.. tubuhnya menggigil gemetaran waktu Aku menjilati klitorisnya.
———-
Benar-benar malam yang menikmatkan dan melelahkan. Entah berapa kali tubuh Alia mengejang dalam dekapan tubuhku. Malam itu kami “menghabiskan” semuanya seolah-olah kami tak akan bertemu lagi. Dari jam 4 sore tadi kami tak ke luar kamar. Makan malampun tinggal telepon room service (dan Alia dengan telanjang bulat lari ke kamar mandi, ngumpet, sewaktu room boy mengantar makanan). Sampai kami lunglai dan tanpa sadar ketiduran.
Suara pintu setengah dibanting membangunkanku. Oh.. di mana aku? Masih mengantuk berat kulihat sekeliling. Di kamar hotel. Pintu kamar masih tertutup, rupanya tadi suara dari kamar sebelah. Kesadaranku berangsur pulih. Aku menengok ke samping. Oh! Tubuh langsat itu masih terlentang dengan kaki masih membuka. Tak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Sepasang buah kembar itu kembang-kempis sesuai irama dengkuran halusnya. Bulu-bulu di tengah paha yang membuka itu begitu kontras dibanding sekelilingnya. Betapa indahnya Alia! Rupanya, begitu aku “turun” dari tubuhnya setelah persetubuhan kami terakhir lewat tengah malam tadi Alia langsung tertidur. Badannya masih dalam posisi bersetubuh gaya missionarist, terlentang dengan kaki membuka. Inilah saat yang kutunggu-tunggu. Bangun pagi dengan kekasih telanjang bulat tertidur di sampingku.
Dengan amat perlahan aku bangkit menuju ke kamar mandi, pipis. Aku masih menikmati pemandangan indah ini. Tidurnya begitu ‘damai’, aku punya kesempatan mengamatinya. Inilah wanita yang beberapa bulan terakhir ini memenuhi benakku dan mengisi hatiku. Inilah tubuh yang beberapa hari terakhir ini terus tertutup walaupun banyak kali aku ‘menyuntik’ maniku. Inilah bukit kembar yang seminggu terakhir ini Aku ciumi beralaskan bra dan baju. Inilah kewanitaan yang beberapa kali sempat kumasuki tanpa melihatnya. Dan, inilah clit yang..
Aku menunduk mendekati selangkangannya. Kuusap, amat pelan, klitorisnya dengan telunjukku. Dengkurannya berhenti, Alia menggeliat dan membuka mata.
“Maass.. Ih,” dengan refleks kaki Alia menutup.
“Sebentar Yang,” kataku sambil membuka pahanya kembali. Alia menahan.
“Malu ah Mas. Sini aja deh,” kedua tangannya terjulur. Kusambut tangannya. Aku menindih tubuhnya. Kami berpelukan erat. Inilah juga yang Aku dambakan, seks di pagi hari dengan wanita selain isteri.
Pada detik-detik terakhir kebersamaan kami, Aku masih penasaran tentang seminggu terakhir Alia “menutup” diri. Ketika hal ini kutanyakan, lama Alia berdiam diri, lalu..
“Sebenarnya, gue kurang pede, Mas.”
“Gue nggak melihat begitu, kenapa sih?” tanyaku.
Kami masih bertindihan, penisku masih di dalam tubuhnya. Baru saja kami mengalami orgasme pagi yang nikmat.
“Dada gue Mas,” Dengan refleks Aku bangkit sehingga penisku terlepas. Memeriksa dadanya. Bulatan kembar itu memang tak besar, tapi juga tak kecil. Mulus kulit “pembungkus”nya. Tak ada yang salah dengan dada itu.
“Hmm.. bagus begini,” ungkapku jujur.
“Tapi..” Alia bangkit duduk.
“Agak turun, Mas.. gue malu,” katanya lagi. Aku amati dadanya dari samping, rasanya wajar-wajar saja.
“Nggak kok Yang, bener!”
“Menghibur ya?”
“Tidak, Alia. Lagian kalaupun turun, tak ada masalah bagi Mas.”
Dia diam lagi.
“Di paha ada ini..” katanya kemudian.
“Apa lagi, Yang?” Memang ada sedikit “warna lain” di paha kirinya bagian dalam. Tapi Aku tak melihatnya kalau tak ditunjukkan Alia.
“Ah.. begitu aja kok engga pede.”
Oh wanita! hal-hal yang sepele begini kok bisa jadi mengurangi rasa percaya diri. Wanita memang sensitif mengenai keadaan tubuhnya.
Lalu, inilah saat yang kubenci, perpisahan.
Walaupun kami saling berjanji untuk berusaha bertemu lagi, tak urung membuatku sedih. Alia sempat meneteskan air mata. Perpisahan memang harus terjadi, setelah kemesraan kami nikmati. Toh hanya perpisahan sementara. Sementara? Nampaknya tidak. Beberapa hari setelah Alia tiba kembali di Makassar, kami memang masih berkiriman mail, tapi Aku bisa merasakan ada perubahan dalam gayanya menulis. Tak semesra dulu lagi. Terakhir, Aku mendapatkan mailnya dengan bahasa yang “resmi” yang berisi ucapan terima kasih, bahagia selama bersamaku di Jakarta, dan, ini yang bikin Aku “pingsan”: Kita tak bisa meneruskan hubungan ini, tanpa menyebutkan mengapa harus begitu.
Beberapa kali Aku kirim email untuk minta penjelasan tentang hal ini, tak dibalasnya. Aku coba kontak melalui chat, dia tak pernah on-line. Aku sempat ‘limbung’. Gairah kerja menurun, marah-marah tanpa sebab. Alia begitu saja meninggalkanku tanpa penjelasan kenapa. Sampai aku menulis cerita inipun Aku tetap tak tahu!
TAMAT

Cyberlove story – 1

Teknologi mempengaruhi perilaku manusia tak bisa dibantah. Perkembangan teknologi jaringan yang begitu pesat memungkinkan orang melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya hanya dengan sentuhan ujung jari di kamar masing-masing tanpa terjebak traffic jam. Ngobrol, berbelanja, berkiriman dokumen, cari informasi apapun, semuanya dapat dilakukan tanpa beranjak dari rumah. Bahkan sebentar lagi orang tak memerlukan office space yang mahal itu. Seluruh aktivitas bisnis dapat dilakukan dan dikendalikan dari rumah. Boss tak pernah bertatap muka langsung dengan staff-nya merupakan hal yang biasa. Tak apa-apa, yang penting urusan beres.
Demikian pula untuk satu urusan yang universal dimiliki manusia penghuni planet biru ini, urusan cinta. Orang jatuh cinta tak lagi hanya dari pandangan pertama, tapi bisa dimulai dari sentuhan ujung jari pada keyboard. Cyber Love, demikian julukannya. Seperti kisah cinta di dunia nyata, percintaan di alam mayapun tak selalu diakhiri dengan happy ending, malahan lebih banyak unhappy-nya, paling tidak seperti yang pernah kualami. Dua kali Aku terlibat cinta cyber dan dua-duanya berakhir dengan unhappy. Inilah yang hendak Aku ceritakan kepada Anda sekalian pecinta Rumah Seks yang budiman!
Anda yang tak tertarik dengan perselingkuhan yang berakhir unhappy jangan dilanjutkan membacanya, cukup sampai disini saja. Juga bagi Anda yang tak suka kisah-kisah kegagalan. Aku memang tak secanggih para penggemar Rumah Seks lainnya yang begitu mudah mendapatkan cewek idealnya. Begitu mudah menggaet cewek dengan gambaran tubuh yang “wah” dan amat mudah juga mengajaknya ML. Beginilah Anda biasanya menggambarkan fisik yang “wah” itu: Langsing dan tinggi nyaris dua meter, kulit putih mulus licin bak salju sehingga lalatpun gagal hinggap di tubuhnya, terpeleset –walaupun belum tentu pernah melihat salju–, buah dada kenyal bulat sebesar kepala bayi, pinggang ramping kayak bambu, paha bulat mirip batang pohon pinang dengan liang vagina sekecil lidi.. pendek kata, seperti Sophia Latjuba atau Tamara Blezinsky-lah (gimanapun ejaannya).
Aku tak secanggih itu, pembaca. Cewek teman selingkuhku tak secantik kedua selebritis itu. Tinggi “cuman” 163 (tidak 2 meter), kulit kuning langsat (bukan putih), bra ukuran 34 (bukan bukan dibalik jadi 43), pinggang cukup membentuk gitar (nggak sekecil bambu) dan “kewanitaan” yang sedikit sesak untuk ukuran penisku yang rata-rata orang melayu. Dan untuk berlanjut sampai ke ranjang pun tak semudah seperti yang biasa Anda lakukan: begitu ketemu, kenalan terus langsung jilat-jilat vagina dan tancepan. Prosesku lumayan panjang dan dengan intensitas hubungan yang naik-turun, tak selalu lancar.
Aku, pria 28 tahun, sudah berkeluarga, anak satu, kerja di perusahaan swasta di Jakarta. “Ketemu” pertama kali dengan Alia (begitu saja kusebut namanya) di mailing list group yang mengkhususkan diskusi tentang politik Indonesia. Di antara belantara lalu-lintas diskusi itu suatu saat pada topik tertentu Aku dan Alia saling dukung pendapat (topik apa dan gimana saling dukungnya tak relevan bila kutulis di sini). Maka kulayangkan sebuah mail lewat japri-nya. Isi mail masih lanjutan topik tadi dan kuakhiri dengan keinginan untuk kenal lebih dekat.
Perkenalanku mendapat respons positif dan mulailah kami saling berkirim mail sampai “melupakan” forum mailing-list dan jadi jarang posting. Pada tahap saling membuka identitas masing-masing kusebutkan statusku dengan sebenarnya. Alia sedang kuliah di jurusan Sospol Universitas di kotanya Makassar semester VI. Asli dari Manado tapi kelahiran Makassar. Statusnya sedang berpacaran dengan mahasiswa dari jurusan lain yang berasal dari daerah yang sama, sejak tahun pertama kuliah.
Perbincangan lewat mail tak lagi tentang politik, tapi lebih soal-soal pribadi. Misalnya dia dengan terbuka menceritakan telah menyerahkan segalanya kepada pacarnya itu. Dia sudah tak gadis lagi sejak setengah tahun sebelum bertemu aku lewat dunia maya. Dia juga bercerita tentang aktivitas seks-nya dengan pacarnya serta perasaan-perasaannya. Termasuk pengakuannya bahwa dia hanya berhubungan seks dengan satu pria saja, yaitu pacarnya itu. Juga dia selalu menceritakan masalah yang dia alami dalam berpacaran. Semacam curhat. Komunikasi diantara kami tak hanya lewat mail saja, tapi juga chatting.
“Witing tresno jalaran soko kulino” begitu pepatah Jawa yang artinya kurang lebih awal cinta datang karena dekatnya bergaul. Itulah yang sedang kualami. Hubungan kami begitu dekatnya sehingga diam-diam timbul sesuatu di dalam hati yang tak kami perkirakan sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang rasanya bila sehari saja tak membaca mailnya. Ketika Aku bilang ke Alia tentang perasaan ini, ternyata dia mengalami hal yang sama. Singkatnya, kami saling jatuh cinta walaupun masing-masing telah punya pasangan tetap. Kami juga berjanji, saling berusaha mencari peluang untuk bertemu secara fisik.
———-
“Elo tahu engga kantor Departemen Anu,” tulisnya pada suatu siang kami chatting.
“Tahu. Kenapa?” jawabku.
“Gue ada rencana kuliah lapangan ke situ.”
Nah! akhirnya peluang buat ketemu Alia datang juga. Jangan gembira dulu, kataku dalam hati.
“Oh ya? Kapan? Sama siapa?” tulisku memberondong.
“He he.. satu-satu dong, semangat banget.”
“Semangat dong, kan kita bisa ketemu.”
“Pengin ketemu, gitu?”
“Ah elo, kaya engga tahu aja. Pengin banget, tahu. Kapan nih?”
Alia sebutkan tanggal yang artinya 2 minggu lagi.
“Sama temen-temen 10 orang, plus 2 orang dosen,” katanya lagi.
Saat ketemu inilah yang Aku tunggu-tunggu. Oh, aku mencintainya.
“Nginap di mana?”
“Di Mess Yayasan Anu.”
“Nggak nginap ama gue aja?”
“Enak aja, engga boleh dong, musti ngumpul.”Bagus, nggak boleh bukan berarti tak mau. Saat bermalam bersama ini pula yang kudambakan. Tak sekedar melepas rindu memuaskan hasrat cinta, tapi juga hasrat yang lain.
“Iya ngerti musti ngumpul, tapi sesekali boleh dong minta izin nginap di rumah famili, gitu.”
Alia diam.
“Emang bisa nginap di rumah elo?” katanya setelah beberapa saat hening. Betapa polosnya dia. Tak mungkin Aku masukin cewek ke rumah, bisa-bisa terjadi perang rumah tangga.
“Entar gue booking kamar.” Langsung, boo..
“Ih, elo. Udah biasa gitu ya?”
“Bukan begitu,” sahutku cepat-cepat.
“Alia, elo tahu kan, gue pengin banget ketemu. Kesempatan ketemu yang amat langka ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya..”
“Kenapa musti di hotel?”
Iya, kenapa ya? Bingung jawabnya.
“Yah, supaya kita bisa kangen-kangenan, ngobrol, bebas dari gangguan.”
Diam. Sejurus kemudian.
“Entarlah. Gimana nanti aja.”
Bukankah ini semacam sinyal setuju?
Tibalah saat yang amat kunantikan. Alia dan rombongan akan tiba Minggu sore di Jakarta. Dia berjanji akan meneleponku ke kantor begitu dia punya peluang yang aman. Akupun mulai melakukan persiapan untuk menyambut kedatangannya.
Pertama, persiapan waktu. Aku harus cari akal supaya bisa kabur dari rumah sekitar seminggu. Dari beberapa alternatif alasan dan memperhitungkan resikonya, Aku memilih alasan “dinas luar ke Semarang”.
Kedua, persiapan tempat. Aku memilih Hotel “AM” di Kebayoran Baru walaupun room rate-nya lumayan mahal, tapi dekat dengan tempat Alia kerja dan juga Mess-nya. Dan jauh dari rumah, supaya lebih aman.
———-
Obrolan kami makin seru setelah masa “ice-breaking” tak lama dilalui. Kami sempat saling salah tingkah pada menit-menit pertama Alia masuk ke kamar hotel. Alia begitu bersemangat cerita tentang kegiatannya selama praktek kerja lapangan di instansi pemerintah itu. Aku tak begitu memperhatikan ceritanya. Perhatianku terpusat pada gerak gesture dia bercerita dan sesekali melempar pandangan ke bawah, ke sepasang kaki mulusnya dan sedikit paha yang tak tertutup oleh rok span-nya. Tapi konsentrasi pikiranku sebenarnya adalah, bagaimana “strategi” untuk memindahkan Alia dari tempat duduknya sekarang ke kasur yang kududuki, bagaimana cara memulainya. Memang, memulai adalah hal yang paling sulit.
“Aneh ya gue..” katanya tiba-tiba. Dia baru menyadari mataku sering mampir ke kakinya. Aku sedikit gugup.
“Emang kalo ke kantor gue mesti pakaian begini?” sambungnya.
“Nggak ah, justru gue seneng loe pakai seragam.”
“Oh iya? Kenapa?”
“Lebih feminim.”
“Emang gue maskulin ya?”
“Bukan begitu. Gue emang lebih suka ngeliat cewek pakai rok dibanding pake celana panjang, apalagi..”
“Apalagi apa?”
“Kalo nggak pakai apa-apa.”
“Huh, dasar.”
“Sorry.”
Aku khawatir kalau dia tak suka gurauanku yang menjurus ini. Mukanya bersemu merah. Apakah ini saat memulai? Ayo Sam, bangkit dan dekati dia. ‘Bangkit’ sih sudah, yang di dalam celanaku, dekatinya ragu-ragu. Kenapa ragu? Dia sudah mau masuk kamar dengan pintu tertutup, apakah ini bukan suatu tanda? Iya, tapi kan duduk di kursi dan dia asyik cerita pengalamannya. Siapa tahu dia menunggu action kamu? Umm.. tapi masa tiba-tiba “nyerang”, begitu. Nggak dong, gunakan cara seperti pengalaman kamu sebelumnya! Dia duduknya “jauh” sih.
Okay, Aku ke kamar mandi pura-pura mau pipis supaya bisa pindah duduk. Nah, sudah duduk di kursi, tapi masih ada penghalangnya, ada meja bundar di antara kami.
“Terus nanti selesai job training di situ, ngapain?” pancingku memulai obrolan.
“Tulis laporan. Kan kerja sambil kumpulin data.”
Nah, mulailah dia bercerita lagi tentang job trainingnya, penuh semangat. Aku terus menatapi gerak bibirnya yang menggemaskan itu.
“Eh, ngapain sih, ngeliatinnya gitu?”
“Gitu kenapa?”
“Tajem.”
“Seneng aja ngliatinnya.”
“Ngliatin apaan?”
“Bibir kamu.”
“Kenapa, dower?”
“Eh, nggak. Bibir kamu seksi.” Telapak tanganku mampir di bahunya. Alia menunduk tapi tak menepis tanganku. Kuremas bahunya pelan. Masih menunduk. Dengan tangan masih di bahunya Aku bangkit mendekat, kedua tanganku di bahu kanan-kirinya.
“Alia..”
Dia masih menunduk. Wajahnya bersemu merah lagi. Kusentuhkan jariku di dagunya, mengangkat. Barulah matanya menatapku. Kepalaku bergerak pelan mendekati wajahnya, bibirnya kukecup. Sekali kecupan lalu kulepas lagi. Tak ada tanda-tanda penolakan. Serangan kedua pada bibirnya tak sekedar kecupan lagi tapi diikuti dengan lumatan. Pada detik kedua bibir Alia memberikan reaksi, lumatanku disambutnya. Nafasnya mulai memburu. Tangan kananku yang ada di bahunya perlahan bergeser turun. Telapak tanganku memberi sinyal bahwa buah yang tak begitu besar itu keras dan membulat, ternyata. Tentu saja tanganku tak puas hanya merasakan kekenyalan dadanya dari luar, ingin menyentuh kulitnya langsung. Dua kancing bajunya yang teratas telah kulepas dan detik berikutnya keempat jariku mulai menyusup ke balik bra Alia. Detik-detik berikutnya akan lancar saja, pikirku. Tapi ternyata tidak. Tangan Alia menarik tanganku yang baru saja merasakan halusnya kulit buah kenyal itu dan lumatanku pun dilepas. Alia menggeleng lembut sambil menyodorkan mulutnya lagi. Kulumat lagi. Dadanya tak boleh disentuh. Mungkin belum saatnya, aku harus bersabar.
Ciuman dengan posisi begini tak nyaman juga. Kutarik tubuhnya, kubimbing ke kasur dan kurebahkan. Tak ada penolakan, aman. Bahkan Alia membentangkan kakinya. Dengan sendirinya kedua belah telapak tanganku segera menelusuri kedua pahanya, menyusup di balik roknya. Oops, lagi-lagi Alia menepis tanganku. Kenapa sih dia? Main tarik-ulur? Tanganku ditariknya sehingga tubuhku rebah menindihnya. Kami berciuman lagi. Bukan Sammy kalau tak mencoba dan mencoba lagi. Sambil terus melumat bibir tangan kananku menyusup lagi ke bawah menelusuri lengkungan pinggir pinggulnya. Tak ada gerakan perlawanan. Bahkan ketika tanganku berhasil mencapai kain celana dalam di pinggir pinggulnya. Bahkan ketika menarik karet celana dalamnya ke bawah tak ada juga perlawanan. Lebih jauh lagi, ketika telapak tanganku merasakan lebatnya bulu-bulu kewanitaannya. Bulu lebat itu tak mengagetkanku, lengannya memang ditumbuhi bulu lumayan lebat, apalagi “pusat”nya. Aku kaget karena Alia tak menolakku merabai kewanitaannya. Basah berlendir. Aku jadi penasaran ingin menikmati “pemandangan” di bawah sana. Aku bangkit dan menyingkap roknya. Alia memang unpredictable, tiba-tiba dia mencegah tanganku yang membuka roknya. Bingung gue. Yang membuatku makin bingung, Alia melepas kaitan ikat pinggangku, melepas kancing jeansku, menarik ritsnya dan karet celana dalamku dan merabai Juniorku sudah tak betah terkurung tegang.
Aku seperti orang tolol yang hanya diam saja menyaksikan Alia mengelusi batang penisku. Bingung. Waktu kedua tanganku menyusupi pahanya, dia menolak. Tapi tak bereaksi sewaktu aku menarik celana dalamnya dan merabai kelaminnya. Aku yakin, dia bukannya tak tahu apa keinginanku saat ini, ingin menyetubuhinya. Tersirat dalam mail-mailnya dia tak menolak ketika aku “minta” kelak kalau ada kesempatan bertemu. Tubuh bawahku sudah telanjang, penisku sudah tegang mengacung. Tentunya dia makfum akan “langkah selanjutnya”. Alia masih berpakaian lengkap, kecuali celana dalamnya yang sedikit bergeser ke bawah tapi masih nempel di pahanya. Gerakan Alia berikutnya lagi-lagi membuatku bingung. Tangannya berhenti mengelusi kelaminku lalu Alia bangkit berdiri. Selagi aku bengong mencoba mengerti tingkahnya ini, tiba-tiba kedua tangan Alia membuat gerakan cepat melepas celana dalamnya! Lalu, lagi-lagi dia menarik tubuhku hingga rebah menindih tubuhnya.
Dengan gemas kugigiti kedua buah dadanya berganti-ganti kanan dan kiri. Tak langsung ke kulitnya sih, masih ada penghalang baju dan bra-nya. Apa boleh buat, memang hanya itu yang diizinkan. Beberapa kali aku berusaha membuka pakaian atasnya, dia selalu menolak. Aku tak tahan lagi, ingin segera memasuki tubuhnya. Dengkulku membuka pahanya dan penisku merengsek masuk mencapai selangkangannya. Kugeser-geser, kugosok-gosok, dan.. perlahan namun pasti, aku mulai masuk. Tak mudah memang, tapi tak susah benar. Aku tak kaget kalau dia sudah tak perawan lagi. Alia pernah cerita miliknya yang paling berharga telah diserahkan kepada pacarnya yang sekarang.
“Itulah satu-satunya penis yang pernah kulihat dan memasuki tubuhku,” tulisnya ketika itu.
“Jadi nanti, punyaku yang kedua,” balasku.
“Iya, kalau jadi.”
Bersambung . . . .

Gairah mahasiswi

Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada para netters yang telah mengirim email kapadaku, dan mohon maaf kalau aku belum sempat membalas seluruh email tersebut.
Memang banyak sekali pengalaman sex ku, tetapi kalau mengenai sex with patner atau suka sama suka.. itu wajar saja. Yang aku ingin sharing disini adalah pengalamanku.. Yang mungkin tidak terbayangkan oleh siapapun juga, dan mungkin dapat menjadi ide bagi para netters sekalian. Tapi sebelumnya aku mohon maaf kalau penyampaian ceritaku tidak sehebat novelist.. Jadi mohon dimaklumin. Dan nama-nama yang kusebut dibawah ini hanyalah nama samaran saja, kecuali aku.
Kembali aku ulangi.. Namaku Dania.. Panggilanku Nia, tinggiku 167/52, kulit putih, bra 36a, rambut hitam panjang (lurus) dengan model pony.. teman-temanku sering mengejek ku dengan panggilan”siboneka jepang”.
Kejadian ini terjadi waktu aku kuliah dulu, saat itu usiaku baru 21 tahun. Dan hari itu aku dan temanku Reni menginap dirumah Melly, kami bertiga sedang melakukan belajar bersama untuk menghadapi ujian semester, rumah kawanku Melly tidaklah terlalu besar.. Terdiri atas ruang tamu, ruang keluarga, kamar Melly, kamar adiknya dilantai 2, satu kamar mandi, dan kamar pembantu dibelakang dekat dapur. Melly hanya tinggal bersama ibunya, adiknya cowok bernama andri yang masih duduk dibangku SMP dan seorang pembantu.. Mbok Inah namanya.
Sore hari itu ketika kami sedang belajar di kamar Melly, tiba-tiba ibunya Melly masuk ke dalam kamar lalu:
“Wah.. Lagi pada belajar yaa..” serunya
“Iya Mah” jawab Melly
“O iya.. Mel.. Ini ada Om Adi..”
Lalu aku melihat seorang pria masuk ke dalam kamar.. Orangnya biasa-biasa saja tidak ada yang istimewa.. Tidak terlalu tinggi.. Berkulit sawo matang dan usianya kira-kira menjelang 40 tahun, tapi masih tampak segar, dan Om Adi ini langsung menyalami kami semua.. termasuk aku.
“Mel.. Nanti Om Adi akan nginap disini.. Tapi sekarang Mama mau pergi dulu sama Om Adi..” seru ibunya Melly
“Kemana Maa..?”, tanya Melly,”
“Ah.. Hanya ke rumah Tante Nike aja.. Malam juga pulang” sahut ibunya Melly.
“Okee.. Maa.. Hati-hati yaa.. Om Adi.. Jagain Mama yaa” sahut Melly.
Lalu mereka pergi keluar kamar, dan kami meneruskan belajar lagi. Setelah belajar, diskusi dan becanda.. Tanpa disadari waktu sudah pukul 11 malam.. Lalu Melly mengusulkan agar kita tidur dulu. Maka kami bertigapun segera ganti baju.. Aku mengenakan baju daster biasa yang aku bawa dari rumah, dimana dasterku model terusan dan hanya sampai sebatas lutut saja.
Setelah ganti daster akupun pergi ke kamar mandi.. Untuk gosok gigi dan buang air kecil.. Lalu aku melepas bra dan CD ku, sudah kebiasaan aku kalau tidur hanya pake daster saja tanpa CD dan bra, kembali kekamar.. Aku melihat Melly dan Reni sudah berbaring diatas ranjang memakai selimut, dan akupun segera bergabung dengan mereka dan tidur dengan nyenyak.
Pagi harinya aku bangun jam 8 pagi dan aku lihat Melly dan Reni sudah mengenakan pakaian rapih,
“Eh.. Pada mau kemana?” tanyaku.
“Gue mau anterin Reni pulang..”sahut Melly.
“Jangan lama-lama dong.. Gue kan sendirian.. Ibu lu kemana mel?” tanyaku lagi.
“O.. Mama tahu tuh tadi pergi..”
“Terus.. Om lu itu.. Om Adi kemana?”
“Dia nganterin Andri sekolah”
“Wah gue sendirian dong..” sahutku.
“Sudah.. Tenang aja.. Kan ada si mbok” sahut Melly.
Lalu mereka pergi meninggalkan aku sendiri di kamar, setelah menyisir rambut aku mengambil handuk dan keluar kamar.. Tampak sepi didalam rumah itu, dan akupun menuju ke kamar mandi, ketika aku sedang mandi.. Tiba-tiba terdengar suara.
“Non.. Non nia”
Ah.. Ada apa nih si mbok.. Pikirku, “Kenapa mbok..?” seruku dari dalam kamar mandi.
“Non.. Mbok pergi kepasar dulu yaa..” serunya.
“Iya.. Mbok” sahutku.
Selesai mandi.. Aku menutupi tubuhku yang telanjang itu dengan handuk, tidak terlalu besar handuk itu.. Hanya sebatas leher sampai ke setengah paha, lalu aku keluar kamar mandi.. Dan memang tampak sepi sekali dalam rumah itu, dan akupun yakin.. Tidak ada siapa-apa lagi selain aku didalam rumah itu.
Lalu aku menuju kekamar.. Tanpa menutup pintu.. (suatu kesalahan bagiku, tetapi..) karena jendela aku tutup maka aku pun menyalakan lampu sehingga kamar terang benderang, aku berdiri di depan meja rias sembari menyisir rambutku yang panjang.. Tiba-tiba..”ting”.. Giwangku jatuh ke lantai dan meluncur kebawah ranjang, akupun segera berlutut dilantai dan menjulurkan tanganku kebawah ranjang.. Tapi tidak tersentuh giwangku itu, lalu aku semakin membungkukkan tubuh ku.. Sehingga posisi ku menungging dengan kepala masuk kebawah ranjang.. Aku tidak sadar kalau posisiku itu membelakangi pintu.. Dan yang lebih parah lagi aku tidak sadar kalau diambang pintu ada Om Adi yang sedang memperhatikan.. Jelas saja Om Adi itu dapat melihat bentuk kemaluanku dengan jelas dari belakang.. Karena saat itu handukku pun tersibak ke atas.. Aku tidak tahu berapa lama Om Adi memperhatikan kemaluanku dari belakang karena cukup lama aku mencari-cari giwangku itu.
Tiba-tiba.. Ehmm.. Ehmm.. Terdengar batuk Om Adi.. Aku terkejut setengah mati, dan buru-buru berlutut lagi..
“Oh.. Om Adi..” seruku gugup, tampak Om Adi hanya tersenyum saja..
Akupun segera bangkit berdiri dengan perasaan tidak karuan.. Karena gugupnya.. Tiba-tiba.. Handukku terlepas dan jatuh kelantai.. Kini aku jadi tambah salah tingkah.. Dan didalam kegugupan itu aku hanya berdiri diam saja menghadap Om Adi.. Tampak mata Om Adi berbinar.. Memandangi tubuhku yang telanjang itu dari atas sampai kebawah.
Dalam kepanikan itu.. Aku bukannya mengambil handuk itu, tapi aku malah berjalan menuju kelemari.. Karena aku berniat segera mengambil baju, belum sempat aku membuka lemari.. Tiba-tiba Om Adi sudah dibelakangku.. Segera ia memegang kedua bahuku.. Dan mendorong aku ke lemari.. Sehingga dadaku menempel kelemari.. Lalu dengan ganasnya Om Adi mulai menciumi belakang leherku, terdengar nafasnya yang memburu.. Aku meronta kecil.. Dan
“Jangan.. Jangan Om..” seruku, tetapi tampaknya Om Adi tidak peduli..
Ia terus menciumi leherku dari belakang dan tangannya segera mengelus-elus piinggiran tubuhku, aku mengelinjang kegelian.. Ciuman dan jilatan Om Adi membuat aku berhenti meronta dan membiarkan ciuman Om Adi yang makin lama makin kebawah.. Kepunggungku dan akhirnya sampai kebongkah pantatku.. Nggk.. Aahh.. Aku hanya bisa mendesah saja dengan tubuh merinding ketika Om Adi menyapu bongkah pantatku dengan lidahnya.. Tiba-tiba Om Adi merenggangkan kedua pahaku dan terasa lidahnya segera menjilati bibir vaginaku dari belakang..
Wowww.. Oohh.. Nikmat.. Sekali.. Sehingga tanpa sadar aku menungging-in sedikit pantatku kebelakang sampai kakiku berjinjit.. Aahh.. Nggkk.. Auuhh.. Rintihku dengan mata terpejam.. Dan kedua tanganku hanya bisa menahan tubuhku ke lemari.
“Aah.. Jangan.. Om.. Aakkhh” desisku ketika Om Adi membuka belahan pantatku dan segera lidahnya menjilat habis lobang pantatku..
Aku benar-benar merasakan nikmat atas permainan lidah Om Adi.. Sehingga tanpa sadar aku mengoyang-goyangkan pinggulku. Om Adi tampak mengetahui betul kalau aku sudah terangsang hebat, dan dia tidak sungkan-sungkan menjilati cairan yang keluar dari liang kemaluanku, akupun semakin lupa diri.. Tidak peduli siapa itu Om Adi, bahkan aku mengulurkan kedua tanganku kebelakang dan membuka belahan pantatku.. dalam hatiku “Jilat.. Jilat omm.. Jilatin seluruhnya”, dan tampaknya Om Adi mengetahui keinginanku.. Iapun segera menyapu lobang pantatku lagi sampai ke vaginaku dengan lidahnya..
Aku hanya bisa mengigit bibirku dengan mata terpejam menikmati permainan lidah Om Adi, terkadang aku harus berjinjit tinggi agar Om Adi leluasa menjilati vaginaku, emang kedua kakiku mulai terasa pegal dan lemas, tetapi aku tidak mau permainan ini berakhir, beberapa kali aku sempat menjerit kecil ketika lidah Om Adi mencolok-colok liang vaginaku.. Oohh.. Aahhkk.. Mhmm..
Lalu Om Adi bangkit berdiri dan dengan masih menciumi serta menjilati punggungku.. Kedua tangannya segera meremas-remas buah dadaku dari belakang, beberapa kali tubuhku tersentak nikmat ketika kedua puting payudarku dipijit-pijit oleh jari-jari Om Adi.. Oohh.. Nikmat sekali..
Tiba-tiba Om Adi memegang tangan kananku.. Dan dibimbingnya tangan kananku sehingga menyentuh celana Om Adi.. Terasa ada benda keras dibalik celana Om Adi itu.. Aku pun secara refleks segera merema-remas benda itu.. Dan mengurut-urutnya dari atas kebawah.. Lalu Om Adi membalikkan tubuhku, sehingga aku kini berdiri berhadapan dengan dia.. Aku tidak mau melihat wajah Om Adi, jadi sengaja aku menoleh kesamping dengan mata setengah terpejam, dan aku meringis menahan nikmat ketika Om Adi mulai menjilati kedua buah dadaku.. Dan secara bergantian mengisap-isap kedua puting buah dadaku.
Aku sudah benar-benar terangsang hebat.. Apalagi ketika jari telunjuk tangan kanan Om Adi menyodok-nyodok ke dalam liang vaginaku.. Aku semakin merenggangkan kedua pahaku.. Oohh.. Nggkk.. Desahku.. Lalu Om Adi menghentikan permainannya tampak dia membuka celana panjangnya dan melepasnya.. Kemudian celana kolor nyapun dilepas maka tampaklah batang kemaluan Om Adi yang besar, hitam, keras dan panjang itu.. Kemudian Om Adi duduk ditepian ranjang.. Aku tahu maksud Om Adi.. Dan tanpa disuruh akupun segera berlutut diantara kedua kaki Om Adi..
Tampak batang kemaluan Om Adi yang berdiri tegak dan keras sehingga tampak urat-uratnya menonjol. Segera aku mencekal batang kemaluan Om Adi dan dengan ganas aku ciumin batang kemaluan Om Adi itu.. Terdengar Om Adi sedikit mengerang sembari merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.. Akupun segera beraksi.. Kujilati batang kemaluan Om Adi itu dari pangkal sampai kekepala.. Lalu kuisap, kukulum dalam mulut sementara tangan kiriku mengelus-elus biji pelirnya terasa beberapa kali tubuh Om Adi tersentak karena nikmat.. Lalu kujilati biji pelir Om Adi.. Terdengar.. Aaahhkk.. Om Adi mengerang kenikmatan, mendengar itu aku tambah gairah.. Terus ku jilati biji pelir Om Adi itu..
Sementara tangan kananku mengurut-urut batang kemaluannya.. Semakin lama aku semakin lost kontrol.. Dengan kedua tanganku ku angkat kedua paha Om Adi sehingga kedua lutut Om Adi hampir menyentuh dadanya.. Dengan posisi demikian aku leluasa menjilati batang kemaluan Om Adi.. Dari ujung kepala sampai ke sekitar biji pelirnya.. Lalu aku menjilat semakin kebawah.. Kebawah.. Dan akhirnya ujung lidahku menyentuh dubur Om Adi yang berbulu itu.. Segera lidah ku menari-nari diatas dubur Om Adi.. Terasa sekali tubuh Om Adi beberapa kali bergetar.. Aakkh.. Oougghh.. Erangnya.. Mendengar itu aku tambah bernapsu.. Kucolok-colok lobang pantat Om Adi dengan ujung lidahku.. Semakin dalam ku julurkan lidahku ke dalam lobang pantat Om Adi..
Semakin bergetar tubuh Om Adi terasa beberapa kali batang kemaluan Om Adi yang ku kocok berdenyut-denyut rupanya Om Adi sudah tidak tahan.. Lalu ia memegang tanganku dan membimbing ku naik ke atas ranjang.. Aku disuruh menungging diatas ranjang.. Rupanya Om Adi menginginkan dogystyle.. Ah itu yang aku sukai.. Tetapi bagaimana kalau Om Adi menginginkan anal sex.. Ah.. Aku tidak membayangkan batang kemaluan Om Adi yang besar dan panjang itu masuk ke dalam duburku.. Oohh mudah-mudahan jangan.. harapku.
Sebelum mencobloskan batang kemaluannya.. Om Adi sekali lagi memperhatikan bentuk kemaluanku dari belakang, aku pun menanti penuh harap.. Dan akhirnya terasa batang kemaluan Om Adi menempel dibibir vaginaku dan masuk perlahan-lahan ke dalam liang kemaluan ku.. terasa seret.. tapi.. nikmat.
Oohh.. Nggk.. Ahh.. Desisku ketika seluruh batang kemaluan Om Adi amblas.. Lalu ia mulai melakukan gerakan erotisnya.. Ahh.. Nikmat sekali.. Dan aku benar-benar mencapai klimaks dalam posisi demikian.. Rupanya Om Adi belum klimaks juga.. Lalu ia menyuruh aku berbaring miring.. Sementara dia berada dibelakang punggungku.. Aku segera menekuk kedua lututku.. Dan membiarkan Om Adi mencobloskan batang kemaluannya ke dalam vaginaku.. Ooucch.. Aahh.. Nikmat sekali.. Dalam posisi demikian tangan kanan Om Adi leluasa meremas-remas buah dadaku dari belakang.. Hentakan Om Adi makin lama makin keras dan cepat.. Aku tahu kalau Om Adi hampir klimaks.. Tetapi aku enggak mau dia mengeluarkan air maninya dalam vaginaku.. Lalu aku memegang pinggul Om Adi.. Dan otomatis Om Adi menghentikan gerakannya.. Lalu aku mencopot batang kemaluan Om Adi dari vaginaku.. Dan dengan gesit akupun berlutut disamping Om Adi..
Tampak Om Adi tersenyum.. Tapi aku tidak peduli.. Aku segera menjilati batang kemaluan Om Adi yang berlendir itu.. Lalu kuisap-isap batang yang keras dan berurat itu.. Ooh.. Nggkk.. Aakk.. Om Adi mengerang keenakan.. Dan aku semakin mempercepat gerakan kepala ku naik turun, beberapa kali Om Adi mengerang sembari mengeliat, ternyata Om Adi ini kuat juga pikirku.. Lalu aku membasahi telunjuk tangan kiriku dengan ludahku, setelah itu kucucukan telunjuk jari ku itu ke dalam dubur Om Adi.. Tampak tubuh Om Adi sedikit tersentak ketika aku menekan jariku lebih dalam lagi kelobang pantat Om Adi.. Rupanya Om Adi merasakan nikmat luar biasa dengan isapanku pada batang kemaluannya dan sodokan jari ku di anusnya..
Hingga.. Aaahh.. Aaakkhh.. Om Adi mengerang hebat bersamaan dengan menyemburnya air mani Om Adi dalam mulutku.
Crott.. Croot.. Banyak sekali.. Akupun rada gelagapan.. Sehingga sebagian air mani Om Adi aku telan.. Sengaja aku mencabut jariku dari lobang pantat Om Adi secara perlahan-lahan dan hal ini membuat semburan air mani Om Adi tidak dapat ditahan, lalu aku melepas batang kemaluan Om Adi dari dalam mulutku.. Tampak sedikit sisa-sisa air mani Om Adi keluar.. Dan aku segera menyapu dengan lidahku cairan kental itu..
“Hebat.. Hebat.. Sekali kau Dik Nia..” puji Om Adi, aku hanya tersenym saja.
Lalu Om Adi bangkit dan kembali mengenakan celananya..
“Kamu tidak menceritakan kejadian ini sama siapa-apa kan?” tanya Om Adi yang memandangiku yang masih duduk berlutut diatas ranjang, lalu Om Adi menjulurkan tangannya dan menyeka sudut bibirku dari sisa airmaninya, aku hanya tersenyum saja.. Dalam hati.. Gila.. Mana mungkin aku cerita ke siapa-siapa.. Bertemu dengan dia lagi juga aku ogah.. pikirku.
Dan begitulah ceritanya.. Setelah kejadian itu aku tidak mau berkunjung ke rumah kawanku itu.. Walau sampai sekarang aku masih berteman baik dengan Melly, memang beberapa kali Om Adi menelphonku.. Tetapi aku menghindar.. Bagiku itu hanya sebuah pengalaman saja.. Dan akupun tidak mau mengulang pada orang yang sama.. Kecuali pada tunanganku..
*****
Mohon kalau ada kritik dan saran kirim aja ke emailku.
Tamat

Musim panas di Los Angeles – 1

Los Angeles di musim panas memang luar biasa panasnya. Udaranya yang kering dan matahari yang terik membuat tubuhku mandi keringat ketika menyusuri jalan setapak melintasi hamparan rumput University of California at Los Angeles. Hari ini adalah ujian terakhir untuk mata kuliah Mekanika Kuantum. Aku berharap agar ujian akhir ini lekas kuselesaikan dan aku bisa menikmati liburan musim panasku yang akan kumulai besok.
Di depan pintu ruang kuliah, tak sengaja aku bertabrakan dengan Jeanne Chang, seorang gadis dari Taiwan yang cantik dan manis (tampangnya mirip sekali dengan bintang film Gong Li). Hmm.. sudah lama aku mengagumi dia. Tingginya kira-kira 170 cm, termasuk tinggi untuk ukuran tubuh perempuan Asia. Kakinya jenjang dibalut celana pendek ketat sehingga menampakkan kulit pahanya yang putih mulus. Hari ini dia memakai T-shirt longgar dengan sport bra yang sesekali tampak dari balik bajunya.
“Oh, excuse me.. I’m sorry..” kataku agak tergagap.
“Oh, it’s okay. This exam makes us a little bit clumsy,” jawab Jeanne sambil tersenyum manis.
Alamaak.. bibir mungil yang merah merekah tanpa polesan lipstick itu sungguh menggoda. Dia mengambil tempat duduk dan aku segera menyusul duduk dua meja di sampingnya.
Ujian kali ini aku lalui dengan tidak sabar. Soal-soal yang bagi sebagian besar murid di kelas ini dianggap sulit, bisa aku jawab dengan relatif mudah. Memang Tuhan mengkaruniaiku dengan otak yang lumayan OK. Ketika aku selesai memeriksa ulang jawabanku, aku langsung keluar ruang kuliah dan menunggu Jeanne di depan kelas. Kesempatan ini harus kumanfaatkan, pikirku.
Tak lama kemudian, Jeanne keluar dari ruang ujian. Dia juga termasuk murid yang pandai di angkatanku. Aku menyapanya dan basa-basi ala kadarnya tentang ujian yang baru saja kami lalui. Akhirnya aku mengajak dia ke kafe di student center untuk menikmati “smoothies” (jus buah dan es puter). Ide yang bagus, kata Jeanne, karena kebetulan dia sendiri juga haus. Pergilah kami berdua ke kafe di student center.
Kami mengobrol kesana kemari tentang apa saja. Rupanya Jeanne orang yang sangat mudah bergaul dan memang dia sudah “mengenal” aku dari teman-temannya. Dia bilang, aku dijuluki “damn smart Indonesian”. Hmm.. boleh juga! Setelah beberapa saat ngobrol dan saling tertawa karena bertukar jokes, aku memberanikan diri untuk mengantarkannya pulang.
“Did you drive here by yourself?” tanyaku.
“In fact, not today. I didn’t want to be late just because I had to find a parking spot,” jawab Jeanne.
“Why?” sambungnya lagi.
“Well.. if you don’t mind, I would like to drive you home, or we can go around somewhere. Of course, if it’s okay with you,” jawabku dengan sedikit dag-dig-dug.
Sialan! Jeanne hanya tersenyum dan tidak segera menjawab.
“Let see.. Today is my last day for my classes, I don’t have anything important to do this afternoon, and indeed.. you’re a nice guy to talk to. OK.. let’s go around somewhere!”
Wuiih.. betapa aku nyaris bersorak girang!
“Where did you park your car?” tanya Jeanne penuh ingin tahu.
“It’s not that far from here,” jawabku sambil memegang tangannya dan mengajaknya jalan.
Dia tidak keberatan tangannya kugandeng! Setelah beberapa saat berjalan, sampailah kami di pelataran parkir.
“Sorry Jeanne, I didn’t drive to campus. I rode this..” sambil tanganku menunjuk ke arah motorku, Kawasaki Ninja 750 model terbaru.
“Wow! Why didn’t you tell me if we gonna ride a motorcycle!” kata Jeanne.
Aku sudah cemas saja kalau dia batal jalan-jalan bersamaku.
“Then let’s go! What are we waiting for? I’d love to ride this motorcycle. It has been a long time I would like to try a Ninja. My older brother has a GSX-R 600 F3.”
Lega deh rasanya. Rupanya Jeanne ini juga suka sekali naik motor dibonceng kakaknya.
Tak lama kemudian, Jeanne naik ke sadel motorku dan memeluk pinggangku. Jantungku berdegub keras dan kencang, karena betapa punggungku merasakan ganjalan lunak sepasang bukitnya dan telingaku merasakan dengusan nafasnya dan hidungku mencium wangi tubuhnya. Untung hari ini aku tidak bawa tas ke kampus, karena memang aku pikir toh aku cuma ujian saja, jadi cukup bawa bolpen dan pensil.
Kularikan motorku dengan kecepatan sedang meninggalkan kampus dan menyusuri jalan-jalan di kota Los Angeles. Jeanne protes karena aku melarikan motorku terlalu pelan! Merasa tertantang, aku tarik gas dan kupacu motorku di interstate highway. Jeanne semakin kencang memelukku.
Setelah puas jalan-jalan, Jeanne mengajakku untuk mengantarkan dia pulang ke apartemennya di kawasan menengah (sengaja daerahnya tidak kusebutkan karena banyak mahasiswa Indonesia yang tinggal di daerah itu). Bagi ukuran seorang mahasiswa, kawasan itu termasuk lingkungan yang cukup elit dan mahal. Jeanne tinggal seorang diri (kakaknya tinggal di apartemen lain, berdekatan dengan dia). Jeanne menyuruhku masuk. Memasuki ruangan apartemen dia, aku mencium wangi pengharum ruangan yang lembut. Jeanne pandai sekali menata ruangan apartemennya sehingga kelihatan menarik dan nyaman. Dekorasi ruangannya bernafaskan Cina tradisional bercampur modern, dengan hiasan kaligrafi Cina dan lukisan klasik Cina. Beberapa buah patung menghiasi berbagai tempat.
“Can I get you something? I have Coke, Sprite, 7Up or water?” tawarnya sambil mengeluarkan gelas dan membuka lemari es.
“Ice cold water is just fine for me. Thank you,” jawabku sambil aku duduk di sofa.
Ada berbagai jenis majalah di bawah meja. Aku tertarik membuka-buka sebuah majalah, Popular Science.
“Here’s your water..” tiba-tiba Jeanne sudah berada di depanku meletakkan segelas air putih di atas meja di depanku. Badannya agak membungkuk, sehingga aku bisa melihat sekelebatan tonjolan dua bukit dadanya yang kencang dan dibalut sport bra lewat T-shirtnya yang longgar. Sejenak dadaku berdesir dan aku merasa celanaku tiba-tiba menjadi sempit.
“Thanks, Jeanne!”
Jeanne kemudian duduk di sebelahku. Dekat, sangat dekat untuk ukuran orang yang baru saja saling mengenal. Tapi rasanya Jeanne dan aku sudah seperti orang yang sudah kenal lama. Kami mengobrol dan bercerita tentang apa saja. Jeanne dan aku juga saling bertukar jokes dan kami tertawa lepas. Hingga suatu saat, aku memberanikan diri memegang jemari tangannya. Lembut. Dia agak tertegun, tapi tidak menolak.
“Jeanne.. You’re so beautiful!” kataku singkat.
Jeanne tersenyum.
“Thank you,” jawabnya.
Ia menundukkan kepalanya ketika aku memandang wajahnya. Perlahan, kuberanikan untuk mencium dahinya. Waah.. rupanya dia tidak menolak ketika kudekatkan bibirku ke dahinya. Perlahan, kukecup keningnya. Jeanne memejamkan matanya. Mungkin dia sedang menikmati suasana saat itu. Aku semakin berani walaupun dadaku semakin berdegub kencang. Aku menggeser dudukku hingga makin merapat. Kulingkarkan tanganku untuk memeluk dia sambil mengelus-elus rambutnya. Perlahan, kupegang dagunya dan kudongakkan.
“Jeanne..” bisikku.
Jeanne hanya bergumam dan membuka matanya memandangku.
“I like you very much.. Would you mind if I kiss you, please..?” kataku sambil masih berbisik.
Jeanne tidak menjawab. Dia kembali memejamkan matanya dan membuka sedikit bibirnya yang merah ranum. Perlahan dan lembut, kukecup dan kukulum bibir yang merah menantang itu. Jeanne melenguh perlahan. Dia memelukku dan membalas ciumanku. Makin lama nafasnya makin memburu. Kurasakan dadanya yang semakin kencang ketika kami saling berdekapan. Mungkin dia juga bisa merasakan betapa batang kelelakianku juga semakin keras. Entah berapa lama kami menikmati ciuman itu. Sengaja memang aku tidak “menggerayangi” tubuhnya. Rupanya dia penasaran juga.
Tiba-tiba Jeanne melepaskan pelukanku dan dia berdiri kemudian menuju kamarnya. “Wait here!” Perintahnya sambil tersenyum penuh arti (yang tidak dapat kumengerti maksudnya). Aku mendengar sayup-sayup suara air yang mengucur deras dari dalam kamarnya. Ah, rupanya di dalam ada kamar mandi dalam. Tak lama kemudian, Jeanne keluar dari kamarnya. “Come on in!” ajak Jeanne sambil menggandeng tanganku. Aku menurut saja. “Your bedroom is great!” pujiku sungguh-sungguh, karena memang dia pandai sekali menata kamar tidurnya. Jeanne hanya menjawab terima kasih. Dia menuntunku hingga memasuki kamar mandinya. Di dalam kamar mandi, kulihat air kran masih mengucur deras hampir memenuhi separuh dari bathtub. Wangi harum dari bubble bath segera memenuhi paru-paruku.
Kali ini Jeanne yang memulai dengan rangkulan dan ciuman sambil meraba sekujur tubuhku. Jeanne menciumku dengan bernafsu sekali sambil tangannya meremas-remas pantatku. Aku pun tak mau kalah. Kucium, kupagut bibir merahnya sambil tanganku meremas lembut pantatnya. Jeanne mulai menanggalkan pakaianku satu per satu. Aku pun mulai melepaskan T-shirtnya. Sport bra berwarna abu-abu yang dipakainya mencetak bukit dadanya yang sudah mengeras dengan putingnya yang membayang di baliknya. Menurut perkiraanku, sekitar 34C. Ukuran yang pas dan sesuai dengan seleraku. Selangkanganku terasa makin keras. Celana jins yang kupakai rasanya semakin sesak. Kuraba dan kuremas lembut bukit dada Jeanne. Dia melenguh dan semakin ganas dengan permainan “french kiss” kami. Jeanne membuka celana jinsku. Aku pun mulai melepaskan celana pendek ketat yang membalut Jeanne. Gila! Jeanne hanya mengenakan G-string hitam di balik celana pendek ketatnya!
Jeanne meraba dan meremas lembut batang kemaluanku yang masih dibalut celana dalamku. Dia memainkan jemarinya dan mulai merogoh masuk celana dalamku, menjemput batang kelelakianku. Dengan sekali tarik, G-string hitam milik Jeanne segera jatuh ke lantai. Alamaak.. betapa indah gerbang kewanitaan milik Jeanne. Perutnya yang putih mulus hingga ke bawah. Rambut pubisnya yang halus dan dicukur rapi, tidak terlalu lebat, tapi juga tidak terlalu tipis. Celah kewanitaannya membayang di balik rambut pubisnya.
Kulepaskan pula sport bra yang masih membalut dadanya. Telanjang sudah perempuan cantik di depanku yang selama ini mengisi khayalanku. Bukit dadanya yang ranum dengan putingnya yang berwarna pink tegak tegang menantangku untuk mengulumnya. Perlahan, kususuri bukit dadanya yang sebelah kiri dengan lidahku. Kumainkan lidahku hingga ke putingnya. Jeanne mendesis. Kujawil-jawil putingnya dengan lidahku, sementara tangan kiriku meremas lembut dan memainkan bukit dada dan putingnya yang kanan. Jeanne mengerang. Tangannya merenggut celana dalamku hingga terlepas ke lantai. Dengan ganas ia memainkan dan mengocok batang kelelakianku. Percaya atau tidak, batang kelelakianku bila sedang “full power” bisa mencapai pusar lebih sedikit. Inilah yang membuat Jeanne sepertinya terkejut.
Jeanne “menuntun” batang kelelakianku menuju bathtub. Aku merebahkan diri ke dalam bathtub dan Jeanne dengan perlahan mengocok dan mengurut batang kelelakianku di antara busa-busa sabun dan air hangat. Jeanne duduk di antara dua kakiku sambil masih terus mengurut dan mengocok batang kelelakianku. Aku memejamkan mataku, menikmati setiap sensasi yang menjalari sekujur tubuhku. Rasa geli yang nikmat kurasakan setiap gerakan lembut tangan Jeanne beraksi naik turun.
Entah berapa lama aku menikmati permainan tangan Jeanne. Kutarik bahunya dan kubalikkan badan Jeanne ke arah badanku. Jeanne kupeluk dari belakang. Kini giliranku untuk memberikan kenikmatan buat Jeanne. Kumainkan bukit dadanya dengan jalan meremas, meraba dan memilin-milin lembut dengan tangan kananku. Sementara tangan kiriku tidak mau kalah, memainkan paha, lipat paha dan daerah gerbang kewanitaan Jeanne. Jeanne mengerang, mendesis dan melenguh. Hidung dan lidahku menciumi dan menjilati daerah di belakang daun telinga Jeanne dan sekitar tengkuknya. Kupilin dan kugeser-geser lembut klitoris dan labia mayor Jeanne.
Akhirnya, kami menyudahi permainan yang mengasyikkan itu karena kulit kami mulai keriput disebabkan oleh terlalu lamanya kami berendam dalam air bubble bath. Jeanne menciumi wajahku dengan penuh kelembutan dan akhirnya kami melakukan “french kiss” lagi dengan posisi saling mendekap. Setelah puas melakukan “french kiss”, Jeanne berdiri dan memutar kran shower untuk membilas tubuh kami. Di bawah derai siraman air shower, kami berpelukan dan melakukan “french kiss” lagi. Saling meraba, saling mengelus dan menyusuri tubuh pasangan kami.
Rupanya Jeanne sudah tidak tahan lagi. Ia menaikkan satu kakinya ke pinggir bathtub dan menuntun batang kelelakianku ke arah gerbang kewanitaannya. Aku membantunya sambil tangan kiriku memilin-milin puting payudara kanannya. Kugeser-geserkan ujung kepala kemaluanku pada klitorisnya. Perlahan, kumasukkan batang kemaluanku ke dalam liang kemaluannya. Pelan.. lembut.. perlahan.. sambil terus kukulum bibir merahnya. Jeanne mendekapku sambil mendesis di sela-sela ciuman kami. Akhirnya kumasukkan kira-kira tiga per empat dari panjang kemaluanku, dan mulai kumaju-mundurkan pantatku. Jeanne memejamkan matanya sambil terus mendesis dan melenguh. Ia memelukku semakin kencang. Kuayunkan pantatku semakin cepat dengan tusukan-tusukan dalam yang kukombinasikan dengan tusukan-tusukan dangkal. Jeanne membantu dengan putaran pinggulnya, membuat batang kemaluanku seperti disedot dan diputar oleh liang kemaluannya. Guyuran air shower menambah erotis suasana dan nikmatnya sensasi yang kami alami.
Aku merasakan lubang kemaluan Jeanne semakin licin dan semakin mudah bagiku untuk melakukan tusukan-tusukan kenikmatan yang kami rasakan bersama. Setelah agak lama melakukan posisi ini, Jeanne menarik pantatnya sehingga batang kemaluanku terlepas dari lubang kemaluannya. Kemudian Jeanne membalikkan badannya dan agak membungkuk, menahan tubuhnya dengan berpegangan pada dinding kamar mandi. Rupanya dia ingin merasakan posisi “rear entry” atau yang lebih populer dengan istilah “doggy style”. Kemaluannya yang berwarna merah jambu sudah membuka, menantang, dan terlihat licin basah. Perlahan kumasukkan batang kemaluanku yang tegang kaku dan keras ke dalam lubang kemaluan Jeanne. Jeanne mendesis. Kuayunkan pantatku maju-mundur, menusuk-nusuk lubang kemaluan Jeanne. Jeanne merapatkan kedua kakinya sehingga batang kemaluanku semakin terjepit di dalam liang kemaluannya. Kurasakan kenikmatan yang luar biasa dan sensasi yang sukar kulukiskan dengan kata-kata setiap kali aku menghujamkan kemaluanku. Kuremas-remas pantat Jeanne bergantian dengan remasan-remasanku pada payudaranya. Sesekali, kugigit-gigit kecil di daerah sekitar tengkuk dan pundaknya.
Setelah sekian lama, tiba-tiba Jeanne mengangkat kaki kanannya dan memutarnya melampaui kepalaku (seperti sebuah teknik tendangan memutar ke arah kepala) sambil tangannya berpegangan pada leherku. Gila! Lentur juga nih cewek! pikirku. Dia membalik dari posisi “rear entry” ke posisi berhadapan tanpa melepaskan liang kemaluannya dari tusukan batanganku. Dia menciumku dengan ganasnya sambil mencengkeram erat punggungku, merapatkan tubuhnya dan mengejan,
“Aku keluaarr..! Aaagghh..!” serunya sambil memelukku erat-erat.
Aku merasakan liang kemaluannya berdenyut-denyut seperti menghisap-hisap kemaluanku. Aku merasakan tubuh Jeanne yang menjadi lemas setelah mengalami orgasme. Aku masih saja memompa kemaluanku sambil menyangga tubuhnya. Kuhisap-hisap puting payudaranya, kiri-kanan sambil lidahku berputar-putar pada ujungnya. Sesekali jari-jariku meraba dan memutar-mutar klitorisnya. Jeanne seperti orang yang sedang tak sadarkan diri. Dia hanya ber-ah-uh saja sambil sesekali menciumiku. Setelah beberapa saat, mendadak dia mengejan lagi. Melenguh dan mengerang,
“Aaagghh..! Ooohh my goodness.. Aku keluaarr lagii..!”
Jeanne engalami orgasmenya yang kedua kalinya. Hmm.. multiple orgasm! Jeanne menciumiku dengan ganasnya.
“Jeanne sayangku.. tahan.. Aku akan keluar sedikit lagi..” kataku sambil memacu pantatku lebih cepat lagi menghujam liang kemaluan Jeanne.
Jeanne hanya bisa pasrah. Akhirnya, aku merasakan sebuah gelombang besar yang mencari jalan keluar. Aku mencoba untuk menahannya selama mungkin, tapi gelombang itu semakin besar dan semakin kuat. Aku mengatur pernapasanku, berkonsentrasi penuh. Kudekap erat Jeanne.
“Aku keluaarr..!”
Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa menjalari sekujur tubuhku. Rasanya tubuhku seperti dialiri listrik statis dan aku seperti melayang tinggi. Ada rasa hangat menjalari seluruh tubuhku. Kemaluanku berdenyut-denyut di dalam liang kemaluan Jeanne. Jeanne menjerit kecil merasakan sesuatu yang luar biasa yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
“Oh My God! You learned the secret!” teriak Jeanne antara girang dan keheranan.
“What secret?” tanyaku keheranan.
“This secret..” jawab Jeanne sambil menunjuk ke arah batang kelelakianku yang masih tegak tegang (yang baru saja kulepaskan dari gerbang kewanitaan Jeanne) dan tidak mengeluarkan cairan kejantananku.
Batang kelelakianku hanya basah oleh cairan yang dikeluarkan oleh Jeanne.
“Rahasia ranjang kamar, cara taoist bercinta!” sambung Jeanne.
Aku hanya tersenyum. Mencium lembut keningnya, kemudian mencuci batang kelelakianku di bawah shower. Jeanne memelukku dari belakang dan membantu mencuci batang kelelakianku. Setelah selesai mandi berdua, kami berdua saling mengeringkan diri dengan handuk. Ketika aku hendak mengenakan pakaianku kembali, Jeanne melarangku dan mengajakku untuk ke tempat tidurnya.
“Wait..” pintaku.
Saat Jeanne menoleh, aku mencuri sebuah ciuman dan kubopong Jeanne ke arah tempat tidurnya (yang berukuran queen dengan warna serba hijau tua dihiasi sebuah boneka Garfield). Kuletakkan Jeanne perlahan di tempat tidurnya. Kuciumi sekujur tubuhnya. Setelah puas, aku berbaring di sebelahnya. Jeanne kudekap dan kuciumi di sekitar daun telinganya sambil tanganku mengelus-elus punggungnya. Tak lama kemudian Jeanne tertidur dengan senyum di bibirnya. Kukecup lembut bibirnya, lalu aku ikut tidur di sampingnya. Beredekapan, telanjang di bawah selimut.
Bersambung . . . .

Musim panas di Los Angeles – 2

Aku terbangun saat kurasakan ada jari-jari halus meraba-raba dadaku dan ciuman di keningku. Jeanne telah lebih dahulu bangun dan dia membangunkanku. Kukecup bibirnya perlahan, kupagut dia, dan kami terlibat dalam sebuah “french kiss”. Kuelus dan kuraba punggung putih mulus Jeanne sementara dia mengelus-elus rambutku.
“Frank, that was great!” bisik Jeanne di telingaku.
“Thank you so much. Where did you learn the secret?” sambung Jeanne.
“Sweetheart..” aku memberanikan diri memanggilnya “Sweetheart”, dan dia tidak keberatan. Aku pikir, jadi deh sepertinya aku pacaran sama dia.
“Aku belum tahu cara taoist bercinta. Kenyataannya, aku mendengar itu sebagai teknik untuk mengatur qi saya menggunakan teknik yang sama yang digunakan taoist. Kalau kamu bisa sebarkan apa yang kamu sebut energi seksual sebagai penggantinya, maka kamu akan menambah qi kamu dan menumbuhkan ke dalam shen dan jin kamu,” kataku menerangkan.
“Itu kenapa saya tidak merasakan secara lambat atau lemah setelah melakukan hubungan seksual. Saya dapat orgasme yang lebih tanpa ejakulasi sekali saja dan tetap melakukannya hubungan terus menerus. Saya dapat mengontrol ejakulasi saya,” lanjutku.
“Oh, that’s why I felt like I got a low electric shocked, felt tingle all over my body and a strange sensation when you got your orgasm.”
“Well, that’s also because I transferred my qi to circulate into your body, to rejuvenate and to mix your qi with my qi. It’s a yin yang thing, you know.”
Jeanne tersenyum dan mengecup bibirku. Gerbang kewanitaannya, entah sengaja entah tidak, menggeser batang kelelakianku.
“Sssh.. I know it, Honey.. I’ve read it from an ancient Chinese book. Now, relax and enjoy!”
Jeanne mulai menciumi sekujur tubuhku, menjilati dadaku dan menggelitiki putingku dengan lidahnya. Tangannya menjalari sekujur tubuhku dan meraba-raba batang kelelakianku, memainkannya, mengelus dan mengurutnya. Seketika batang kelelakianku bangun dari tidurnya. Kembali tegak tegang kaku. Jeanne tersenyum. Perlahan, disusurinya perut, pusar dan pinggangku dengan lidahnya. Aku merasakan geli-geli nikmat yang membuatku merinding. Kuusap-usap kepala Jeanne dengan penuh kelembutan. Kusisir rambutnya dengan jari-jariku dan sesekali kuraba-raba tengkuk dan balik telinganya.
Perlahan jilatan lidah Jeanne semakin turun ke arah selangkanganku. Jeanne menjilati paha kaki kananku bagian dalam, naik hingga ke lipat paha. Kemudian pindah ke paha kaki kiriku. Sama. Naik hingga lipat paha. Dengan jemari tangan kirinya yang halus, Jeanne memegangi batang kelelakianku, mendongakkannya, dan dia mulai menjilati daerah pangkal batang kelelakianku. Disusurinya batang kelelakianku dengan lidahnya hingga ke ujung topi bajanya (ya, aku memang disunat, demi kesehatan). Jeanne memutar-mutar ujung lidahnya ke arah lubang dan sekitarnya pada ujung batang kelelakianku. Rasanya luar biasa. Tangan kanannya menyusuri daerah ulu hati hingga pusarku (yang tercetak karena rajin sit up). Jeanne pandai sekali membuat diriku seperti melayang.
Dari ujung batang kelelakianku, Jeanne kembali menyusurinya hingga ke bawah, menjilat-jilat kantung “peluru” batang kelelakianku dengan sesekali mengecup dan agak menghisap kantung “peluru”-ku. Rasa aneh antara sakit, geli, dan enak menyergap otakku. Jeanne meneruskan jilatannya dengan cara menggeser, memutar dan menggelitiki pangkal kantung “peluru”-ku dengan lidahnya, terus hingga ke arah lubang pembuanganku. Dijilatinya lubang pembuanganku dengan cara memutar-mutar lidahnya. Rasa geli yang mengenakkan kembali menyergap otakku. Aku mendesah, mendesis. Rambut Jeanne agak kutarik dan kujambak.
“Jeanne.. It feels soo good!” desahku.
Jeanne memandangku dengan pandangan mata yang membuatku gemas. Ooh.. betapa cantiknya kamu Jeanne, pikirku. Perempuan cantik yang telanjang bulat di depanku dan sedang menjilati daerah paling privatku saat ini tiba-tiba berhenti melakukan jilatannya. Dia mendekati wajahku. Menciumku dengan mesra dan lembut bibirku. Lebih tepatnya, mengulum bibirku. Kemudian Jeanne membalikkan badannya dan membelakangiku, seperti posisi “69”.
Jeanne memegangi batang kelelakianku dan mulai menghisap, mengulum dan menjilati batang kelelakianku. Kembali rasa geli dan nikmat menyerang kepalaku. Aku mencium wangi harum yang khas dari gerbang kewanitaan Jeanne yang terpampang menantang di depanku. Gerbangnya sudah mulai terbuka, berwarna merah muda dengan dihiasi rambut-rambut pubis yang halus dan dicukur rapi. Batang kelelakianku berdenyut-denyut di antara hisapan dan geseran lidah Jeanne.
Kupegangi dan kuelus pantat Jeanne dengan kedua tanganku. Kuarahkan gerbang kewanitaannya ke arah mulutku. Kujilati pinggiran gerbang kewanitaannya dan daerah sekitarnya. Jeanne mengerang di antara hisapan-hisapannya pada batang kelelakianku. Kumainkan lidahku pada gerbang kewanitaan Jeanne yang terasa mulai licin dan basah, sambil terus menebarkan aroma yang khas harum. Kulihat sebuah tonjolan kecil di antara belahan gerbang kewanitaannya. Kujilati benda itu. Jeanne mengerang dan mendesis, sejenak melepaskan batang kelelakianku dari mulutnya. Kujilat dengan lembut dan sesekali kugeser-geser dengan lidahku tonjolan kecil yang ada di belahan gerbang kewanitaan Jeanne. Kuvariasikan geseran dan jilatanku dengan sesekali menghisap-hisap tonjolan kecil milik Jeanne. Jeanne mendongakkan kepalanya dan mendesis-desis kenikmatan sambil ia menggoyang-goyangkan pantatnya.
Lidahku kembali menjilati dan menyusuri sekitar gerbang kewanitaan Jeanne. Lidahku berhenti di antara gerbang kewanitaan Jeanne dan lubang pembuangannya. Kujilati daerah itu dan kuputar-putar lidahku di daerah itu. “Oooh Frank.. You make me crazy!” kata Jeanne di antara erangannya. Jeanne mengurut dan mengocok batang kelelakianku sambil mulutnya menghisap ujung kepala batang kelelakianku. Setelah beberapa saat, kujilati juga lubang pembuangan milik Jeanne. Kuputar-putar lidahku di daerah itu. Jeanne mendesis-desis. Kedua tanganku tidak tinggal diam saat lidahku memainkan aktivitasnya. Terkadang jari-jari tanganku menggaruk mesra punggung Jeanne dengan lembut, atau meraba, mengusap dan memainkan bukit dadanya yang menggantung menantang di atas perutku.
Pernah satu saat, sebuah jariku memasuki gerbang kewanitaannya dan mengusap-usap dinding depannya dari dalam, daerah yang sering disebut orang sebagai daerah G-spot. Jeanne agak berteriak kecil saat kuusap daerah itu. Tangannya mencengkeram erat pahaku, mungkin menahan sensasi yang luar biasa baginya. Gerbang kewanitaannya terasa sangat basah pada jariku. Setelah beberapa lama kami saling menjilat, menghisap dan menikmati permainan ini, Jeanne tiba-tiba beranjak dari posisinya. “Honey.. I want it now!” katanya sambil memegang batang kelelakianku yang tegang tegak kaku menghadap langit-langit kamarnya. Jeanne mengangkangiku sambil membelakangiku. Ia mengarahkan batang kelelakianku ke gerbang kewanitaannya. Kubantu dia. Kugeser-geserkan ujung batang kelelakianku pada tonjolan kecil di antara belahan gerbang kewanitaannya. Jeanne memejamkan matanya. Mendesah.
Perlahan, batang kemaluanku memasuki liang kemaluan Jeanne yang sudah licin basah. Pelan.. lembut.. Jeanne perlahan menurunkan pantatnya, membuat batang kemaluanku masuk semakin dalam. Terus masuk.. hingga akhirnya tidak bisa lebih dalam lagi, menyisakan kira-kira seperempat dari panjang batang kemaluanku. Jeanne agak terpekik saat ujung kemaluanku menyentuh dinding cervix-nya. Kemudian Jeanne mulai menggoyangkan pantatnya naik-turun-naik-turun. Pada mulanya perlahan hingga beberapa gerakan, akhirnya Jeanne memainkannya semakin cepat. Aku dan dia menikmati sensasi yang luar biasa saat kedua alat kelamin kami menyatu dan saling bergeseran. Jeanne berulang kali mendesah, melenguh, mendesis, meracaukan kata-kata yang tak jelas kedengaran di telingaku. Aku sendiri menikmatinya dengan pikiran yang melayang. Mencoba menahan rasa geli dan nikmat yang menjalari sekujur tubuhku.
Aku mengangkat badanku sekitar 45 derajat dan bersandar pada headboard tempat tidur Jeanne. Tentu saja membuat otot-otot perutku menjadi kencang. Jeanne (sambil membelakangiku) bertumpu pada perutku dan terus mengayuh tubuhnya naik-turun pada selangkanganku divariasikan dengan memutar-mutar pinggulnya. Saat dia memutar-mutar pinggulnya, aku merasakan kemaluanku seperti disedot oleh sebuah vacuum yang kuat sambil dipuntir. “Aaaghh.. Jeanne..” teriakku sambil memegangi pinggangnya yang ramping dan putih mulus. Rasanya aneh sekali, campuran antara sakit, geli dan nikmat yang sukar untuk bisa aku ceritakan di sini. Kuraih tubuh Jeanne dari belakang. Kuremas-remas lembut kedua payudaranya yang terasa keras tapi kenyal. Putingnya aku pilin-pilin dengan mesra. Jeanne menghentikan sejenak ayunan pantatnya. Dia mendesah, mendesis. Aku merasakan batang kemaluanku dan liang kemaluan Jeanne sama-sama berdenyut-denyut. Kuciumi tengkuk Jeanne, sesekali kugigit-gigit ringan tengkuk, bahu kanannya, dan belakang telinganya. Sambil terus meremas, memilin dan memainkan payudara Jeanne, aku menjilati tengkuk hingga di antara kedua tulang belikatnya.
“Jeanne My Dear.. turn around!” pintaku pada Jeanne untuk membalikkan posisinya. Jeanne berbalik tanpa melepaskan batang kemaluanku dari liang kemaluannya. Batang kemaluanku serasa ada yang memuntirnya. Sekarang kami berhadapan. Aku dan Jeanne saling memeluk, saling meraba. Batang kemaluanku masih terasa berdenyut-denyut di dalam liang kemaluan Jeanne yang juga terasa berdenyut-denyut seperti menghisap batang kemaluanku. Kami berciuman dan melakukan “french kiss”. Lidah kami saling berpagut, terkait. Bibir kami bertemu dan saling menggigit, menghisap dan mengulum. Rasanya nikmat sekali. Tanganku meraba dan jemariku dengan lincahnya bergerak di sekujur badan Jeanne, membuat Jeanne kegelian dan merinding. Kurasakan itu pada sekujur tubuhnya yang putih mulus tanpa cela.
Tanpa kuberitahu, tiba-tiba aku berdiri sambil mengangkat Jeanne. Jeanne terkejut dan mempererat rangkulannya pada leherku. Hanya sebentar, ia melanjutkan “french kiss” kami dan melingkarkan kakinya pada pinggangku. Kuangkat Jeanne dengan memegangi pantatnya. Kuayun-ayunkan pinggangku maju-mundur sehingga batang kemaluanku menusuk dan menghujam liang kemaluan Jeanne. Jeanne menggigit bibirku. Aku berjalan ke arah pintu kamar mandi sambil memondong Jeanne tanpa melepaskan batang kemaluanku dari liang kemaluannya. Setiap ayunan langkahku berarti setiap tusukan batang kemaluanku hingga menyentuh cervix Jeanne. Jeanne mengerang, “Oooh Frank! You’re increadible!” kata Jeanne di antara desahan napasnya. Aku berjalan mondar-mandir di depan tempat tidur Jeanne dalam posisi ini. Bagiku sendiri, posisi ini tidaklah seenak dan sesensasional posisi yang sebelumnya, tapi bagi Jeanne, ini merupakan suatu posisi yang sangat menantang dan menggairahkan.
“Honey.. I’m almost there.. Sit on the edge of the bed, please..!” kata Jeanne. Aku segera berjalan menuju tempat tidur Jeanne dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Kulebarkan kakiku sehingga Jeanne bisa lebih leluasa mengayuh liang kemaluannya bergeseran dengan batang kemaluanku. Kurasakan ada rasa geli yang luar biasa yang menerobos otakku. Aku mengerang. Lidahku kutekuk ke langit-langit mulutku. Kuatur napasku. Rasanya ada gelombang besar dari pinggangku yang hendak mencari jalan keluar melalui batang kemaluanku. Kutahan gelombang besar itu sedapat mungkin.
“Jeanne Sayang.. Aku hampir keluar sedikit lagi..” kataku.
“Let’s do it together, Hon!” jawab Jeanne.
Kami berciuman kembali. Jeanne menghentikan ayunannya. Dia memelukku erat sekali. Aku terkejut! Kurasakan ada semacam aliran listrik statis pada ujung batang kemaluanku yang berasal dari cervix Jeanne! Kubuka mataku dan kulepaskan ciuman kami.
“You..?!” ujarku sambil penuh tanda tanya.
“Shut up and just do it!” dan Jeanne kembali menciumku dengan ganas.
Aku pun balas menciumnya. Kami berdua sama-sama diam dalam posisi berciuman.
Kurasakan aliran listrik statis mulai merayapi sekujur tubuhku. Kubiarkan. Dari diriku pun ada semacam energi yang menjalar dari tulang ekorku, naik ke tulang belakangku dan menyebar ke seluruh tubuhku. Gelombang besar yang kurasakan dan hendak mencari jalan keluar perlahan bisa kuatasi. Dengan teknik pernapasan yang kupelajari, ku-“tarik” gelombang besar itu ke arah pinggangku, ke arah dua titik yang disebut ming-men oleh ahli akupunktur. Kuputar gelombang besar itu di sana. Perlahan, aku pun merasakan ada aliran listrik statis yang mengalir dari titik 2 jari di bawah pusarku. Titik ini yang sering disebut oleh orang Cina sebagai titik dantien atau chakra pusar oleh orang India. Tenaga inilah yang disebut oleh orang India sebagai tenaga Kundalini. Inilah kunci dari cara taoist bercinta, yaitu pembangkitan tenaga terpendam dari dantien yang didapat dari tenaga seksual dan membuat genital orgasm menjadi “whole body and soul orgaSMS.
Sekujur tubuhku terasa hangat, begitu juga dengan tubuh Jeanne. Kami masih berciuman. Diam, menikmati sensasi yang luar biasa yang tidak akan pernah kami dapatkan dari orgasme genetik. Aku merasakan ada sesuatu yang berputaran pada tubuhku, dari bawah, naik, hingga melalui mulutku masuk ke mulut Jeanne dan dari mulut Jeanne kurasakan aliran lagi yang menuju ke bawah membentuk suatu siklus. Inilah yang disebut oleh para taoist sebagai kondisi tao, di mana yin dan yang bersatu membentuk harmoni. Aku merasa seperti melayang ke ruangan yang tanpa dimensi. Senyap. Pandangan mataku seperti melihat cahaya yang terang (walaupun aku memejamkan mataku). Rasa nikmat yang aneh disertai oleh rambatan sensasi menjalari setiap bagian tubuhku dan tubuh Jeanne. Kurasakan tubuhku merinding sekujur tubuh (bukan karena dinginnya AC, karena tubuhku terasa hangat). Kurasakan juga Jeanne merinding di sekujur tubuhnya. Rambut-rambut halus yang ada di tubuh kami berdua berdiri, seperti layaknya kalau tubuh teraliri listrik statis. Tubuh kami berdua mengejang. Akhirnya aku merasakan suatu yang sangat melegakan. Nikmat.. Cahaya terang yang “tampak” di mataku digantikan oleh kegelapan yang pekat. Sunyi..!
Pelan-pelan Jeanne melepaskan ciuman kami. Dia tersenyum penuh arti dan kemudian mencium keningku. Kupagut kecil dagu Jeanne saat dia mencium keningku. Aku merasakan kesegaran tubuhku seperti orang yang baru selesai berolahraga ringan. Jeanne perlahan melepaskan gerbang kewanitaannya dari batang kelelakianku. Dia beranjak dari pangkuanku dan memegang batang kelelakianku, kemudian dikulumnya batang kelelakianku yang masih tegak tegang dan kaku yang penuh dengan cairan kewanitaannya. Rupanya Jeanne membersihkan batang kelelakianku. Dia cuma sebentar mengulumnya, kemudian mengambil beberapa lembar tissue dan melap batang kelelakianku. Kukecup kening Jeanne sambil mengelus rambutnya.
Jeanne mengajakku kembali ke balik selimut. Kami berpelukan sambil masih dalam kondisi sama-sama telanjang bulat. Kami kemudian saling berciuman lagi.
“Frank.. You’re wonderful!” kata Jeanne.
Aku cuma tersenyum dan mencium keningnya dengan penuh kelembutan. Kusisiri rambut Jeanne dengan jari-jari tanganku.
“Sayang.. kita bukan hanya melakukan seks, kita benar-benar bercinta. I felt so loved so much that I never felt that kind of feeling before. I love you, Frank!”
Aku terkejut mendengar kata-kata Jeanne, terutama yang terakhir. Ada kebahagiaan yang kurasakan di hatiku saat itu. Kupeluk Jeanne semakin erat, dan kucium dia.
“Jeanne.. do you mind if I ask you a personal question?” tanyaku setelah beberapa saat kami berciuman. Jeanne cuma menggeleng.
“Where did you learn that secret and how?” tanyaku penasaran.
Harusnya sudah kusadari sejak awal bahwa kalau dia mengerti tentang “rahasia” ini, tentu paling tidak dia tahu akan “teori”-nya. Ternyata memang dia juga menguasainya! Jeanne tidak menjawab. Dia hanya tersenyum dan meletakkan sebuah jarinya di bibirku, tanda bagiku untuk diam. “Are you hungry Frank?” tanya Jeanne untuk mengalihkan perhatian. Aku melihat ke arah jam dinding di kamar Jeanne. Shit! Sudah lewat tengah malam dan hampir jam satu pagi! Padahal, seingatku aku baru bangun dan memulai permainan kami ini sekitar jam sembilan. Mendadak aku merasakan perutku bunyi dan keroncongan. Seingatku, hari ini aku memang belum makan apapun. Jeanne tersenyum manis lagi (mungkin karena) melihat tampangku yang seperti orang linglung.
“Okay Honey.. I’m hungry too.. I’ll make you something,” kata Jeanne sambil dia beranjak dari tempat tidur. Tubuhnya yang putih mulus meliuk dan melenggok dan tak lepas dari pandangan mataku. Dia menyalakan lampu kamarnya dan berjalan menuju ke lemari pakaiannya. Membuka sebuah laci, mengambil sebuah celana dalam berwarna putih dengan hiasan bunga-bunga kecil berwarna-warni, mengenakan celana itu, mengambil sebuah T-shirt dan kemudian mengenakannya. Jeanne juga mengambil dan kemudian memakai sebuah celana jins pendek. Dia keluar dari kamar. Aku beranjak dari tempat tidur Jeanne dan menuju ke kamar mandi, di mana baju dan celanaku tertinggal. Saat aku mengenakan celanaku, aku mendengar teriakan Jeanne dari dapur.
“Sayang.. jangan kamu pakai T-shirt kamu! Aku ingin kamu telanjang dada! Aku suka dengan dada kamu! Sangat seksi sekali..” teriaknya. Aku menurut. T-shirt yang hampir aku kenakan batal aku kenakan. Dadaku memang bidang, karena aku juga menyukai olah raga panjat tebing di samping silat yang kulatih sejak kecil. Dadaku juga ditumbuhi rambut-rambut yang tidak terlalu lebat dan juga tidak terlalu jarang yang terus menyambung dari bawah.
Bersambung . . . .

Musim panas di Los Angeles – 3

Ketika keluar dari kamar Jeanne, aku mencium wangi makanan. Sepertinya Jeanne membuat nasi goreng dan oseng-oseng ayam dan udang dengan sayuran. Perutku dengan kurang ajarnya berkeruyuk. Kulihat Jeanne sibuk menyiapkan makanan dan menata meja makan. Kuhampiri dia dan kupeluk dari belakang. Kucium balik telinganya sambil tanganku dengan nakalnya meraba dadanya.
“Do you need help, Sweety?” bisikku pada telinganya.
Jeanne menepiskan tanganku dan membalikkan badannya.
“No thanks Honey. Just wait there, watch TV or something. It’ll be a moment and not too long.”
“Okay..”
Aku berjalan menuju baby grand piano yang ada di sudut ruangan. Kumatikan suara TV yang sedang menyiarkan berita CNN melalui remote control.
“Sweety.. this one is for you!” kataku sambil mulai memainkan tuts-tuts piano.
Aku memainkan sebuah lagu melalui denting piano. Malam itu (atau lebih tepatnya pagi dini hari) kulewati dengan makan bersama Jeanne (masakannya enak lho!) dan aku menginap di apartemennya.
Pagi itu aku bangun dengan pikiran yang berkecamuk. Jeanne masih tidur di dekapanku. Aku bisa merasakan hembusan napas halusnya. Berbagai macam perasaan silih berganti menerpaku. Aku merasa bahagia, sedih, senang, susah, gembira, dan entah apa lagi. Sukar sekali untuk bisa mengatakannya. Pikiranku melayang ke masa laluku.
Aku dilahirkan tahun 1969, anak tertua dari 2 bersaudara. Adikku, perempuan, lahir 3 tahun kemudian setelah aku (dia sudah menikah dan berputra seorang sekarang). Ayahku adalah seorang pegawai negeri. Aku benci ayahku! Dia bukanlah seorang bisa dijadikan contoh dan dibanggakan oleh anak-anaknya. Ayahku sering sekali memarahi ibuku di depan anak-anaknya. Bahkan terkadang tak segan-segan menempeleng ibuku! Tak jarang pula aku harus menerima hajaran dari ayahku kalau aku berusaha melindungi ibuku. Tapi apa dayaku, waktu itu aku masih kecil. Di kantornya, ayahku pun bukan orang yang dihormati. Tentu saja orang akan “hormat” di depan dia. Dia adalah seorang koruptor dan tukang main perempuan! Aku pun sebetulnya malu untuk menceritakan tentang dia.
Makanya, tak heran apabila aku tumbuh menjadi anak jalanan. Aku tumbuh menjadi anak yang nakal. Sangat nakal! Walaupun demikian, aku tetap punya prinsip. Aku berprinsip untuk tidak “melukai” diriku sendiri. Itu sebabnya aku tidak merokok, tidak minum minuman keras dan tidak berurusan dengan narkotik (walaupun nantinya aku menjadi salah seorang pengedar). Beberapa kali ayahku harus “menebusku” di kantor polisi atas tingkah lakuku yang sudah termasuk tindakan kriminal.
Akhirnya saat UMPTN tiba. Aku ingat akan kata-kata ibuku yang memintaku untuk belajar sungguh-sungguh, demi diriku sendiri dan demi ibuku. Aku turuti kata-kata ibuku. Tuhan memang memberiku otak yang encer. Aku diterima di perguruan negeri paling bergengsi di Indonesia. Berangkatlah aku ke Bandung.
Di kota ini aku tambah liar, bagaikan kuda yang lepas dari ikatan. Bayangkan, tidak ada yang perduli, kost dan hidup sendiri, punya banyak uang (yang aku tahu itu adalah uang haram hasil korupsi ayahku), mau apa lagi? Di kota ini pertama kali aku kehilangan keperjakaanku oleh seorang gadis manis yang tadinya cuma iseng aku pacari (dan dia aku perawani). Namanya Yolanda. Aku panggil dia Yo, saat itu dia kuliah di perguruan negeri lain yang juga ada di Bandung. Aku kenal dia pertama kali waktu aku jalan-jalan di Cihampelas. Setelah berkenalan, aku sering menelepon dia. Kami banyak ngobrol dan aku semakin tertarik dengan dia (walaupun dengan niat cuma iseng). Yo mempunyai darah Belanda dari ibunya. Dia berambut panjang, berkulit kuning langsat dan bermata coklat. Tidak terlalu tinggi, hanya rata-rata tinggi perempuan Indonesia.
Setelah sekitar 2-3 bulan, aku “jadian” dengan Yo. Aku tahu, Yo sangat mencintaiku. Suatu hari, Yo datang ke tempat kost-ku di daerah Bukit Dago. Dia datang sambil menangis (karena suatu hal yang membuatnya demikian). Aku mencoba untuk menghiburnya, memberikan dukungan dan menyatakan bahwa ada orang yang mencintainya. Entah siapa yang memulai duluan, akhirnya kami terlibat dalam suatu ciuman yang mesra, hangat dan sangat intim. Yo mendesah. Mungkin saat itu situasi sangat mendukung. Aku menggerayangi tubuh Yo, dan dia tidak menolak. Selama ini kami belum pernah berciuman seperti saat itu. Tanganku menyusup ke bajunya setelah kancing-kancingnya aku lepaskan. Bra yang dikenakan Yo berwarna krem, berukuran 34B. Kuraba dan kuremas perlahan buah dada Yo yang kanan. Dia mengerang. Mulut kami masih berciuman. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya aku berhasil melepaskan “atribut” atas Yo, sehingga Yo telanjang dada. Kucium buah dada Yo yang putingnya berwarna coklat muda.
Kukulum dan kuhisap putingnya sambil kuremas-remas dengan tanganku. Waktu itu aku sangat berdebar-debar dengan pikiran yang tidak karuan. Banyak pertanyaan silih berganti di kepalaku, tapi tidak kuperdulikan. Aku pikir, kapan lagi? Yo mendesis dan mengerang saat buah dadanya aku “kerjai”. Akhirnya, kami berdua sama-sama telanjang bulat. Bagiku, inilah pertama kalinya aku melihat tubuh mulus seorang perempuan secara nyata. Selama ini aku hanya mengetahuinya dari buku, majalah, atau film. Gerbang kewanitaan Yo ditumbuhi rambut-rambut halus yang lebat sekali dan ia memiliki gundukan mons pubis yang membukit. Pinggulnya benar-benar seperti “bodi gitar”. Yo terbelalak melihat batang kelelakianku yang tegak tegang dan besar mengacung dan berdenyut-denyut. Dia menarik selimutku dan menutupi tubuh telanjangnya. Badannya bagus dan mulus! Aku memeluknya.
“Frank.. aku pengin, tapi aku takut!” kata Yo.
“Aku sayang kamu Yo.. Aku juga pengin. Pelan-pelan ya..”
“Aku pengin memberikan ini buatmu, Frank!”
Pelan-pelan, kucumbu Yo dan kurasakan gerbang kewanitaannya sudah sangat basah ketika jari-jari tanganku bermain di sana. Kuarahkan batang kelelakianku ke arah gerbang kewanitaan Yo. Yo membuka pahanya. Perlahan kumasukkan batang kemaluanku ke liang kemaluan Yo. Tidak berhasil! Susah sekali! Seret dan meleset. Aku mencoba beberapa kali. Setelah kupikir sudah pas pada lubangnya, aku tusukkan batang kemaluanku ke dalam liang kemaluan Yo. Yo memekik dan menangis di pelukanku. Kurasakan ada cairan hangat mengalir di batang kemaluanku. Kugoyang-goyangkan pantatku maju-mundur (waktu itu pengetahuanku tentang seks sangatlah minim, hanya lewat majalah dan video porno) seperti yang kulihat di film porno. Yo memelukku semakin erat dan air matanya mengalir. “Frank.. Sakit! Sakit sekali!” katanya di antara sesenggukannya.
Kukecup Yo dan kucabut batang kemaluanku dari liang kemaluannya. Aku melihat batang kemaluanku “berdarah” dan beberapa bercak darah menetes ke sprei tempat tidurku. Darah perawan Yo! Yo dengan tertatih-tatih bangun dan menuju ke kamar mandiku. Dia melap liang kemaluannya dengan tissue. Kuhampiri dia dan kupeluk dia. Kucium. Hari itu aku “tuntas”-kan dengan “self-service” di kamar mandi karena aku tidak tega melihat Yo kesakitan. Akhirnya kami berdua tidur telanjang berpelukan setelah kuganti sepreiku.
Aku dan Yo akhirnya bisa melakukan hubungan seks dengan nyaman dan kami berdua bisa menikmatinya setelah kami melakukan yang ke-3 atau ke-4 kalinya (aku lupa). Akhirnya aku jadi sangat mencintai Yo dan dia juga demikian. Dia sangat sabar dan dia pula yang membuatku untuk mulai “bertobat” dari segala kenakalanku. Aku berubah karena Yo.
Hingga suatu hari, aku mendengar kabar yang sangat mengejutkan dan membuat tubuhku lemas dan aku sempat mengalami pukulan yang telak. Yo meninggal dunia karena kecelakaan. Dan yang membuatku semakin menyesal adalah aku tidak sempat melihat jenazahnya, karena telah dikuburkan di sebuah pemakaman umum di Jakarta. Aku mendengar kabar ini sepulangku dari latihan survivalku selama seminggu. Begitu aku mendengar kabar ini dan aku sadar dari rasa terkejutku, aku segera berangkat ke Jakarta dengan motorku dan kularikan motorku dengan kecepatan sangat tinggi. Bayangkan, saat itu Bandung-Jakarta kutempuh hanya dalam waktu kurang dari 2 jam! Baru kuketahui dari keluarganya bahwa Yo telah dimakamkan. Aku segera menuju makamnya yang masih basah dan penuh dengan taburan bunga. Aku menangis di sana hingga tak terasa aku tertidur dan dibangunkan oleh orangtua penjaga makam.
“What’s the matter, Honey..?” tiba-tiba pertanyaan Jeanne mengagetkan aku dan menyadarkanku pada situasiku yang sekarang. Jeanne memandangku dengan penuh tanda tanya dan ia mengusap dadaku, kemudian mencium dadaku. Kucium kening Jeanne dan aku menarik napas panjang. “Why are you crying..?” Jeanne mengusap setetes air mata yang menetes dari mataku saat bertanya kepadaku. Aku tersenyum padanya. “I just have a feeling about how happy I am now!” kataku sambil mengecup kening Jeanne. Maafkan aku Yo, kataku dalam hati. Aku jatuh cinta pada perempuan ini. Semoga kamu berbahagia di alam sana, batinku.
“I’m still tired, Frank. I want to continue my sleep,” kata Jeanne, dan dia memelukku semakin erat. Kuelus rambutnya. “It’s all right, Baby.. Go back to sleep. I’m fine.” Kulirik jam dinding di kamar Jeanne yang samar-samar kulihat menunjukkan sekitar pukul sepuluh pagi. Aku sendiri pun masih malas beranjak dari tempat tidur, lagipula hari ini adalah hari libur.
Kembali pikiranku melayang dan melamun. Setelah ditinggal oleh Yo untuk selamanya, aku sempat seperti orang linglung yang kehilangan semangat kira-kira selama 2-3 bulan. Orang yang menyadarkanku adalah kakak seperguruanku yang sangat perhatian dengan diriku. Dia mengetahui perubahan pada diriku. Akhirnya, dia berhasil meyakinkanku untuk “get over it” dan “get real” dengan situasiku. Katanya lagi, Yo akan sangat marah dan kecewa bila laki-laki yang dicintainya ternyata sangat lemah. Aku sempat marah padanya dan kutantang dia berkelahi. Tentu saja dia menolak, tapi kupaksa karena aku sudah mata gelap. Rupanya dia memang jagoan (biarpun dia kelihatan seperti biasa saja). Dengan mudah aku dikalahkannya dan aku dilumpuhkan hanya dengan 2 kali totokan 2 jarinya. Dia menasihatiku seperti dia menasihati adiknya. Aku sadar dan bisa mengerti. Dari dia aku belajar silat dengan giat dan tekun untuk mengisi hari-hariku di samping belajar lebih sungguh-sungguh pada pelajaranku di bangku kuliah.
Di tahun yang sama, petaka datang lagi. Ayahku menceraikan ibuku karena dia kawin lagi dengan perempuan lain. Aku sangat marah saat itu. Kudatangi ayahku di kantornya dan kuhajar dia hingga bibir dan hidungnya pecah berdarah. Sampai-sampai aku harus diamankan oleh para satpam kantor ayahku karena aku mengamuk.
Akhirnya aku dikirim oleh ibuku ke Amerika Serikat dengan biaya dari harta pembagian ayahku. Aku hanya dibiayai untuk semester pertama, selanjutnya, aku harus membiayai hidupku sendiri. Ibuku “menantang”-ku dan aku menerima tantangannya untuk bisa hidup dan survive di negeri orang. Setelah kutunjukkan kemampuanku pada semester pertama kuliah, akhirnya semester berikutnya aku mendapatkan beasiswa. Untuk hidup, aku bekerja apa saja dan di mana saja. Di negeri orang inilah aku mengenal arti hidup sesungguhnya. Karena keberuntunganku, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan engineering. Dari situlah aku mulai menata hidupku dan bisa seperti sekarang.
Aku masih ingat pertama kali aku melihat Jeanne. Waktu itu aku lagi duduk-duduk di sebuah bangku putih panjang di Palm Court di UCLA setelah selesai kuliahku hari itu. Entah mengapa aku begitu tertarik dengan dia yang melenggang tepat di depanku. Baru kuketahui bahwa dia adalah seorang mahasiswi dari jurusanku juga.
Aku tersadar dari lamunanku saat Jeanne melepaskan pelukannya dan membalikkan badannya memunggungiku. Aku mendesah pelan, dan tersenyum sendiri. Kupeluk Jeanne dengan mesra dan kulanjutkan tidurku.
TAMAT

Memerawani gadis tomboy

Namaku Indra, seorang mahasiswa dari jogja umurku sekarang 21 tahun. Kisah ini adalah kisah nyataku yang aku alami bersama dengan anak tetanggaku sekitar 1 tahun yang lalu. Waktu itu aku masih kuliah dan Ayu, sebut saja begitu, umurnya masih sekitar 18 tahun dan baru saja lulus dari SMU.
Ayu orangnya supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Maka dari itu semua orang dilingkungan tempat tinggalku kenal dengan dia. Selain itu juga Ayu aktif dalam berbagai kegiatan dilingkungan kami seperti halnya karang taruna dan dia selalu terpilih menjadi ketua panitia dalam setiap kegiatan dilingkungan kami. Sifatnya yang energik itulah yang disukai siapapun. Satu lagi sifat yang sulit dipisahkan darinya yaitu, dia seorang gadis tomboy, walaupun dia sering marah jika disebut begitu.
Sikap Ayu padaku sudah seperti adikku sendiri. Dia seringkali main ke rumahku untuk sekedar bercengkerama dengan keluarga kami. Dan juga pada tetangga yang lain dia juga begitu. Karena begitu akrabnya denganku sehingga dia sering keluar masuk kamarku untuk sekedar membangunkanku dari tidur mengajakku bercanda atau kadang-kadang dia juga tak segan untuk curhat denganku.
Kebiasaan itulah yang selalu dilakukannya hingga pada suatu saat aku lupa mematikan komputer yang ada di kamarku setelah aku mengerjakan paper untuk mata kuliah Ilmu Sosial Dasar semalam suntuk. Karena kelelahan aku tertidur dimuka komputer dan aku tinggalkan komputerku dalam keadaan menyala. Sebagai anak muda menyimpan gambar-gambar porno dari disket ke disket atau bertukar VCD porno adalah hal yang wajar diantara aku dan teman-temanku. Rasa khawatirku muncul dan aku bergegas bangun.
“.. Mas, koq komputernya enggak dimatiin sih..?” tanya Ayu sambil menggeser-geser mouse.
Untung saja ia hanya main game solitaire. Aku banting lagi tubuhku yang masih setengah nyawa ke kasur busa yang ada dilantai.
“.. Iya.. Semalem.. Abis ngerjain tugas.. Aku ketiduran, Yu..” kataku sambil bermalas-malasan dikasur.
“.. Iya.. sudah sana mandi..! Mana bau ih.. sudah sana..!” bentak Ayu sambil bercanda menirukan gaya Ibuku yang biasa membangunkanku dengan kata-kata itu.
“.. Hoahh..!!” aku menguap sambil menggeliat mengumpulkan nyawa.
“.. Idih.. Baunya kemana-mana.. sudah sana mandi.. mau mandi enggak.. Hah?!” kata Ayu sambil merapat padaku dan memukul guling ke mukaku..
“.. Aduh.. Duh.. Aduh.. He.. He.. He.. Aduh..!!” aku pura-pura sakit sambil tertawa terkekeh.
“.. sudah.. Sana.. Mandi.. Sana!!” bentak Ayu sambil terus memukul-mukul dengan bantal ke mukaku
Tak tahan diserang bertubi-tubi aku akhirnya menyerah dan bergegas ke kamar mandi sambil mengambil handuk dan pakaianku. Hari itu hari sabtu jadi aku tak perlu tergesa-gesa karena hari itu hari libur. Ada yang aneh karena Ayah dan Ibuku yang biasanya ada dirumah kini tidak ada. Setelah itu aku kembali ke kamarku.
“.. Yu.. Ibu sama Ayahku kemana..?” tanyaku pada Ayu
“.. Lho.. Mas.. Koq.. enggak tahu sih..?” Ayu balas bertanya
“.. Nggak.. Ada apa..?” tanyaku lagi..
“.. Ibu sama Ayah Mas.. Tadi pagi sudah berangkat ke Bekasi.. Katanya mau lihat anaknya Mas Robi..” cerita Ayu.
Mas Robi adalah abangku. Anaknya yang juga adalak keponakanku yang umurnya baru 2 tahun sakit. Ayah dan Ibuku menengok keponakanku yang adalah cucu mereka juga.
“.. Oh..” aku baru mengerti.
“.. Iya.. Nah tadi Ayah sama Ibu Mas Yanto nitip rumah ke aku..” kata Ayu.
“.. Oh..” sahutku.
“.. Ah.. Oh.. Ah.. Oh.. Apanya sih..?!” hardik Ayu sambil bercanda.
“.. Ah.. Nggak..” kataku sambil memperhatikan Ayu.
Wajah Ayu sepertinya biasa-biasa saja. Hanya kulitnya yang putih mulus yang membuatnya terlihat cantik. Rambutnya yang dipotong pendek semakin membuat ia kelihatan tomboy. Tubuhnya sintal dan padat menyiratkan kalau ia seksi. Dalam hatiku ingin sekali menikmati tubuhnya itu yang aku rasa lebih nikmat daripada pelacur kelas kakap sekalipun. Aku atur strategi bagaimana caranya supaya aku bisa menikmati tubuhnya.
“.. Kenapa sih, Mas..?!” tanya Ayu yang membuat lamunanku buyar seketika.
“.. Akh.. Nggak.. Eh.. Ayu sudah sarapan belom..?” tanyaku mengalihkannya.
“.. Kenapa sih.. Mau Ayu buatin yah..?” kata Ayu.
“.. Aduh kamu tuh baik sekali sih..” kataku memujinya.
“.. Iya dong.. Siapa dulu dong.. Ayu..” katanya membanggakan diri sambil meinggalkan kamarku.
Aku buka gambar-gambar porno di folderku. Aku pajang besar-besar untuk memancing Ayu supaya melihatnya. Aku ingin tahu reaksinya. Tak lama kemudian memanggilku.
“.. Mas sudah tuh..” katanya.
Aku meninggalkan komputerku dalam keadaan gambar terdisplay besar-besar dimonitor. Perkiraanku benar saja. Ayu kembali ke kamarku. Aku sengaja membiarkannya melihat gambar-gambar porno itu karena ingin tahu reaksinya. Sementara itu aku sarapan diruang makan. Setelah itu aku kembali ke kamarku.
Tak kusangka dan tak kuduga Ayu ternyata membolak-balik gambar-gambar yang ada difolderku sambil melihat gambar-gambar yang lain. Aku hanya memperhatikannya dimuka pintu tanpa sepengetahuannya. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ia membelakangiku entah bagaimana mimik mukanya. Perlahan aku dekati dia berbicara.
“.. Ehm.. Lagi ngapain, Yu..?” tanyaku.
“.. Ehm.. Nggak.. Eh.. Eh.. Aduh.. Maaf.. Yah, Mas.. Eh.. Ayu nggak sengaja.. Maaf sudah buka-buka foldernya Mas..” kata Ayu. Ku lihat mukanya merah dan berkeringat.
“.. Ah.. Nggak pa-pa.. Koq.. Itu juga buat ngilangin stress aja..” kataku dengan ringan.
“.. Aduh.. Gimana.. Nih. Maaf yah.. Mas..” kata Ayu memohon maaf padaku. Padahal aku tahu kalau Ayu malu setengah mati.
“.. Enggak.. Nggak pa-pa.. Koq..” kataku lagi.
Kali ini aku menuntun tangannya yang memegang mouse supaya lebih aktif lagi membuka gambar yang lain. Aku rasakan keringat dingin yang membasahi tangan Ayu.
“.. Rileks aja oke..” kataku sambil meniup tengkuk leher Ayu. Teknik ini untuk membangkitkan birahi wanita.
“.. Emh.. Mas..” sahut Ayu.
“.. Tuh lihat.. Ditunggingin gitu terus ditubles deh pantatnya..” kataku mengomentari gambar doggy style.
“.. Ih.. Masak sih.. Mas.. Hiiy.. Jorok.. Ih..!” kata Ayu terkaget-kaget.
Tanganku membimbing tangannya yang memegang mouse untuk melihat gambar selanjutnya. Kali ini gambar seorang gadis mengulum-ngulum penis pria yang berukuran besar dan panjang.
“.. Kalau yang ini.. Serem.. Ah..” bisikku sambil terus meniup tengkuk lehernya.
“.. Ih.. Jijik.. Ih.. sudah ah, Mas.. Liat yang lain aja..” bisik Ayu
Tanganku terus membimbing tangannya yang memegang mouse hingga gambar berikutnya. Kali ini gambar vagina yang dijilati oleh pria. Ayu terbelalak.
“.. Tuh.. Dijilatin.. Tuh.. Enak kali yah..?!” bisikku ditelinganya.
“.. Ih.. Apa nggak jijik tuh, Mas..?!” tanya Ayu terheran-heran.
“.. Nggak.. Enak.. Koq.. Liat aja tuh cowoknya ke enakkan gitu..” kataku.
“.. Ih..” Ayu masih terlihat jijik.
“.. Kalau kamu mau.. Mas mau tuh jilatin..” bisikku sambil menawarkan.
“..” Ayu diam saja
“.. Gimana, Yu.. Kamu mau nggak.. Enak koq..” rayuku.
“.. Engh.. Nggak.. Ah..” kata Ayu.
“.. Ih.. Enak.. Enak banget.. Koq, Yu..” rayuku lagi.
“.. Mas.. Nggak jijik..?” tanya Ayu.
“.. Nggak sayang.. Malah.. Mas yang keenakan..” rayuku lagi.
“.. Ih.. Eng..” Ayu masih jijik.
“.. Oke deh.. Gimana kalau mulai dengan ini dulu..” kataku sambil mengulum bibirnya dalam-dalam.
“.. Emh..” hanya itu suara yang aku dengar dari mulut Ayu.
Aku yang berdiri dibelakang Ayu kali ini mengulum bibir Ayu dalam-dalam. Ciumanku aku arahkan ke tengkuk lehernya sambil kujilati tengkuk leher yang putih mulus itu.
“. Emh.. Mas.. Ohh..” hanya itu suara dari mulut Ayu membalas seranganku.
Ciuman dan jilatanku aku arahkan ke dagu dan leher Ayu terus ke bawah. Tapi kausnya masih menghalangi aksiku.
“.. Ayu.. Bajunya, Mas.. Buka yah..?” bisikan rayuanku.
“.. Emh..” hanya itu suara yang keluar dari mulut Ayu. Aku tak tahu apakah itu berarti ya atau tidak.
Perlahan-lahan aku tarik bajunya Ayu tak memberontak sedikitpun. Aku teruskan menarik kaus itu hingga terlepas. Tak ku sia-siakan kesempatan ini sambil terus membuka BH-nya. Aku tarik kancing BH-nya yang berukuran 36B. Aku lihat tulisan itu pada tanda label pada BH-nya. Kini tubuh Ayu sudah topless dan siap aku gempur bagian atasnya. Perlahan-lahan aku papah Ayu ke kasur yang ada dilantai kamarku. Aku baringkan ia dan aku teruskan aksiku tadi.
“.. Ayu.. Mau diterusin enggak nih..” tanyaku. Aku takut nanti ia melapor pada orangtuanya kalau ia diperkosa.
“.. Engh.. Mmhh.. Main atas aja yah.. Mas.. Sshtt..” pintanya dalam keadaan horny.
Rupanya Ayu sudah beberapa kali main pas foto dengan teman-temannya dulu waktu disekolah. Jadi ia sudah tak heran lagi dengan yang beginian.
Kali ini bibirku mengulum dan lidahku menjilati buah dada yang bulat dengan puting susu berwarna coklat kemerahan mengacung ke atas. Aku mengulumnya sambil lidahku memainkan puting susu itu. Tanganku menggerayangi buah pantatnya yang padat berisi. Aku teruskan dengan membuka celana pendek yang dikenakannya. Kali ini Ayu agak bertahan. Dia tidak mau menaikkan pinggulnya supaya celananya mudah diperosotkan. Sementara itu aku melepaskan celana pendek kolorku dan juga kausku hingga aku hanya celana dalam saja.
“.. Emh.. Jangan.. Mas.. Sshh..” pinta Ayu dalam desahannya.
“.. Gimana.. Mas.. Bisa ngejilatin itunya Ayu..?” tanyaku.
“.. Engh.. Jangan.. Mass.. Sshh.. Main atas aja..” pinta Ayu.
“.. Nggak koq.. Yu.. Mas Cuma mau liat ama jilatin itunya kamu aja.. Mas nggak akan ngapa-apain deh..” rayuku.
Setelah itu Ayu seperti membolehkanku. Terbukti kali ini ia mengangkat sedikit pinggulnya supaya celananya bisa diperosotkan. Aku ambil dua sekaligus celana dalam dan celana luarnya sehingga Ayu langsung telanjang bulat. WOW! Kini tubuh yang selama ini aku idam-idamkan terpampang jelas di depan mata.
“.. Ih.. Mas.. Tapi Mas.. Jangan yah..” pintanya supaya aku juga tidak telanjang.
“.. Lho.. Kenapa sayang..?” tanyaku.
“.. Engh.. Jangan.. Deh..” pintanya lagi sambil kedua tangannya mencoba menutupi bagian paling pribadinya.
“.. Kenapa.. Kamu takut..?” tanyaku.
“.. Engh.. Cukup deh.. Gini aja.. Ayu takut, Mas..” katanya dibalik nafasnya yang menderu.
Aku tahu kalau Ayu masih perawan dan aku juga tak mau merusaknya. Hanya ingin memainkannya saja. Aku perhatikan bentuk tubuh Ayu yang benar-benar indah itu. Buah dada yang bulat dengan puting susu coklat kemerahan mengacung menantangku. Perut yang mulus putih bersih dan kencang. Paling utama bagian dibawah perut yang ditutupi bulu-bulu halus. Dibalik bulu halus itu terdapat bongkahan daging merah dengan celah yang sempit dari situ tersembul seonggok daging kecil seperti kacang merah merekah.
“.. Ayu.. Punya kamu indah.. Banget.. Sayang..” kataku sambil mendekati vaginanya dan langsung mengulumnya..
“.. Oufh.. Sshhtt.. Engh.. Emh.. Sshtt.. Ough..” Ayu melenguh dan mendesah penuh kenikmatan ketika bibirku mengulum bibir vaginanya.
“.. Gimana enak.. Kan sayang..?’ bisikku.
“.. Emh.. Sshtt. Ough.. Sshhtt.. Ough.. Sshhtt.. Ough..” suara desahan itulah yang keluar dari mulut Ayu.
Aku kulum-kulum kelentitnya sambil sesekali lidahku menerobos celah sempit dibawah kelentitnya. Aku julurkan lidahku dalam-dalam hingga lidahku aku merasakan seperti ada yang menghalanginya. Aku semakin yakin kalau Ayu masih benar-benar perawan. Sementara itu cairan putih bening tak henti-hentinya keluar dari kelentitnya membasahi lidah dan bibirku. Aku jilat dan aku hisap lalu aku telan cairan kenikmatan itu seperti halnya aku kehausan.
Cukup lama juga aku menjilati liang vagina itu. Sambil mulutku bermain di liang vaginanya tanganku melepas celana dalamku. Satu-satunya kain penutup tubuhku yang menutupi batang penisku. Tanpa sepengetahuannya aku berhasil melepas celana dalamku. Kini tubuhku dan tubuh Ayu sama-sama polos dan telanjang bulat. Kali ini tinggal Ayu saja yang menentukan apakah boleh atau tidak batang penisku yang sudah panjang dan keras untuk menerobos liang vaginanya.
Tak lama kemudian nafas Ayu semakin cepat dan mulutnya meracau seperti ingin menjerit.
“.. Auwfh.. Sshtt.. Engh.. Emh.. Augh.. Enaxx.. Mmasshh.. Sshtt.. Ough..” begitu erangnya dan kali ini aku tahu kalau Ayu sedikit lagi akan mencapai orgasme.
Disini aku atur siasat. Aku hentikan jilatan dan kulumanku ke liang vagina Ayu hingga Ayu hampir sadar. Wajahnya yang tadi merekah kini perlahan-lahan kembali normal. Ada sedikit kekecewaan diwajah Ayu.
“.. Ayu.. Sayang.. Kamu mau.. Kan..?” tanyaku.
“.. Mas.. Engh.. Ayo dong..” begitu pinta Ayu ditengah-tengah desahan nafasnya yang tersengal.
“.. Iya.. Sayang.. Tapi kamu mau.. Nggak..?” tanyaku lagi.
“.. Iya deh.. Mas.. Ayu mau apa aja yang Mas suruh.. Tapi..” aku melihat Ayu seperti mengiba padaku.
“.. Oke.. Deh.. Punya.. Mas.. Boleh kan dimasukin..?” tanyaku.
“.. Iya.. He.. Eh.. Egh.. Ayo.. Dong..” Ayu meminta padaku.
“.. Ayo.. Apa.. Ayo.. Apa.. Sayang..” tanyaku pura-pura.
“.. Ayu mau yang tadi..” pinta Ayu.
“.. Yang tadi.. Yang mana..?” tanyaku pura-pura.
“.. Engh..” Ayu meminta dengan manja sambil menjambak rambutku dan mengarahkan pada liang vaginanya.
“.. Yang ini sayang.. Emgh.” aku teruskan lagi jilatanku..
“.. Iyah.. Ough.. Emh.. Yesshh.. Ough. Emh.. Sshhtt.. Oufh.. Sshhtt.. Oughh..” begitu desah Ayu menimpali jilatanku hingga Ayu hampir orgasme lagi dan..
“.. Ayu.. Mas.. Boleh yah.. Masukin..” tanyaku sambil batang kontolku sudah menunggu dibibir vaginanya.
“.. Emggh..” Ayu mendesah sambil matanya terpejam dan siap menerima batang kontolku.
“.. Boleh.. Nggak sayang.. Emh..?” tanyaku sambil memainkan batang kontolku dibibir vaginanya .
“..” Ayu terdiam namun ia sediki mengangkat pinggulnya dan aku langsung siap mencobloskan batang penisku yang sudah keras dan panjang ini ke liang vaginanya. Namun baru didorong sedikit batang penisku seperti terpeleset begitu terus menerus hingga..
“.. Augh.. Sshhtt..” Ayu merintih.
“.. Dikit.. Lagi. Yah.. Sayang.. Enaxx.. Koq..” rayuku.
“.. Augh.. Pelan-pelan.. Mas.. Aduh.. Sshhakit..” rintih Ayu aku lihat sedikit airmata dimatanya.
Aku dorong perlahan-lahan batang penisku hingga
“.. SLEB.. SLEB.. BLESS!!” batang penisku berhasil amblas ke liang vagina Ayu.
Aku diamkan sesaat batang penisku didalam liang vagina Ayu. Aku biarkan otot-otot vagina Ayu supaya terbiasa dulu dengan batang penisku yang baru saja menerobos liang vaginanya. Batang penis yang selama ini belum pernah menerobos liang vagina Ayu kini merintih.
“.. Sshhtt.. Auh.. Sshhtt.. Sakit.. Mas.” aku lihat sedikit airmata dimata Ayu.
“.. Iya.. Sayang.. Aku tahu.. Sebentar lagi enak koq.. Yah..” kataku sambil mengulum bibirnya.
Setelah itu aku liukkan perlahan-lahan pinggulku untuk memainkan batang penisku didalam liang vagina Ayu. Ayu yang tadi merintih kesakitan kini kembali mendesah penuh kenikmatan.
“.. Oufh.. Sshhtt.. Engh.. Emh.. Sshtt.. Ough..” begitu suara desahan Ayu mengiringi liukan dan terjangan batang penisku
“.. Ouh.. Yu.. Kamu enaxx.. Banget.. Yu.. Egh..” kataku memuji-mujinya.
Posisi tubuh kami aku atur. Kaki Ayu aku lingkarkan dipinggulku dan kedua kakiku terlipat supaya batang penisku benar-benar pada posisi yang enak diliang vagina Ayu. Permainan ini terus berlangsung hingga dua puluh menit kemudian.
“.. Ough.. Eghh.. Ough.. Ough.. Egh.. Emh.. Sshhtt.. Ough.. Shhtt.. Ouggh.. Sshtt.. Ough..” mulut Ayu mendesah-desah penuh kenikmatan sambil meracau.
“.. Masshhtt.. Augh.. Enaxx.. Banget.. Mmhh.. Sshhtt.. Oughh.. Sshhtt.. Ough.. Shhtt.. Ough..” tangan Ayu memeluk punggungku erat-erat sambil kedua kakinya mencengkram erat-erat pinggangku. Ayu sebentar lagi orgasme.
“.. Tenang.. Sayang.. Aku juga bentar lagi.. Koq..” kataku sambil mempercepat liukkan pinggulku dan akhirnya..
“.. Augh.. Augh.. Aarghh.. Emh.. Emh.. Ouh..” Ayu mengerang panjang dan diakhiri dengan desahan-desahan lambat. Aku rasakan otot-otot divaginanya berdenyut-denyut seperti menyedot batang penisku. Diperlakukan begitu, batang penisku jadi terasa berdenyut-denyut akan ada yang keluar lalu tak lama kemudian.
“.. Oooh.. Ayuu.. Enaxx..” kataku sambil diikuti dengan semburan cairan kenikmatanku menembak dirahimnya.
CROT.. CROT.. CROTT..! batang penisku menyemprotkan cairan sperma penuh kenikmatan. Aku merasakan denyutan-denyutan yang dahsyat dibatang penisku. Setelah itu bibir kami berpagutan sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan orgasme yang kami rasakan. Perlahan Ayu mengendorkan cengkeramannya dan kembali rileks.
“.. Makasih banget yah, Yu.. Kamu mau begini sama aku..” kataku sambil membelai rambutnya.
“.. He-eh.. Makasih juga yah, Mas.. Ayu enggak sia-sia kehilangan keperawanan kalau seenak ini..” kata Ayu yang membuatku kaget.
“.. Jadi kamu nggak nyesel..?” tanyaku.
“.. Nggak.. Eh.. Malah.. Ayu jadi ingin dan ingin terus beginian sama.. Mas..” sahutnya blak-blakan.
“.. Eh.. Bagus deh..” kataku sambil menariknya ke pangkuanku dan kami kembali berciuman.
Lalu setelah cukup terangsang aku dan Ayu kembali bersenggama dengan berbagai posisi. Hari itu tak kurang dari empat kali kami bersenggama di kamar hingga siangnya kami sama-sama kelelahan lalu tertidur. Sorenya setelah bangun dari tidur kami mandi berdua dan masih melakukannya di kamar mandi.
Setelah kejadian itu aku dan Ayu masih melakukannya jika ada kesempatan hingga setahun kemudian. Ayu pindah ke daerah untuk kuliah. Hingga detik ini aku tak tahu bagaimana kabarnya ia sekarang ini.
Tamat