Lembar baru yang pahit

Benarlah kata orang kalau sesungguhnya kenangan itu suatu hal yang sangat mengesankan boleh dibilang suatu pengalaman yang tak terlupakan terlebih lagi kalau pengalaman itu bisa terulang kembali tapi, apakah itu selalu benar?, ternyata tidak selamanya seperti itulah yang aku alami. Jauh dari lubuk hatiku aku sangat tersiksa kubuang jauh-jauh kenangan itu kucoba membuka lembaran baru tapi apa dayaku ternyata kenangan itu bisa melahirkan lembaran baru yang pahit.

Kenangan bersama pamanku (baca: Bercinta Dengan Paman Sendiri) benar-benar suatu pengalaman yang takkan terlupakan, tapi setelah saya beranjak dewasa, saya merasa saatnya saya untuk mengubur kenangan itu dan usaha saya boleh dibilang hampir berhasil setelah melewati masa SMP dan SMU saya hampir yakin kalau saya bukanlah orang yang termasuk dalam kaum minoritas itu, boleh dibilang di masa yang kritis itu begitu banyak godaan yang bisa saja menjerumuskan saya setiap saat, tapi keinginan yang bulat untuk melepaskan diri dari jati diri yang semu ini menjadi benteng penghalang semua rintangan tersebut.

Saya juga sempat berpacaran dengan beberapa gadis sebagai usaha untuk melepaskanku dari belenggu jiwa yang selama ini terus membayangiku, kenangan itu benar-benar melekat kuat ibaratnya akar yang telah menyatu dengan batang pohonnya sehingga semua hubunganku yang sempat saya bina itu semuanya berakhir dengan perpisahan, kendati demikian aku tidak pernah menyerah kemauanku sangat keras berbagai macam usaha yang saya lakukan sampai akhirnya aku menyerah juga dan jatuh kepelukan seseorang yang baru saja kukenal dan disitulah aku baru menemukan kalau diriku sesungguhnya adalah bagian dari kaum minoritas itu.

Di kampus saya orangnya supel dalam bergaul hanya saja saya sedikit pilih-pilih apabila mencari teman soalnya saya mencari orang-orang yang baik tapi saya tidak melihat dari segi status, apakah mereka miskin atau kaya yang penting anaknya easy going aja udah cukup. Teman-teman juga senang kepada saya katanya saya ini orangnya menyenangkan dan keberadaan saya seperti itu sangat saya nikmati tanpa ada beban.

Hari itu benar-benar melelahkan, jadwal kuliah padat banget, belum lagi istirahat pada malam harinya harus berkurang karena tugas-tugas dari dosen, mau gimana lagi sebagai mahasiswa yang ingin berhasil semuanya harus diikuti dengan kesabaran hati apalagi saya ini masih berstatus mahasiswa baru saat itu. Tak jarang saya harus nginap di rumah teman apabila ada tugas maklum saya terbiasa dengan kerja kelompok selain hasilnya lebih bagus kadang banyak ide yang muncul apalagi kalau belajarnya bareng asal jangan ngerumpi aja, sekali-kali boleh sih..

Seperti biasa saya ke rumah Andi, saya juga mengajak salah seorang teman saya Ridho, tugas yang diberikan dosen waktu itu sangat sulit makanya aku putuskan untuk mengerjakannya bareng teman-teman. Kami baru selesai mengerjakan tugas itu pukul 23.00. Sebenarnya malam itu saya punya keinginan untuk menginap di rumah Andi, tapi Ridho menolak katanya ini belum terlalu malam terpaksa dech saya pulang malam itu.

Malam itu saya berkeinginan naik taksi dengan alasan malam-malam begini kadang rawan apalagi kalau naik transportasi umum seperti pete-pete (nama transportasi umum di makassar), tapi Ridho berkeinginan lain terpaksa saya mengalah lagi. Akhirnya kami naik pete-pete yang di dalamnya ada beberapa orang saya langsung duduk didekat pintu keluar sedangkan Ridho disebelahku, sejak dari naik mobil tersebut saya merasa ada yang memperhatikan saya, kucoba mencari dari mana datangnya tatapan itu dan astaga tatapan itu tepat dihadapanku, saya jadi salah tingkah sekilas orangnya cukup ganteng, putih, bersih, tubuhnya proporsional tapi aku berusaha mengabaikan pandangan itu maklum bukan dia aja yang pernah memandangku seperti itu banyak juga tapi aku saja yang selalu menghindar maklum saya khan sudah berkomitmen untuk tidak terjebak dalam dunia seperti itu kedengarannya munafik memang tapi itulah kenyataan hidupku yang pernah saya alami.

Karena tatapannya yang sangat serius terhadapku dia tidak sadar kalau temanku Ridho tentu saja keheranan, sambil berbisik Ridho berkata, “Chris, kamu gak sadar yach, kalau orang itu dari tadi memperhatikanmu”.
“Iya, gak tau nich, mudah-mudahan bukan orang jahat aja” bisikku pelan.

Meskipun aku tau sebenarnya jenis tatapan itu namun aku tidak mau Ridho berkomentar macam-macam. Rumah Ridho tidak begitu jauh dari rumah Andi hanya makan waktu beberapa menit saja.

“Aku duluan Chris, hati-hati yach” kali ini Ridho tidak berbisik seperti sengaja ingin memperdengarkan orang tadi bahwa gelagatnya udah diketahui. Aku hanya tersenyum memandangi temanku turun dari pete-pete.
“Saya yang bayar pak!” potongku sebelum Ridho mengeluarkan uang dari kantongnya.
“Makasich Chris!” teriak ridho karena mobil sudah jalan.

Aku memberanikan diri lagi kucoba mencuri pandang dan ternyata sorot mata itu seolah-olah ingin menelanku hidup-hidup ketika mataku beradu pandangan dengan matanya sebaris gigi putih tampak dari bibir yang tersenyum merona khas warna bibir yang segar, segera kubuang jauh-jauh wajahku seolah-olah aku kelihatan kesal dengan baru saja yang diperbuat aku memperhatikan sekelilingku takut kejadian tadi ada yang melihat, supir asyik menjalankan mobilnya dengan santai sedangkan seorang bapak tertidur di pojok belakang mobil, “Untunglah” gumamku dalam hati.

Sekitar 20 menit mobil itu melaju akhirnya sampailah aku di depan tempat kostku, segera saja kubayar lalu meninggalkan pria tersebut yang tak henti-hentinya memandangiku. Aku mencoba meraba kantong celanaku untuk mencari kunci rumah, di tempat kostku setiap penghuni punya 2 kunci yakni kunci rumah dan kunci kamar masing-masing dan kami juga tidak terikat peraturan, yang penting saling mengerti aja satu sama lain.

Alangkah kagetnya aku sebelum melangkahkan kakiku masuk.
“Hai, Chris..”.
Aku benar-benar kaget, segera kutolehkan mukaku dan ohh.. my Godness.
“Ka.. ka.. kamu, mau apa? jawabku terbata-bata. Ternyata pria itu, pria yang dari tadi menperhatikanku di mobil tiba-tiba saja ada di depanku.
“Maaf saya mengagetkanmu, saya hanya ingin berkenalan denganmu”. Masih dengan senyumnya dia mencoba meyakinkan aku kalau dia sebenarnya tidak bermaksud jahat.
“Maaf ini sudah larut malam lain kali aja” tegasku sambil memutar tubuhku untuk masuk ke dalam rumah.
“Ada nomor telpon gak, besok saya telpon” pintanya sopan.
Aku sedikit jengkel juga tapi terpaksa dech saya kasih, kali ini saya benar-benar memutar tubuh dan melangkahkan kakiku masuk ke rumah saya tidak lagi memperhatikannya pintupun kukunci.

Aku tidak langsung masuk ke kamar, aku ke ruang tamu nonton TV, bayangan orang itu benar-benar tidak bisa hilang dari ingatanku, kalau dipikir-pikir sebenarnya aku senang juga tapi kembali aku mengingatkan diriku untuk berhati-hati. Semalaman aku tidak bisa tidur perasaanku berkecamuk untunglah besoknya tidak ada ujian dari dosen jadi aku tidak kelabakan jadinya.

Besok malamnya pesawat telepon berdering tak terpikir olehku kalau yang menelpon dia. “Chris ada telpon” teriak Mas Anto salah seorang teman kostku yang sudah kerja, kebetulan yang kost di sana semuanya adalah orang kantoran kecuali aku yang masih berstatus mahasiswa dan boleh dibilang yang paling muda diantara mereka.

“Aku Adi yang tadi malam ketemu di pete-pete” katanya sopan.
“Oh kamu, ada apa!” jawabku ketus.
“Chris aku mau bilang sejak pertama aku melihatmu, aku tidak bisa membohongi kata hatiku kalau aku suka banget ama kamu. A.. aku cinta kamu Chris”.

Aku tidak bisa berkata apa-apa selain menutup telpon tersebut, sampai-sampai Mas Anto terheran-heran melihat tingkahku tapi dia tidak berkomentar atas peristiwa tersebut sambil tetap membaca koran di ruang tamu.

Semenjak itu dia sering mengunjungiku hampir tiga kali seminggu juga menelpon tapi kadang aku masih cuek aja kepadanya kadang perkatannya saya balas dengan nada mengumpet dengan maksud menyuruh dia agar cepat angkat kaki dari kamar saya, tapi dia ternyata tipe orang yang tidak cepat marah kelihatannya orangnya sangat sabar. Pernah suatu kali saya marah dan jengkel sama dia, saya mengeluarkan kata-kata yang sedikit kasar dan disertai ancaman, sejak saat itulah komunikasi antara aku dan dia terputus sudah hampir seminggu tidak ada kabar dan telpon darinya. Sekali lagi aku tidak bisa membohongi kata hatiku kalau sebenarnya aku senang bisa berada di sisinya hanya aja aku ingat komitmenku makanya sebisa mungkin saya menghindar darinya.

Sampai suatu malam dia menelponku katanya dia minta maaf, dia kangen sama aku, takut dia pergi untuk kedua kalinya akupun memaafkannya. Seperti biasanya dia datang ke tempat kostku kadang membawa sesuatu untuk cemilan, tapi malam ini dia datang dengan sedikit beda dibanding biasanya. Dia datang dengan sebuah kado dan dandanan yang sedikit lebih rapi seperti mau ngedate aja. Malam itu dia mengutarakan semua isi hatinya kepadaku, alunan musik romantis dari sebuah tape membuat kami sepertinya sedang berkencang beneran. Sedikit demi sedikit gelagatnya makin aneh, semakin genit saja, pandangannya tajam menembus mataku. Aku berusaha menghindar dari pandangannya tapi tetap saja dia lakukan.

“Apa-apaan sich kamu” tanyaku ketus. Padahal dalam hatiku sebenarnya aku senang karena aku dimanjain hanya saja saya tidak terbiasa dengan sesama jenis jadi saya kelihatan malu-malu. Umur Mas Adi memang sedikit jauh diatas saya yakni 30 tahun sedang saya waktu itu 18 tahun, dia bersifat dewasa sedang aku kadang kekanak-kanakan.
“Enggak kok, aku cuma liatin kamu enggak boleh yach” rayunya sambil membelai pipiku.
“Dasar bodoh” jawabku tegas lalu menjauh darinya.

Saya berbaring di tempat tidur sambil memasang walkman dengan volume yang kencang dengan maksud dia tidak mengoceh lagi karena percuma dia ngoceh, toh aku juga tidak dengar. Mas Adi bener-bener gila semakin aku menolak semakin liar dia, kali ini dia menerjangku sambil mencipok pipiku karuan aja aku marah segera kutendang dia hingga hampir jatuh dari tempat tidur. Edan Mas Adi hanya tersenyum kali ini dia lebih gila masih di atas tempat tidur dengan posisi berdiri dia membuka bajunya satu persatu sehingga tampaklah dada yang bidang dan perut yang terbentuk sangat atletis. Aku menelan air liurku menyaksikan pemandangan yang indah itu bagaimana tidak sosok Adi didepanku dalam keadaan hampir telanjang, tinggal sebuah underpants saja berwarna putih itupun jelas terlihat adiknya yang meronta ingin keluar. Sejenak aku terdiam dadaku berdegup nafasku mulai tak beraturan, benar virus birahi itu telah menghinggapiku.

Kali ini dia menerjangku kedua tanganyanya telah mengantisipasi kedua tanganku begitupula kakinya agar nantinya aku tidak meronta, aku tetap berusaha meronta ukuran tubuhku memang tidak sebanding dengan dia, aku orangnya sedikit mungil, bibirnya langsung mendarat di bibirku kakiku ikut meronta, namun setelah lidahnya menyapu semua rongga mulutku aku mulai menikmatinya akhirnya aku pasrah akupun mulai menikmati mengikuti hasrat seksku yang meronta-ronta untuk disalurkan terhadap sesama jenis setelah kenangan dengan pamanku kucoba untuk kuhapus.

Sambil melumat bibirku tangannya yang lain mulai membuka bajuku dan kini ciumannya turun dan menjalar ke daerah leherku, Mas Adi menyedot leherku dalam-dalam sehingga menimbulkan tanda merah dileherku segera aja kugampar kepalanya.
“Jangan dikasi tanda” gerutuku tidak jelas.
“Sorry” jawabnya berbisik.

Nafas Mas Adi semakin memburu kini lidahnya menari nari di atas dadaku mencari kedua bukit kecilku dan ketika ujung lidahnya menyentuh puting susuku, aku mendesah hebat, Mas Adi benar-benar sangat berpengalaman. Mas Adi menghentikan jilatannya kali ini dia menatapku sambil berkata “Kubuka yach” sambil melirik ke celanaku.

“Jangan” segera kusambut pernyataan itu sembari menggelengkan kepalaku, aku memang tidak ingin berbuat terlalu jauh. Mas Adi sepertinya tidak memperhatikanku dipelorotinya celana panjangku dengan paksa, aku tidak bisa berbuat apa-apa aku cuma pasrah. Kembali lidahnya menari diatas gundukanku yang masih terbalut sebuah underpants biru kali ini giginya juga ikut andil dengan menggigit kecil penisku, aku cuma bisa menutup mata anganku melayang sedang kedua tanganku meremas ujung bantal dibawah kepalaku.

Tangannya merogoh masuk ke dalam CD-ku diraihnya penisku yang sudah tegang dari tadi akibat pasokan aliran darah yang mengalir cepat lalu dipelorotinya juga celana dalamku sehingga aku kini benar-benar dalam keadaan bugil.

“Nice dick” katanya sambil tersenyum sembari tangannya mengocok penisku. Aku tidak tahan segera kujambak rambutnya lalu kuarahkan kepalanya ke arah rudalku yang siap melesat, rudal tersebutpun amblas dalam rongga mulutnya, sedotannya, jilatannya, emutannya benar-benar membuatku bergelinjangan kini mulutnya naik turun dipenisku, sensasi yang kurasakan tiada terkira sejenak aku teringat kenangan itu, yach benar kenangan itu terulang lagi, sangat indah, aku benar-benar lupa dengan komitmenku. Akupun tak membuang kesempatan tanganku juga mencari penis Mas Adi yang dari tadi membengkak dibantu dengan goyangan pinggul Mas Adi celana dalam itupun lorot, kupegang dan kukocok benda yang lumayan besar itu.

Mulutnya kini menyisiri batang kemaluanku dijilatnya dengan lembut hampir tiap gerakan yang diberikan mulai terasa kelembutannya beda dengan awalnya yang sedikit kasar hal ini dimungkinkan karena aku juga sudah meresponnya dengan senang hati, tak lupa jambutnya pun juga dijilatinya lalu turun ke testisku, ahh sapuan lidahnya membuatku berdesah sambut menyambut, tangan kanannya masih mengocok batang penisku sedang tangan satunya berusaha membelah bongkahan pantatku mencari lubang keperjakaanku untuk di rangsangnya.

“Achh, Mas Adi aku mau keluar”
“Ok sayang, aku menantinya kok” jawabnya sembari mempercepat kocokannya dan membuka lebar-lebar mulutnya agar spermaku bisa masuk ke dalam rongga mulutnya dan “Crot.. crot.. crot” aku memekik tertahan, muncratlah lava putihku tepat masuk ke dalam kerongkongan Mas Adi. Mas Adi segera mengubah posisinya sekarang kami dalam posisi 69, Mas Adi menjilati penisku dengan sisa-sia spermanya sedang saya menghisap penis Mas Adi.

Aku mulai sedikit lemas, lalu Mas Adi mengubah posisi lagi kali ini dia menyuruhku menjepit penisnya dengan kedua selangkangan pahaku sambil mulutnya melumat habis mulutku, pinggulnya naik turun awalnya pelan sering dengan irama nafasnya yang semakin cepat genjotannyapun semakin dipercepat dan..

“Achh.. yeahh.. ahh” Mas Adi mendesah lalu disusul semburan lava putih membasahi dadaku sedang sisanya berceceran didaerah penisku. Mas Adi menjilati spermanya sendiri yang ada di atas dadaku dan kembali aku merasakan sensasi yang hebat saat lidahnya bermain menghisap sperma yang ada di daerah penisku. Mas Adipun terkulai lemas.
Masih dalam keadaan bugil ia mengambil kado yang tadi diletakkan di atas meja lalu membukanya, isinya sebuah kalung perak yang berlionting tanda cinta itu, kemudian berbisik pelan, “Aku mencintaimu” sambil mengecup keningku.
Aku terdiam tak terasa air mataku menetes aku senang tapi aku juga sedih karena aku telah membuktikan diriku bahwa aku bukanlah lelaki normal aku telah melanggar komitmentku.
“Ada apa, kok kamu menangis?” tanya Mas Adi.
Aku hanya tersenyum sambil memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya. Aku merasa bersalah malam itu tapi aku juga senang.

Hubunganku dengan Mas Adi tidak berlangsung lama karena belakangan aku tau kalau ternyata Mas Adi bukanlah sebuah karyawan sebuah bank tapi Mas Adi bekerja sebagai pemuas nafsu sesama laki-laki untuk itu tentunya dia dapat bayaran sejumlah uang sebagai imbalannya. Kenyataan itu sungguh pahit buatku aku membayangkan kalau hampir tiap malam dia melakukannya dengan sejumlah pria, padahal aku menginginkan sebuah hubungan yang berkelanjutan dan harmonis. Akhirnya akupun pisah sebelumnya aku telah memberinya kesempatan untuk meninggalkan pekerjaan dan menawarinya kerja disebuah perusahaan pamanku tidak besar sich tapi kebetulan saat itu pamanku butuh tenaga kerja yang bisa membantunya dalam bidang pembukuan dan saya tahu betul kalo Mas Adi punya kemampuan dalam hal itu tapi ternyata Mas Adi lebih memilih pekerjaannya itu, meskipun berkali-kali dia bilang mencintaiku dan hatinya hanya untukku tapi aku tetap tidak bisa melanjutkan hubungan itu. Di saat aku ingin memulai lembaran baru ternyata kepahitan juga yang kudapatkan.

Penyesalan selalu datang terlambat, tapi mau apa lagi. Aku sendiri yang mulai bermain api akhirnya aku terbakar juga begitulah barangkali ungkapan yang cocok untukku atau ibarat sudah jatuh tertimpa tangga lagi, sudah jatuh ke dunia hitam itu patah hati lagi. Aku sudah tidak bisa bohong lagi aku adalah salah satu kaum minoritas itu kaum gay yang selama ini selalu menghantuiku kini benar sudah. Aku hanya berharap di kemudian hari aku bisa bertemu dengan orang yang lebih memahami diriku dan aku juga berharap agar pintu hatiku masih bisa terketuk sehingga aku tidak larut dalam kebimbangan yang menciptakan jalan yang bercabang dan menuntunku ke cabang yang benar.

Tamat

Aku dan sopir-sopir truk – 2

Orang itu turun dari mobil dan menutup pintu, tak lama kudengar suara mesin mobil dan mobil kami juga jalan. Aku tetap menghisap-hisap kontol luhut yang semakin banjir cairan bening. Tak lama mobil kembali berhenti

“Kita turun yuk?”

Kami turun dan saat itu bisa kulihat figur Luhut dengan jelas. Ia cukup tinggi sekitar 165cm dan agak gemuk, celananya sama sekali tidak dinaikkan dan kontolnya yang ngaceng masih teracung-acung di luar.

“Lama sekali si Beni ini,” ujar Luhut. Nama supir truk itu rupanya Beni, dan sekarang dia turun dia hanya memakai celana dalam biru tua yang terlihat kendor dan membawa sarung.
“Cepatlah kau Ben, pejuhku kayaknya sudah mau nyemprot,”
“Sabar hut,”

Beni kemudian menggelar sarung di rerumputan dan aku mulai menelanjangi diriku. Dengan tinggi 175cman dan berat 68Kg, meski tidak terlalu berotot rasanya tubuhku cukup menggoda, apalagi aku berkulit putih mulus.

Sekarang aku berbaring telentang di sarung dan kutarik kontol Luhut yang kemudian berlutut lalu aku jilati lagi bagian kontol bawahnya. Kemudian Beni bergabung dan Beni ini tubuhnya proporsional sekali, badannya berotot, mungkin dia suka mengangkat barang, kulit gelapnya sangat seksi.

Dia nggak tampan, tapi aku sama sekali tidak perduli. Inilah enaknya kontol mereka yang suka di sebut pekerja kasar, mereka nggak penting tampang yang penting bisa puas, begitu juga aku, asal ada kontol, nggak perlu pemanasan dan romantisan segala. Asal birahi sudah bergolak bisa dapet rasa enak yang luar biasa.

Saat menatap kontol Beni aku kaget, kontol itu tak lebih dari 14cm, tapi diameternya sangat besar. Aku tangkap kontol beni dengan tangan kananku dan kudekatkan dengan mulutku. Kurasa mereka laki-laki sejati, karena mereka sama sekali tidak perduli dengan tubuh telanjangku, yang penting buat mereka kontol terasa enak. Aku kemudian berbalik dan kusatukan kepala kontol mereka hingga bersentuhan, lalu secara bergantian aku jilati bagian bawahnya hingga kuisap-isap kuat, bahkan terkadang kedua kepala kontol itu kucoba hisap bersamaan dalam mulutku, tapi kontol Beni yang gemuk membuat masalah.

Seperti Luhut kontol Beni juga tak disunat. Aku tarik kulupnya lalu aku longgarkan dan pelan-pelan aku masukkan kepala kontol Luhut ke dalam kulup Beni yang panjang dan berhasil. Mereka mengerang bersamaan, lalu kedua kontol yang sudah menyatu itu aku kocok-kocok dan kujilat dari kiri ke kanan dan kusesapi seperti aku makan jagung bakar. Mereka terus mengerang enak, dan saat aku tarik kontol luhut, cairan lendir bening menetes dari kedua kontol, entah punya siapa.

“Kau entot aku ya,” pintaku kepada Beni.
“Dimana?” tanyanya bingung.
“Ya di lobang pantatku lah,”
“Nanti sakit,”
“Ah sudah Ben, kau embat sajalah, dia pasti sudah biasa,”kata Luhut yang kuiyakan dengan anggukan.

Beni kemudian berdiri dan berjalan ke belakangku yang sudah dalam posisi menungging, kulihat dia meludahi tangannya lalu ludah itu dipoletin ke kepala kontolnya dan dia menempelkan ujung kepala kontolnya tepat di lobangku. Luhut memperhatikan apa yang Beni lakukan, sementara tangan kananku terus mengocok kontolnya. Beni menekan kontolnya dan aku merasakan lobangku terkuak pelan-pelan. Agak susah juga karena kontol Beni memang sangat gemuk, tapi dia nggak menyerah meski sudah keringetan.

“Gila sempit kali lobang kau,” ujarnya.

Kali ini dia menekan agak kuat dan aku berusaha serileks mungkin menghadapinya. Sedikit demi sedikit kepala kontolnya mulai masuk seiring rasa sakit yang juga mulai kurasakan.

Bless.. Tiba-tiba kepala kontol itu berhasil masuk, dan aku mengerang keras karena rasanya cukup sakit. Kurasa Beni tidak pengalaman dengan laki-laki sehingga dia pikir lobangku sama saja dengan memek lonte yang pernah dientotnya. Dia terus membenamkan batang kontolnya dan aku mengerang-erang sampai akhirnya seluruh batang kontol dia amblas. Aku bernafas lega dan Beni mulai memompa lobangku, aku yang mulai terbiasa juga mulai mengimbangi gerakannya.

Sambil tubuhku bergoyang-goyang akibat hantaman kontol Beni di belakang aku menjilat peler Luhut bagian bawah dan kuputar-putar lidahku di daerah itu. Enak sekali rasanya.

Sekarang kontol Luhut sudah tenggelam dalam mulutku yang lincah memainkan lidah di dalamnya sehingga batangnya tetap terjilat. Terkadang aku sedikit tersedak juga saat Luhut dengan cepat membenamkan seluruh batangnya di mulutku dan hidungku juga terasa geli karena seluruh jembutnya terasa menggelitik. Dia menekan agak lama baru dilepaskan lagi.

“Yang kuat Mas, cepet entot yang kuat.. argghh.. enakk.. shh .. ahh,” ujarku.

Beni semakin semangat, dia semakin mempercepat temponya dan terus memompa dengan liar sampai biji-biji pelernya terasa menampar-nampar paha belakangku. Seluruh batang kontol Beni tenggelam dan ia tidak menariknya, diputar-putar pinggulnya sehingga menimbulkan rasa ngilu yang sangat nikmat di lobangku, apalagi jembut-jembutnya juga terasa menggelitiki kulit pantatku. Lagi ia menarik batangnya dan berteriak-teriak keenakan..

“Argghh.. setan kau.. setan kau.. enakk.. argghh..” racaunya.

Aku merasakan desah nafas yang semakin berat dari Luhut, dan aku khawatir dia keluar sebelum sempat mengentot lobangku, jadi keluarkan kontolnya dari mulutku.

“Jangan keluar dulu, entot dulu lobangku,” kataku ke Luhut. Luhut mengangguk dan ia memperhatikan Beni yang masih memompaku.
“Jangan keluar dilobang ya, keluarkan di mulut aja, mau ku hisap dan kultelen habis pejuh supir batak,” ujarku.
“Lepas aja Ben, biar ku entot dia, kau keluarin saja pejuh kau dimulutnya,” ujar Luhut.

Tiba-tiba kurasakan sangat kosong saat Beni menarik kontolnya dan aku berbaring telentang dengan kontolku mencuat ke atas tegang sekali seperti monas. Kurengkankan pahaku lebar-lebar, lalu aku minta Luhut dengan posisi yang sama untuk mengentotku.

Kami sama-sama telentang dan karena lobangku sudah terbuka lebar oleh kontol Beni, dengan mudah kontol Luhut masuk. Tidak banyak gerakan yang bisa dilakukan dengan posisi ini. Kedua kaki Luhut berada disamping bahuku dan Luhut menghunjam-hujamkan kontolnya dengan sesekali memutar pinggulnya, enak sekali.

Kini giliran Beni menghajar mulutku, dia kangkangi tubuhku lalu tepat di atas wahku dia sorongkan kontol gedenya ke mulutku dan segera aku hisap sementara aku tangan kiriku mengocok kontolku sendiri. Beni terus menerus memompa mulutku yang menjadi sedikit lelah karena terbuka begitu lebar karena kontol Beni begitu besar. Belum lagi Luhut semakin garang di bawah. Aku tahan lagi.. Aku mengerang dan mengejan sejadi-jadinya..

“ARgghh..” teriakku, lalu Croott.. crott.. crott.. crott.. Berkali-kali pejuhku muncrat dan entah mendarat dimana, aku menggelepar seperti ikan kehabisan nafas, nikmatnya tiada tara.

Bersamaan dengan itu Beni membenamkan kontolnya dan aku sedikit tercekok saat tiba-tiba pejuhnya menyemprot langsung ke dalam tenggorokanku, seketika aku reflek dan mengeluarkan kontolnya yang masih menyemprotkan pejuh dan kemudian meleleh dari lobang kencingnya. Karena ejanganku tadi, otomatis membuat lobang pantatku mengkerut sehingga mencekik batang kontol Luhut sehingga dia juga mengerang keras, dan kurasakan semburan hangat di lobangku.

“Sini Mas, kesinikan kontolnya, aku pengen ngerasain pejuhnya,” ujarku kepada Luhut yang kemudian mencabut kontolnya dan berjalan ke arahku.

Sementara Beni mengelap-elap sisa pejuhnya di bibirku dan sesekali masih mengalir pejuh dari lobangnya yang aku jilat habis. Kini giliran kontol Luhut menempel di bibirku, dan kembali lidahku bergerilya menyapu sampai habis pejuhnya yang belepotan di kepala kontolnya sendiri.

Kami semua terbaring bugil bertiga di sarung yang tidak muat untuk kami berbaring. Setelah mengelap sisa-sisa pejuh, kami berangkat lagi dan aku diantarkan ke tempat tujuanku. Enaknya pejuh supir batak, nggak perlu ada romantisan, nggak perduli tampang, yang penting punya kontol, maennya enak, puass!

Gue tunggu kontol-kontol lo semua, gendut, kurus, jelek, ganteng yang penting kontol lo berisi pejuh untuk muncrat di dalem mulut gue. Ahh, sedep! Ada lagi yang pejuhnya pengen gue sedot abis?

Tamat

Kembalilah kasih

Saat awal masuk kuliah di PTN di Surabaya hari-hariku penuh dengan kebahagiaan dengan hadirnya kawan-kawan baru. Mereka semuanya familer, bersahabat dan kompak, hampir setiap kegiatan mahasiswa baru, kami ikuti bersama dengan penuh semangat. Satu persatu dari mereka mulai kukenal, sehingga tak satupun dari rekan selokal yang tak kukenal baik itu cowok atau cewek. Kami semua sering sekali mengerjakan tugas bareng-bareng, hampir-hampir tak ada salah satu dari kami yang egois atau mau hidup sendiri. Karena itu aku kerasan kuliah disini.

Setelah berjalan hampir satu semester, aku punya teman dekat. Namanya Rangga, ia berasal dari Bandung. Rangga adalah salah satu teman yang paling dekat denganku dari pada teman yang lain, anaknya baik, agak pemalu, tapi suka humor kalo denganku, ia sangat perhatian kepadaku, bahkan tidak jarang ia mengantar jemput aku ke kampus. Semakin lama ia semakin baik padaku hingga aku sulit untuk menghindarinya. Ia seringkali mampir ke tempat kostku mulai pulang kuliah sampai malam hanya untuk ngobrol, bergurau, dan saling curhat, sehingga aku tahu siapa dia, tapi dia tidak tahu siapa sebenarnya saya. Setiap kali aku punya masalah kuceritan padanya, ia selalu memberikan jalan keluar yang bijaksana. Karena itu aku memanggilnya dengan kata ‘Mas’, ia tidak keberatan, bahkan ia juga memanggilku dengan sebutan ‘Adik atau Dik’. Hatiku serasa berbunga -bunga tatkala ia memanggilku dengan kata itu.

Aku menikmati hari-hariku bersamanya, kamana-mana aku selalu jalan bareng dengannya. Jika liburan atau malam minggu kami menyempatkan keliling kota, ke toko buku, ke mall, ke tempat rekreasi, ke warnet dan ke tempat kost teman-teman. Sampai-sampai teman-temanku mengatakan kalo kami serasi banget, kayak adik dan kakak.

Hampir setiap malam Mas Rangga nginap di tempat kostku, jarang sekali ia tidur di tempat kost-nya sendiri. Bahkan ia juga mumutuskan akan pindah ke tempat kostku habis semester ini. Akupun menyambut dengan hati gembira. Entah kenapa aku merasa teduh ada di sampingnya, seakan keberadaannya menghapus semua keresahanku, kebosananku, dan rinduku pada keluargaku.

Setiap kali ia tidur disampingku suasananya biasa-siasa saja meski terkadang ada getaran lain yang menyelinap dalam hatiku apalagi kalau ia merangkulkan kaki dan tangannya yang putih ke atas tubuhku, aku hanya membalasnya dengan pelukan ringan, hanya sekedar menyalurkan kasih sayang, aku berusaha untuk menepis getaran-getaran itu. Jika banar-benar tak tahan aku hanya berani menindihnya dan menatap wajahnya yang ganteng sempurna. Melihat sikapku seperti itu, ia hanya senyum dan merangkul erat tubuhku, sampai bangunpun kadang posisi kami tetap seperti itu. Sungguh ia benar-benar kakak yang aku harapkan, kakak yang mampu menaungiku dengan kasih sayang.

*****

Suatu hari ia bercerita kepadaku bahwa ia jadian dengan seorang cewek. Mendengar cerita itu hatiku hancur tak karuan, seakan ada yang mengoyak perasaanku. Aku juga tak tahu mengapa seperti ini, aku bingung apa sebenarnya yang ada dalam perasaanku. Apakah ini karena aku khawatir ia tidak perhatian lagi padaku? Atau.. ini karena aku merasa memilikinya? Atau, karena aku cemburu? Pertanyaan senada dengan itu mulai memenuhi otakku yang lagi galau. Ia tampak asyik dengan ceritanya, aku hanya menanggapi dengan sikap yang biasa meski perasaanku pedih seakan tersayat pisau.

Sepulang Mas Rangga dari tempat kostku, aku mengunci pintu kamar, kuputar album Padi yang kedua, kurebahkan tubuhku diatas kasur. Aku memikirkan Mas Rangga, tak kusadari cairan bening mulai keluar dari mataku membasahi kedua pipiku, semakin lama semakin menjadi-jadi, aku mulai terisak-isak dan mengeluarkan suara yang agak kutahan. Tubuhku terasa lemas, pikiranku tidak stabil dan..

Aku terbangun saat jarum jam menunjukkan pukul 08.45. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Aku terkejut sewaktu kulihat wajahku di cermin kamar mandi, mataku sembab dan membengkak. Aku mulai meneteskan betiran-butiran jernih kembali ketika aku ingat kejadian semalam. Entah aku tak tahu kenapa aku jadi cengeng seperti ini. Tak pernah aku merasakan duka seberat ini. Air mata yang begitu mahalnya, sekarang begitu saja mengucur dari muaranya. Aku putuskan hari ini aku tidak kuliah.

“Dik! Adik!” Suara dari luar pintu kamarku.
Cepat-cepat kuusap mataku yang sembab, aku bingung apa yang harus aku lakukan, akhirnya kubuka pintu kamarku, ternyata Mas Rangga.
“Dik! kenapa kamu?” Tanya Mas Rangga yang membuat aku semakin tak kuat menahan tangis.
“Nggak..pa-pa kok.., masuk.. Mas..!”Kataku terputus-putus karena isak tangisanku.
“Dik kenapa sih? Ayo dong bilang sama Mas!, Adik sakit ya?”.
“Enggak” Jawabku.
“Kalo gitu kenapa?” Tanyanya lagi.
“Mas! Bisa nggak menemani saya disini!”Pintaku.
“Tentu, pokoknya Adik nggak nangis lagi ya?!, Mas juga sedih kalo Adik nangis kayak gitu”.

Aku hanya menganggukkan kapala, tangisanku mulai reda. Mas Rangga merangkulku layaknya perlakuan seorang kakak pada adiknya. Hatiku terasa teduh dalam dipelukannya. Ia membelai rambutku dan bercerita kesana-kemari untuk menghiburku. Aku merasa Mas Rangga bukan hanya teman terbaikku, tapi sebagai kakak yang paling mengerti dan bisa memperlakukanku pada situasi seperti apapun, ia mampu mendinginkan hatiku, ia berhasil membendung isak tangisku, ucapannya mampu menyirami hatiku yang gersang kasih sayang ini.

“Dik, tahu nggak, tadi di kampus Mas ndak bisa konsen, rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan kelas, dalam pikiranku yang ada hanya kamu, memangnya kenapa sih Adik kok ndak masuk kuliah?” Mas Rangga mulai membujukku untuk mengutarakan masalahku.

Butiran bening mulai runtuh lagi, kini Mas Rangga yang mengusapnya.
“Mas! Selama ini Mas Rangga menganggapku seperti apa sih?” Tanyaku.
“Lho, memangnya kenapa? Selama ini Mas menganggap Adik sebagai adik, bukan teman, makanya Mas nggak rela kalau ada orang yang mengganggu Adik, dan..apapun Mas lakukan untuk Adik” Jawabnya yang membuatku tegar kembali.
“Benar Mas?”.
“Benar, Sungguh.” Ia menatap wajahku penuh kesungguhan.
“Memangnya kanapa? Apa Adik tidak percaya sama Mas?”

“Enggak! Adik hanya khawatir Mas tidak lagi memperhatikanku, tidak menyayangiku dan meninggalkanku begitu saja, sebab sekarang Mas sudah punya kekasih.” Jawabku yang menutupi apa yang senenarnya berkecamuk di hatiku dengan pelan.

“Oo.. jadi itu yang Adik takutkan?” Aku hanya mengangguk.
“Mas nggak seperti itu kok, Mas dan Adik tetap seperti ini, kalo soal dia jangan khawatir, tidak akan mengurangi kasih sayangku sama Adik, sekarang ndak usah nangis ya!” Ujar Mas Rangga.

Hati yang layu sejak kemarin, kini menjadi segar kembali dengan kehadiran Mas Rannga, seseorang yang paling menyayangiku. Ia tak bosan-bosannya menghiburku, seakan tak puas sebelum aku menyunggingkan senyum. Aku tidak hanya senyum tapi malah tertawa dibuatnya. Perasaanku mulai tenang, kekhawatiranku mulai hilang terganti oleh keyakinan pada semua yang diucapkan Mas Rangga. Meski sebenarnya bukan ini yang kuharapkan.

*****

Suatu hari Mas Rangga menghabiskan malam minggu bersamaku, kami jalan-jalan, makan bakso, dan chatting di warnet.

Sepulangnya kami langsung menuju rumah kostku. Di kamar kami saling ngobrol dengan iringan musik Padi. Entah setan apa yang merasuki jiwa kami. Aku mulai merangkul Mas Rangga yang terlentang di sampingku, ia membalas rangkulanku dengan rangkulan pula. Kutindih tubuhnya yang kekar, sementara rangkulan kami semakin erat. Kami saling menggerayangi punggung mulus kami. Mas Rangga melepas kaos yang kukenakan, akupun memperlakukan hal yang sama. Kuciumi mulutnya yang tipis dan merah merekah, hidungnya yang mancung, pipinya yang mulus, dan bagian bawah hidung yang kasar bekas cukuran kumis, aku sangat terangsang dengan permainan ini.

“Mas, nggak pa-pa?” Tanyaku yang hanya di jawab dengan gelengan kepala olehnya.

“Mas! aku sayang sekali sama Mas.”
“Aku juga sayang sama Adek.” Jawabnya sambil meraba-raba punggungku dengan lembut.
Mas Rangga menekan penisnnya yang masih tertutup celana jeansnya keatas. Ia tampak menikmati kuluman bibirku. Kami saling mengenyut bibir dan lidah. Oh! sungguh nikmat

Mas Rangga membalikkan posisi kami sekarang ia yang menindihku. Ia mulai memperlakukan aku layaknya lelaki pada pasangannya, ia mengulum bibirku, mengenyut lidahku, menciumi leher dan pipiku seraya penisnya menekan penisku yang sudah tegang. Aku hanya mampu terengah-engah dan meraba-raba punggungnya. Kuperhatikan wajahnya yang cakep dari bawah, ia tampak memejamkan mata dan sesekali menelan ludah. Tangannya yang putih tetap aktif mengurut pinggang dan punggungku. Mulutnya melahab habis bibirku yang kenyal. Lama sekali kami dengan posisi seperti ini.

Aku terkejut ketika Mas Rangga tiba-tiba menghentian permainan dan turun dari kasur. Aku hanya pasrah dengan tindakan Mas Rangga. Kulihat Mas Rangga yang jenjang itu melepas ikat pinggang dan celana panjangnya. Kini tampaklah tubuh indah yang hanya tertutup CD putih berdiri tegak di hadapanku. Aku pandangi sosok itu lekat-lekat sampai beberapa kali aku menelan ludah. Sekarang dengan jelasnya kupandangi paha putih dan padat yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang membuat aku semakin tak kuasa menahan nafsu. Aku juga semakin penasaran dengan benda yang tumbuh besar di balik CD putihnya. Ingin sekali kucium da kumainkan sampai keluar sarinya.

Setelah berhasil melepas celananya ia naik kembali ke atas ranjang yang kutiduri. Tubuh kekar dan mulus kini ada di atasku dan siap memberi kehangatan dan kenikmatan yang tiada tara.

Mas Rangga mulai menyusuri bagian leherku, ia jilati seluruhnya, ia sedot sampai membekas.
“Mas.. enak Mas..” Erangku.
Ia lanjutkan jilatannya ke dadaku, keputing susuku, dan keperutku sambil tangannya ikut memberikan rangsanan dengan lembut di bagian yang lain. Kakiku hanya bisa menjepit pinggulnya yang temol itu dan tanganku meremas-remas rambutnya. Tak lama kemudian Mas Rangga melepas celanaku yang masih menutupi tubuh bagian bawahku. Ia merasa kenikmatannya terhalang karena celanaku. Ia lempar celanaku ke lantai dan ia teruskan kembali serangaanya. Mas Rangga menggoda penisku yang menegang dengan menciumi dari luar CD ku.
“Akh..” Aku mengerang keras dan menggelinjang.

Mas Rangga hanya tersenyum. Kemudian ia mengangkat bahuku ke tepi ranjang dan mengganjal bahuku dengan 2 bantal sehingga posisikku setengan duduk. Ia kini berlutut di hadapanku dengan CD pas dihadapan kepalaku ia menyodorkan penisnya ke mulutku. Aku perhatikan wajahnya yang kemudian memberikan isyarat agar aku memberikan kenikmatan pada penisnya. Awalnya kuciumi penisnya dari balik CD, kuhirup bau CD nya yang khas kemaskulinannya. Lalu kumasukkan jari-jariku ke dalam CD untuk merengkuh batang yang selama ini hanya ada dalam lamunanku. Kupelorotkan CD putihnya dengan pelan, penis putih, panjang dan besar yang dikelilingi bulu tebal telah keluar dari sarangnya, dan langsung kusambut dengan ciuman. Kujilati kepala penisnya yang agak merah itu sambil kuremas-remas buah pelirnya.
“Akh.. seth.. akh.. Enak Dik..”, Ia mendesah-desah kenikmatan

Karena gemes langsung saja kumasukkam batang kemaluannya ke mulutku. Kusedot-sedot dengan pelan sesekali kukocok dengan mulutku. Ia tampak menunduk dan memejamkan mata menikmati kulumanku ini. Kurangkul pantatnya yang bergerak maju mundur dari mulutku sampai tak bisa bergerak lagi, kunikmati penisnya di dalam mulutku dengan menggerakkan lidahku di pucuk dan sekeliling penisnya. Selang beberapa menit, tampaknya ia tak kuat dengan model permainanku ini, ia menekan penisnya dengan paksa sambil melepas sperma kental kemulutku. “Croott..crott..cruuoott”. Karena banyaknya sampai tumpah sedikit kedadaku. Kutelan sperma yang ada dimulutku. Mas Rangga merosot dan merangkul erat tubuhku menikmati sisa-sisa ejakulasi. Kemudian ia menggesekkan dadanya ke dadaku dengan pelicin spermanya sendiri yang ada di dadaku.
“Eh.. Enak.. Mas Rangga..”, Desahku.

“Dek sekarang giliranmu ” Ucapnya.
Aku hanya mengangguk. Lalu Mas Rangga turun mencari batang kemaluanku. Ia lepaskan CD ku dan ia kulum penisku. Aku merasakan kenikmatan yang tiada pernah kurasakan selama ini, saat ia memaju-mundurkan mulutnya yang mengulum penisku. Seperti getaran-getaran listrik merasuki tubuhku, aku mengerang lembut yang dikombinasi gerakan pantat yang ingin mengikuti arah bibir Mas Rangga. “Crot..cret..” Spermaku muncrat ke mulutnya. “Ahk..”

Belum sempat aku istirahat, Mas Rangga minta aku menungging, kuturuti kemauannya. Ia mulai menjulurkan penisnya yang sudah tegang kembali ke depan pintu anusku. Dengan pelan-pelan ia mulai mendorong pantatnya untuk memasukkan batang kenikmatannya. Tidak lama kemudian batangnya sudah masuk keseluruhan dalam anusku. Gerakan ritmis penisnya membuat aku keenakan. Kutoleh Mas Rangga yang berlutut di belakangku, ia tampak asyik dan ngos-ngosan.
“Dik.. Enakk.. Dik.. kukeluarkan di dalam ya?” Suaranya pelan.
Lalu kurasakan batang bulat panjang berdenyut-denyut di dalam anusku dan ada cairan hangat memenuhi anusku. Ya dia sudah orgasme. Ia cabut penisnya dan langsung telungkup di sampingku. Karena aku ingin merasakan pula aku langsung memasukkan penisku dengan keras ke pantatnya dan berhasil dengan dua kali hentakan. Sambil menggerayangi susunya dari belakang, aku terus melakukan penetrasi dan sampailah aku pada puncak kenikmatan. “Cruot.. cruot” Spermaku tumpah ruah di anusnya.

Sekarang kami saling merangkul dengan wajah berhadapan dan hidung saling menempel. Posisiku ada di bawah sehingga dengan mudah kuelus-elus punggung dan pantatnya sampai ia tidur di atasku.Aku membayangkan kenikmatan yang baru kami raih.

Sayup-sayup kudengar suara tangisan dari sampingku. Yah.. ternyata suara Mas Rangga. Aku bingung kenapa ia menangis? Padahal selama ini ia tidak pernah menangis.
“Mas, Mas Rangga kenapa?” Tanyaku. Ia tak menjawab.
“Mas Rangga menyesal?” Suaraku pelan. Mas Rangga mengangguk.
“Kenapa Mas menyesal?”.
“Aku telah menghianati cintaku padanya Dek!”.

Deg, kini aku benar-benar bingung, sedih dan ada sedikit rasa penyesalan karena telah membuat Mas Rangga yang selalu tertawa jadi menangis. Meski sebenarnya ada sebersit kemarahan dan ketersinggungan di hatiku.

“Mas, maafkan aku ya?, Mas Maafkan aku, Maafkan aku.” Pintaku dengan iringan tangisan pula.
“Tidak Dek, aku yang salah, seharusnya aku tidak bersikap seperti itu pada Adik, tapi entahlah aku tidak bisa berfikir sehat semalam.”

“Mas sebenarnya aku tidak hanya menyayangi Mas, tapi, aku juga mencintai Mas, Seperti Reny mencintai Mas, dulu waktu aku tidak kuliah dan menangis di kamar bukan cuma khawatir ditinggal Mas, tapi aku cemburu berat” Aku berterus terang.
“Jadi?”.
“Ya Adik seorang gay, yang tertarik pada sesama jenis, dan kebetulan Mas lah yang aku cintai”. Jawabku yang berlanjut dengan tangisan yang lebih keras. Mas Rangga kini juga bingung dan serba salah setelah tahu siapa sebenarnya aku.

“Dik benarkah itu?” Aku mengangguk.
“Maafkan Mas Dik! Mas sungguh tidak tahu, Mas merasa Adik seperti adek Mas sendiri, Mas menyayangi Adek tulus seperti kakak menyayanyi adeknya, dan kejadian semalam karena Mas khilaf.”

“Ya Mas saya tahu dari dulu Mas adalah lelaki normal yang hanya bisa mencintai dan dicintai wanita, inilah kenyataannya Mas, Adek merasa bahagia jika ada di samping Mas, Entahlah Mas..Adek sulit sekali menyukai gadis secantik apapun.., dalam hatiku cuma ada Mas.”

“Adek nggak pernah pacaran?”. Tanya Mas Rangga
“Pernah, cuman Adek putuskan karena Adek merasa tidak ada sedikitpun getaran cinta seperti Adek mencintai Mas” Jawabku.

“Adek tidak ingin menjadi lelaki sempurna seperti Mas?”
“Entah lah Mas.. sebenarnya sih pingin, cuma Adek pesimis.”

“Maafkan Mas ya Dik!, kehadiran Mas semakin memperparah kepribadian Adik, tapi Mas harap Adek mau berusaha, cobalah untuk mencintai seorang gadis, paksakan nanti lama-kalamaan pasti Adek akan mencintainya, kalau Adek masih ingin jadi Adekku, maka tidak ada alasan lagi bagi Adek untuk tidak berusaha dan mencobanya, Mas yakin banyak gadis yang suka sama Adek, Adek khan ganteng” Urai Mas Rangga dengan bijaknya

*****

Air mataku terus mengalir tanpa hentinya, sambil duduk menatap gelapnya malan aku membaca pesan-pesan Mas Rangga di buku diary ku. Kini genaplah 1 tahun kesendirianku ditinggal Mas Rangga yang katanya pindah kuliah ke Bandung. Hari-hariku hanya menanti kehadirannya meski sedikit sekali kemungkinan terwujudnya.

“Mas Rangga kembalilah Mas! Adek berjanji akan berusaha. Adek butuh pemotivasi seperti Mas.., tanpa Mas Rangga Adek sulit mengangkat diri dari lembah gelap ini Mas.. Mas Rangga kembalilah.. Mas!”

*****

Rekan-rekan pembaca (Gay Boys 17-25 tahun) layangkan E-mail untuk berbagi rasa denganku, siapa tahu rekan-rekan bisa menjadi pengganti Mas Rangga yang jauh di sana, makasih!

Tamat

Gairah ABG

Aku terdiam untuk beberapa saat lamanya dengan gagang telepon yang masih kugenggam erat, jelas belum ada ide siapa yang harus aku ajak ke undangan Dito untuk menginap di villanya pada akhir pekan nanti, sebuah villa terpencil milik ayahnya yang terletak di tepi telaga di sebuah dataran tinggi di Bali.

Dito adalah salah satu tetangga dekatku, rumahnya hanya berjarak tak lebih 50 meter dari tempat kos yang kutempati sekarang. Dito tinggal berdua di rumah besar itu bersama dengan seorang adik perempuannya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD, dan juga ada seorang pembantu dan seorang tukang kebun yang masing-masing menempati sebuah kamar di belakang rumah. Papanya adalah seorang diplomat yang sering berkeliling ke berbagai negara.

Berkenalan dengan Dito juga terjadi tanpa sengaja, ketidak sengajaan yang menguntungkan. Perkenalan kami bermula ketika pada suatu pagi aku dan Dito bertemu di depan rumah kosku. Dito ternyata sudah banyak mengenal teman-teman kosku, karena sifatnya yang supel itu. Hanya aku saja yang barangkali baru mengenalnya.

Dito sendiri waktu itu baru kelas 1 SMU, dua tahun lebih muda daripada aku. Anaknya berkulit sawo matang, matanya bulat, bulu matanya lentik, berhidung mancung, berpenampilan cool dan trendy, suka pakai celana jeans gombor dan yang pasti wajahnya cukup tampan. Tetapi kuakui, sekalipun usia Dito lebih muda dariku, entah kenapa aku merasa agak segan ketika berdekatan dengannya. Sepertinya, Dito punya karisma yang kuat di depan mata orang-orang yang berhadapan dengannya, dia tampak jauh lebih matang dari usianya ketika berbicara.

Dito suka sekali fitness, jadi wajar saja jika badannya terbentuk bagus, berotot, belum lagi lekuk-lekuk perutnya yang membuatnya makin terlihat seksi dan jantan. Baru kuketahui hobbynya itu ketika pertama kali aku berkesempatan main-main ke rumahnya pada suatu siang, sepertinya angin baik telah menuntunku di waktu yang tepat. Seperti biasa, rumah besar itu kelihatan sepi, aku pun lantas memencet bel yang terletak di balik pintu beberapa kali sampai seorang wanita usia tiga puluhan melongokkan kepalanya, wanita yang masih terlihat bahenol dengan bokong yang besar. Aku mengenalnya bernama bi Trini, pembantu Dito.

Bi Trini mempersilahkan aku duduk di ruang tamu, katanya ia akan memanggil Dito di loteng. Tetapi setelah cukup lama menunggu, Dito ternyata tidak kunjung muncul juga. Aku pun lantas nekat naik tangga ke lantai dua, kamar Dito ada disana, aku pikir dia sedang ada di kamarnya, mungkin sedang tidur. Aku membayangkan melihat Dito yang tidur terlentang dikasurnya dengan hanya bercawat (Tentang kebiasaan Dito yang satu itu, aku ketahui dari obrolan teman-teman kosku yang pernah menginap di rumah Dito), jika memang demikian, aku akan langsung naik ke kasurnya, menidurinya, tenggelam di dalam satu selimut bersamanya dan merampas keperjakaannya saat itu juga. Selama ini aku sudah banyak beronani dan berfantasi tentang dia, aku tidak sabar ingin cepat-cepat mengocok kontolnya yang sudah pasti besar itu. Aku perkirakan lebih dari 16 cm. Tetapi ketika aku menengok ke dalam kamar pribadinya lewat pintu yang terbuka itu, Dito tak ada di dalam.

Jika sedang tidak di kamarnya, kemungkinan besar Dito berada di ruang fitnes. Benar saja, waktu itu Dito memang sedang fitness di ruangan khusus di seberang kamarnya. Di dalam ruangan yang berukuran sekitar 5 x 6 meter itu, tidak kurang ada enam macam alat fitnes yang aku lihat. Aku sih nggak begitu yakin dengan jumlah alat-alat fitnes itu, karena yang jadi pusat perhatianku waktu itu hanya sesosok badan yang tengah telentang di atas barbel set hanya dengan kaos dalam ketat warna merah dan celana hitam yang kelewat minim. Bahkan karena saking minimnya celananya itu, CD yang dipakai Dito kelihatan dari kedua celah celananya dengan paha putih mulus di sekelilingnya. Kakinya tidak begitu berbulu.

Seputar celana itulah yang menjadi pusat perhatianku kala itu, sungguh tak dapat kubayangkan betapa nikmatnya seandainya jari-jemariku kususupkan melewati celah-celah celana kolor itu dan kemudian meremas-remas kemaluan Dito, untuk kemudian membangkitkan syahwatnya menuju puncak kenikmatan. Kontol Dito memang sedang tidur, tetapi hati siapa yang tak akan tergetar ketika melihat tonjolan besar yang padat di balik celana seksinya itu, atau tidak lantas bangkit gairah seksnya untuk mengulum dan melumat serta menikmatinya. Terkecuali mereka yang frigid tentunya.

“Loh, Mas Ferry. Sudah lama datangnya?” sapa Dito begitu melihatku ada di dalam ruangan itu.
Fantasiku seketika buyar karenanya. Sehabis itu, Dito bangkit dari barbel set-nya lalu mengalungkan handuk kecil di lehernya. Dito mengelapi seluruh bagian atas badannya dengan handuk itu, aroma keringatnya yang dekat sekali dengan penciumanku, membuatku makin terangsang, tubuh Dito wangi, seperti bau minyak zaitun murni. Yang jelas Dito tidak mungkin memakai parfum murahan, ia punya uang lebih dari cukup untuk membeli parfum sekelas Guess atau CK atau bahkan yang jauh lebih mahal dari itu. Dito melepaskan kaos yang dipakainya, memamerkan dadanya dan perutnya yang berisi itu tepat di depan mataku, seluruh badannya basah dengan keringat, mulai dari ujung rambut panjangnya yang hitam mengkilat sampai ke betisnya yang padat.

Dito mempersilahkan aku duduk di salah satu alat yang ada dalam ruangan itu, ia sendiri lantas duduk di atas barbel setnya, setelah memandang berkeliling untuk mencari tempat duduk yang nyaman, akhirnya ku pikir kenapa tidak duduk di samping Dito saja. Menurutku, justru tempat itulah yang paling menyenangkan dari sekian banyak tempat di ruangan itu apalagi tempat itu hanya memadai jika kami merapatkan badan satu sama lain. Aku pun lantas duduk di samping Dito.

Setelah duduk disebelahnya, aku kemudian merampas handuk Dito dengan tangan kananku, sementara itu tangan kiriku mendekap punggungnya, Dito pikir aku mengajaknya bercanda. Ia mencoba merebut handuknya kembali, tapi tidak dapat, kemudian mukanya ia jatuhkan tepat di atas kontolku, ia tertawa sebentar kemudian tak lama tawanya itu berhenti, Dito tertegun untuk beberapa saat lamanya di bawah sana. Aku tak begitu mempedulikannya, semoga saja ia kagum dengan “barang” kesayanganku yang baru diciumnya itu.

Sementara itu handuk yang kupegang, aku usapkan ke seluruh badannya, mengelap seluruh keringat yang membasahi tubuhnya itu, perlahan Dito mengangkat lagi kepalanya. Dito makin memanjakan dirinya, membiarkan aku mengelap seluruh badannya, tak apalah sesekali berlaku seperti seorang pembantu asalkan bisa memperoleh apa yang disebut sebagai kenikmatan itu. Sungguh, aku benar-benar terlena menikmatinya meskipun sikap Dito masih tampak begitu dingin saat itu, padahal aku sudah mencoba memberi rangsangan sentuhan ke bagian-bagian sensitif di seputar leher dan dadanya dengan usapan handuk, bahkan semua ilmu pamungkasku dalam bidang usap-mengusap sudah aku keluarkan saat itu.

Setelah cukup lama tertegun, Dito mengangkat kepalanya kembali. Tiba-tiba matanya menatap aneh ke arahku, mungkin saja ia telah terhipnotis oleh kontolku, jadi kupikir tak apalah jika usapanku tak berhasil.

“Mas Ferry nggak pakai CD yah, burungnya lagi berdiri tuh!” bisik Dito di dekat telingaku dan kemudian secara spontan, tangan Dito langsung menjamah dan meremas-remas kontolku, memijit-mijitnya dengan pijatan seks.
Aku memang sedang tidak pakai CD waktu itu, aku terkadang memang tidak memakainya, khususnya jika sedang di berada di rumah atau memakai celana karet gombor seperti yang kupakai saat itu. Kontolku makin tegak saja dengan keperkasaan penuh seperti rudal yang siap meluncur, aku bersyukur karena aku tidak impoten dan dikaruniai kontol yang seksi dan besar yang membuat orang yang memegangnya tidak akan bisa membedakan antara kontol dengan terong bangkok. Aku lantas menurunkan handuk yang kupegang perlahan, Aku merasakan sensasi nikmat yang luar biasa, dengan birahi yang membara.

Aku menggeliat dan mendesah, menggigit-gigit bibir bawahku. Merasakan nikmat tiada tara dengan aksi tangan Dito yang makin liar meremas-remas kemaluanku itu. Aku pun makin mendekatkan kepalanya ke atas dadaku, mengacak-acak rambutnya yang lurus terion itu. Aku mendekati telinganya dan membisikkan kepadanya, apa yang aku inginkan ia perbuat selanjutnya, layaknya seorang guru yang mengajar anak didiknya. Karena saat itu Dito tampak masih canggung untuk memelorotkan celanaku dan melihat secara langsung batang kejantananku.

“Hisap dong Dit!” permintaan itu seketika keluar dari mulutku, terdorong oleh nafsu membara yang ada di dadaku saat itu, aku sungguh tak lagi merasa segan pada remaja belasan tahun itu.

Saat itu, aku ibarat sebuah tanggul yang rapuh, yang segera akan patah terbawa aliran badai nafsu. Dito pun beranjak dari tempat duduknya, ia berjongkok di antara kedua selangkanganku, kemudian dibukanya simpul tali celanaku, merenggangkannya, lalu menariknya dengan cepat, saat itu juga kontolku langsung melesak keluar dengan keperkasaannya.

Tanpa babibu lagi, Dito mendaratkan serangan bibirnya yang pertama ke kontolku yang panjangnya 17 cm itu, langsung menghisapnya dengan liar, menyedotnya seperti ketika menikmati orange juice, sesekali ia melepaskan hisapannya, dan menjilati kontolku dengan penuh birahi, birahi seorang remaja 15 tahunan yang baru sekali itu menikmatinya. Dito ingin menanggalkan celanaku seluruhnya, Aku pun menurut saja, membiarkannya bermain dengan sensasinya sendiri.

Aku mengangkat pantatku, mengangkang di depan mukanya, sehingga Dito lebih mudah melepaskan celanaku. Sesudah Dito melepaskan semua celanaku, ia kembali memainkan kontolku, mengocok dan mengulumnya secara bergantian.

“Argh! Terus Dit!” erangku keenakan.
Dito makin mempercepat tempo permainannya, ia bertambah buas saja dan tidak terkendalikan lagi, Dito menghisap kuat kontolku dan kemudian memompanya naik turun keluar masuk mulutnya, untung saja giginya tidak terlalu besar, kalau tidak, pasti kulit kontolku lecet semua bergesekan dengan giginya atau bahkan bisa saja terluka. Ternyata Dito sangat ahli dalam perkara hisap menghisap kontol, langsung jago tanpa perlu diajari.

Aku membungkukkan badanku di atas punggung Dito yang sedang menelungkup di atas seputar kemaluanku, lalu kuciumi seluruh kepala bagian belakangnya, menyibakkan rambutnya dan mengecup ubun-ubunnya, kemudian perlahan turun ke leher, dan ke punggungnya, yang membuat Dito mengerang-erang dengan desahan yang persis aku lihat di blue film. Semula aku pikir Dito terlalu berlebihan kalau meniru film, tapi tak apalah, desahan Dito malah membantu mempertahankan libidoku di puncak yang stabil.

Di tengah-tengah permainan yang seru itu, tiba-tiba spermaku muncrat, menyembur di muka Dito. Aku bermaksud mengelapnya, tetapi Dito malah meraih tanganku, mencengkeramnya erat dan ia malah menjilati dan menghisap jari jemari tanganku, sebelum ia membersihkan spermaku dengan lidahnya.

Sesudah itu, aku mengambil alih kendali, kesabaranku sudah habis untuk melihat seberapa besar dan seksinya kemaluan Dito dan bagaimana menikmatinya lewat sedotan mautku. Aku lantas merebahkan badan Dito yang bongsor di atas barbel set, membiarkannya terlentang di hadapanku seperti yang aku lihat tadi, tentu saja kini Dito tampak lebih seksi dengan hanya memakai celana pendek yang super minim sebagai penutup tubuhnya.

Dito memejamkan matanya, sementara itu kontolnya makin mengembang dan memenuhi celananya yang super ketat itu, sehingga seakan-akan celana itu tidak lagi muat untuk menampungnya. Aku iba melihat kontol Dito yang terjepit di dalam celananya itu, aku rasa sungguh alangkah baiknya jika kulepaskan saja ia dari dalam sangkarnya.

Aku pun langsung menindih badan gempal Dito di atas barbel set itu,
dan mulai menyerangnya dengan ciuman-ciuman mautku ke setiap lekuk tubuhnya sambil tanganku menggerayanginya di sela-sela badan kami yang saling menindih, menjelajah sampai menemukan barang yang aku cari yaitu kontol Dito, kemudian kumasukkan tanganku ke balik celana sport-nya, juga ke balik CD-nya yang terasa licin itu.

Busyet, ketika aku menjamahnya, aku merasa seperti sedang memegang pentungan Pak satpam, It is very big size! Aku gesek-gesekkan tanganku ke kontol Dito yang besar dan super seksi itu, lagi-lagi aku beruntung bisa meremas batang kejantanan cowok seganteng Dito. Sesudah itu kuangkat sedikit pantatnya ke atas, dengan posisi tetap menindih tubuhnya, lantas aku pelorotin celana Dito dan sampai ke CD-nya sekalian. Hitung-hitung, biar tidak perlu kerja dua kali. Kemudian aku daratkan ciuman-ciuman pipinya dan seluruh mukanya yang bersih dan imut itu sambil sesekali mengecup lehernya, kedua puting susunya secara bergantian, perutnya, sekeliling pusarnya, dan wouw..batang Dito pas di depan mataku sekarang. Ternyata ukurannya lebih besar dari yang aku duga, sekitar 16 cm/3 cm.

Aku menelan air liurku begitu memandangnya, Aku pun langsung menghampirinya dengan bibirku, membiarkan batang kejantanan Dito itu tenggelam di dalam kulumanku untuk beberapa lama, dengan sensasi hisapan yang liar, sesekali aku menjilat ujung penisnya yang coklat mengkilat itu, menjilatnya sampai ke lubang kencingnya.

“Argh! jangan disana mas, perih!” seru Dito sambil kemudian menggigit bibir bawahnya begitu lidahku menjilat-jilat di sekitar lubang kontolnya itu.
Cukup lama juga aku memainkan kontol Dito, dan ia pun makin menggelinjang keenakan sampai-sampai barbel set yang dijadikan alas rebahannya hampir saja roboh, sekalipun bobotnya berat. Aku pun kemudian berdiri, kutarik lengan Dito dan dan mengajaknya meneruskan di floor. Aku membaringkan tubuh Dito yang berkeringat itu di atas karpet merah, aku tindih lagi, Tetapi Dito lebih cepat menyerangku dengan ciuman-ciumannya yang makin mengganas ke bibirku yang sama sensualnya dengan bibirnya.

Kami bergumul di lantai sekian lama, berganti-ganti posisi, kadang aku di atas, kadang Dito yang di atas, menindih tubuhku dengan tubuhnya yang agak berat. Hampir sejaman kami bergumul di atas lantai dan saling mencumbu, dan selama itu Dito cukup perkasa bisa menahan spermanya supaya tidak keluar, barulah saat di detik-detik terakhir ia mengeluarkan lahan putihnya, empat semprotan sekali muncrat, kental dan nikmat. Padahal, selama itu aku sudah ejakulasi sebanyak tiga kali. Aku menjilat habis sperma yang tumpah ruah di atas perut Dito itu, aku tidak mau menyia-nyiakannya, jika harus menunggu muncratan yang kedua, paling tidak aku harus menunggu sekitar sejaman lagi.

“Ah, nikmatnya!” gumamku begitu melakukan jilatan terakhir sperma Dito. Bahkan yang masih menempel di ujung kontolnya pun, tak tersisa juga oleh jilatanku. Dito pun seketika itu juga langsung lemas, kontolnya terkulai kelelahan. Dito masih saja telentang di bawah badanku, nafasnya tersengal-sengal dan jantungnya berdegup kencang.

Kemudian aku memutar posisi menjadi posisi 69. Ku hisap lagi kontol Dito sambil sesekali diselingi kocokan, pokoknya semua cara yang bisa aku lakukan agar kontol Dito tegak lagi. Sementara itu, Dito yang masih aku tindih juga melakukan hal yang sama, setelah rasa capainya berangsur-angsur pulih. Dito menjilati kontolku yang menggantung tepat di atas bibirnya, sesekali Dito mengangkat sedikit kepalanya untuk meraih dan menjilat buah pelirku juga sambil tangannya berpegangan pada punggung atau pahaku. Kami berdua sudah sama-sama basah dengan keringat bercampur sperma, paha Dito yang licin dengan keringat malah menambah gairah seksualku, belum lagi ujung-ujung jembutnya yang basah seperti ketetesan embun itu. Aku menjilatinya dan sesekali kuhisap selangkangan Dito dari keringatnya yang berasa asin dan horny itu.

Kuciumi kedua belahan selangkangannya yang membuat Dito kegelian dan menggelinjang, berputar-putar menggeser badannya di atas karpet. Kemudian dia berhenti berputar, mengangkat kepalanya, dan, “Aouw!” tiba-tiba saja Dito melumat kontolku dengan agak kuat di bawah sana, Aku pun menjerit dengan sedikit tertahan. Bukan karena kesakitan, tetapi karena Dito begitu mendadak melakukannya, ia meneruskannya dengan mengulum buah pelirku. Setelah itu, kontolku diempotnya naik turun, dijilatnya seperti es krim vanila.

Setelah puas dengan gaya 69, aku pun terlentang di atas karpet di samping Dito, mencoba mengatur nafasku kembali. Dito sempat mengecupku berulang kali di seputar wajahku sambil tangannya meremas-remas kontolku membuatnya berdiri lagi. Kemudian, Dito memandang dalam-dalam ke arahku dan tersenyum.
“Enak ya, mas! Dito suka, coba tahu dari dulu!” kata Dito dengan lugunya. Aku hanya nyengir mendengarnya.
“Kamu bisa main seks di umur 15 tahun aja, itu sudah hebat. Seharusnya, untukmu itu masih terlalu dini!” kataku dalam hati.

Mulai hari itu Dito dan aku sering menikmatinya bersama, bukan untuk sebuah komitmen. Tetapi hanya untuk kesenangan belaka, untuk melepaskan gairah masa muda!

*****

Jika anda termasuk remaja yang cute dengan libido tinggi dan belum cukup puas dengan cerita di atas, please contact my email. I’ll give you more, boys. Atensi kalian aku tunggu dan jangan lupa sertakan identitas diri kalian supaya aku balas. Thanks a lot.

Tamat

Aku dan sopir-sopir truk – 1

Sering sekali aku berkhayal kontol-kontol supir truk yang terkenal suka “jajan” itu nancep di lobangku, terkadang kalau aku sedang berada di jalan dan melihat mereka suka kencing di pinggir jalan dengan kontol terlihat kemana-mana rasanya pengen aku samperin dan aku emut, sayangnya aku nggak punya keberanian itu.

Aku sama sekali nggak nyangka bahwa semua keinginanku ini terwujud. Hari sabtu yang menyebalkan, seharusnya semalem aku bisa pesta pora ngocok kontolku sambil nonton VCD gay yang kubawa dengan fantasi-fantasi liarku saat menatap kontol-kontol bule yang gede-gede itu. Tapi dasar sial, keluarga kakak ayahku datang dan menginap di rumah, dan karena kamar di rumahku tidak terlalu banyak jadi terpaksa kakak sepupu tidur di kamarku, batal deh.

Hari ini aku harus kembali ke kota tempatku bekerja karena besok aku malas kalau harus subuh-subuh berangkat dari rumah orang tuaku yang jaraknya sekitar 2 jam perjalanan ke kota. Sambil menunggu bis yang emang agak-agak susah aku memandangi kendaraan yang lewat. Sampai ada sebuah truk yang lewat, sebenarnya truk itu biasa saja karena dari tadi juga banyak yang lewat, tapi mereka menjepit celana jeans dan celana dalam di depan mobil, mungkin baru mereka cuci biar kering.

Timbul ide dalam otak mesumku. Selama ini para supir truk terkenal suka ngeseks, dan aku yakin kalau ada dinatar mereka yang gay atau biseks. Karena tempatku menunggu hanya ada aku seorang, maka aku berdiri disisi jalan menunggu truk yang lewat. Beberapa sudah lewat tapi mereka tidak berhenti, sekedar tahu saja aku melambai untuk menumpang dengan meletakkan tangan kiriku di gundukan selangkangan sebagai kode. Sekitar 20 menitan tidak sukses, tiba-tiba truk yang barusan lewat berhenti dan kemudian mundur.

Degg.. Antara takut dan senang aku menunggu apa yang akan terjadi.

Seseorang membuka pintu penumpang, lalu muncul wajah yang nggak terlalu ganteng tapi dilihat sekilas sangat laki-laki sekali. Ia menanyakan tujuanku dan kemudian aku sebutkan, lalu dia mengajakku naik ke truknya karena kebetulan arahnya sama. Truk akhirnya jalan dan aku mulai sering curi pandang, ternyata supir truk ini cuma memakai celana boxer yang tipis dan kaus oblong warna hitam. Kulitnya agak gelap dan kulihat pahanya penuh bulu, seketika kontolku ngaceng melihat bulu-bulu itu karena aku sangat suka dengan bulu-bulu di paha dan jembut.

“Namanya sapa Mas?” tanya supir itu, dari logat bicaranya dia seperti orang batak.
“Yudi,” jawabku.
“Mas sendiri?”
“Luhut,”

Kami terdiam sebentar karena dia konsentrasi ke jalan, kesempatan aku gunakan untuk melihat tonjolan di boxernya, sepertinya dia sedang ngaceng.

“Tadi ngapain berdiri sambil megang selangkangan?” tanyanya. Wah mulai nih pikirku.
“Biasa, pagi-pagi gini kontol pada ngaceng, gatel pengen kocok,” jawabku berani.
“Sama, nih kontol aku juga sudah ngaceng,” ujarnya sambil memegang tonjolan di daerah kontolnya.
“Biasanya kalo dah ngaceng gitu diapain Mas?” tanyaku lagi.
“Kalo nggak dikocok, paling-paling mampir di warung nyari lobang,” jawabnya sambil cengengesan.
“Kalo ngocok emang bisa sambil nyupir?”
“Yah dibisa-bisain lah,”

Kemudian tangannya mengelus-elus kontolnya dari luar celana, ia konsentrasi sebentar ke jalan, kemudian tangan kirinya masuk ke dalam boxer dan membuat gerakan keluar-masuk.

“Repot nanti Mas, sini saya bantuin ngocok,” kataku.
Ia menatapku sambil kemudian tersenyum, “kok nggak bilang dari tadi,”

Kemudian tangannya keluar, lalu dengan yakin aku merunduk ke dekat selangkangannya. Aku memasukkan tangan kananku ke dalam boxer dan baru saja masuk jemariku langsung bersentuhan dengan kepala kontolnya yang segera ku genggam dan ku elus-elus. Aku keluarkan tanganku lalu menarik boxernya sampai sedengkul dan sekarang kontolnya sudah terlihat jelas olehku.

Kepala kontolnya gede dan batangnya berurat dengan panjang seperti milikku, dan jembutnya lebet banget. Aku menjadi gemes dan segera aku usap-usap serta kusibak rimbunan jembutnya dengan jemariku. Batang kontolnya berdenyut-denyut tanda dia terangsang hebat.

Aku menggenggam batang kontolnya dan aku mulai kocok, saat itu aku kaget ternyata dia belum disunat dan inilah kontol pertama yang belum sunat yang aku pegang. Aku tarik kulupnya ke atas hingga menutupi kepala kontolnya, aku mendengar dia mengerang-erang. Kini posisiku tengkurap dan wajahku tepat di atas kontolnya. Aku masih terkagum-kagum dengan kulupnya, dan kulupnya yang masih menutupi palanya aku gigit pelan sampai kurasakan dia menggelinjang.

“Aduh.. Enak banget. Suka kulup ya?”
“Iya, sedep.”

Aku menyedot kulupnya agak kuat dan sesekali aku sesap-sesap. Kemudian kulit kulupnya aku turunkan sehingga kepala kontolnya muncul lagi. Aku angkat batang kontolnya ke atas hingga menyentuh perutnya sehingga bagian bawah batangnya kini menghadapku. Ini adalah bagian kesukaanku, aku mendekatkan wajahku ke batang kontolnya dan aku jilat bagian frenulumnya (bawah dekat lobang kencing) hingga ke lobang kencingnya, lalu ujung lidahku sedikit kumainkan di lobangnya sampai dia sedikit melompat dari tempat duduknya mungkin karena kaget dan enak. Aku turunkan lagi lidahku perlahan-lahan hingga kepangkal batang bagian bawah.

Urat-urat kontolnya juga mempesona, berkali-kali aku rasakan urat-uratnya menyentuh lidah dan bibirku. Aku jilat lagi keatas hingga frenulumnya, kemudian ujung lidahku aku peletkan di pinggiran topi bajanya dan memutar beberapa kali hingga kemudian berakhir lagi di lobang kencingnya yang kembali aku mainkan dengan ujung lidahku. Aku melihat lendir bening keluar dari lobang kencingnya dan tanpa ragu aku jilat habis.

Lalu dari topi kontol bagian atas aku mulai menelusuri senti demi senti batang bagian atasnya hingga ke pangkal kontol yang tertutup oleh rimbunan jembut. Aku jilati jembutnya yang super lebet itu, ahh sedep banget, buat yang suka jembut seperti aku ini adalah sensasi yang paling nikmat.

Aku benamkan hidungku di hamparan hitam jembutnya dan kugosokkan berkali-kali hidungku dan berkali-kali dia mengeluarkan erangan. Lalu aku merasa mobil berhenti.

“Kenapa Mas?”
“Nggak apa-apa, susah nyupir kalo kontol diginiin,” ujarnya.

Jadi aku kembali melanjutkan aksiku, kali ini malah semakin nikmat ada sensasi tambahan saat dia melihat aksiku. Aku sekarang sudah di bagian kepalanya dan aku jilat-jilat seluruh helm daging itu kemudian memasukkannya ke dalam bibirku dan kusedot dengan kuat-kuat hingga dia kelojotan di bangkunya sambil meracau kata-kata tak jelas. Mungkin lonte-lonte yang selama ini dia entot nggak pernah ngisep kontolnya. Aksi sedotku tetap aku teruskan dan kulihat matanya terpejam menahan enak.

Kami terhanyut oleh suasana itu sehingga sama sekali tidak memperhatikan sekeliling ketika tiba-tiba muncul seseorang di pintu jendela tempatku berada.

“Gila kau Hut!,” suara itu tiba-tiba muncul.

Aku kontan kaget dan kurasa luhut juga seperti aku kagetnya. Aku menghentikan jilatanku dan menatap ke arah suara yang ternyata datang dari sebuah wajah yang terlihat keras dengan kumis tipis dan rambut yang keriting. Kutaksir ia berusia 26-an.

“Kupikir mobil kau kenapa-napa, tak tahunya lagi asik kontolmu di sedot,” ujarnya.
“Ah kau Ben bikin aku kaget saja. Kau tak tahu enak kali kontol diginikan, mau coba?”

Luhut kemudian memegang kepalaku dan didorong pelan ke selangkangannya tanda ia ingin aksi dilanjutkan. JAdi aku kembali melanjutkan aksiku dan mulai menyedot-nyedot kontol luhut. Pintu mobil tempatku berada terbuka, lalu orang yang tadi naik dan dia memperhatikan apa yang kami lakukan. Aku sengaja membuat suara ribut dengan mulutku, berharap orang ini terangsang juga.

“Enak hut?”
“Enak Ben, kamu coba juga lah,”
“Hei, kamu mau nggak isep kontolku juga?” tanya orang itu. Aku melepaskan isapanku dan menatapnya.
“Mau banget, tapi tempatnya sempit,”
Orang itu terlihat berfikir, lalu ia berkata, “Hut, gimana kalo kita ke rumah Bonar aja, sepi paling-paling cuma ada Bonar,”
“Ya bereslah, mau nggak kau?” tanya luhut kepadaku

Aku mengangguk dan kembali mengisap kontol luhut. Orang tadi masih di tempat yang sama memperhatikan aksiku dan Luhut. Sementara tangan kananku sibuk memegang batang kontol Luhut, sekarang tangan kiriku bergerak ke belakang dan menuju selangkangan orang itu. Dia memakai celana jeans, tapi bisa kurasakan kontolnya sudah mengeras dan kontol itu aku remas-remas.

“Hut aku tak tahan juga nih, kita ke depan aja di dekat lembar (tempat reklamasi pantai yang rimbunan pepohonan) aku pengen ngerasain juga,”
“Agghh, kau ini Ben, ya sudah kau turunlah,”

Bersambung . . .

Taruna angkatan laut

Aku kembali mengunjungi warnet Ampera7 untuk memuaskan nafsu homoseksualku. Siang hari, banyak pria gagah berkumpul di warnet itu. Mereka adalah para taruna angkatan laut. Ada yang badannya sangat tegap bak seorang binaragawan, tapi ada pula yang badannya agak tambun. Belakangan ini, aku demam menonton tinju dan fighting. Terutama kalau yang bertanding itu para bule yang berbadan keras. Aku tidak suka kekerasan, namun aku suka melihat tubuh atletis para pria yang sedang bertarung. Ah, sangat jantan dan maskulin.

Siang itu, saat aku asyik melihat foto-foto seksi Mirko Cro Cop (petarung Kroasia K-1) yang sedang bertarung telanjang dada, aku dikejutkan oleh seorang taruna yang kebetulan sedang menemani temannya di warnet itu. Mereka duduk tepat di sebelahku. Pria itu berkata, “Anda suka fighting, yach?”

Aku hanya tersenyum malu, diam-diam mencuri pandang. Pria itu mengenakan seragam angkatan laut, tanpa topi. Kulitnya sawo kecoklatan. Wajahnya menunjukkan usia 30an itu nampak ramah. Badannya memang tidak kekar, sedikit berlemak, namun tidak gemuk. Dia memang tidak tampan, tapi juga tidak jelek. Biarpun begitu, tiba-tiba aku menjadi bergairah sekali.

Temannya jauh berbeda dengannya, lebih muda (20an). Tubuhnya lebih langsing namun terlihat padat. Wajahnya sangat tegas dan juga tampan. Melihatnya saja sudah melambungkan imajinasiku ke langit ketujuh. Apalagi kalau diajak bercinta. Perkenalan lebih lanjut membuatku mengetahui bahwa nama pria yang menyapaku tadi adalah Iwan. Sedangkan temannya itu Bram.

“Mau enggak mampir ke tempatku?” tawar Iwan, tersenyum ramah.
“Aku punya banyak foto petarung di komputerku. Kamu pasti suka.”

Tangannya diletakkan di atas punggungku, membuat jantungku berdebar tak karuan.

“Mau banget,” jawabku. Diam-diam, penisku mulai tegang, setegang baja.

Singkat cerita, aku pun diajak Iwan dan Bram ke kamar asrama mereka. Banyak taruna ganteng dan gagah yang berlalu lalang. Kemaluanku menjadi semakin tegang dan mulai mengucurkan precum. Di dalam kamarnya, Bram menghempaskan dirinya ke atas ranjang bertingkat bagian bawah. Dengan cueknya, Bram melepaskan pakaiannya dan tidur dengan hanya mengenakan celana dalam putih. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Nampaknya Bram benar-benar kepanasan. Sekilas, aku mengintip tubuhnya yang mengkilat dengan keringat. Ah, seksi sekali.. Penuh dengan otot..

“Endy? Lagi ngapain kamu?” tanya Iwan, membuyarkan lamunanku.
“Kok dari tadi asyik mandangin badan Bram? Suka yach?” godanya, sambil mencolek pinggangku.

Aku terkejut sekali saat Iwan mencolek pinggangku. Untuk sesaat aku mengira kalau dia juga gay, sama sepertiku. Namun, aku segera menghapus pikiran itu, sebab mereka nampak sangat ‘straight’. Tanpa menunggu jawabanku, Iwan menyalakan komputernya dan memintaku untuk duduk di depannya. Sesaat kemudian, dia sibuk memperlihatkam foto-foto para petarung lain yang tak kalah ganteng dan kekar dari Mirko Cro Cop. Aku semakin terangsang dan mulai duduk dengan gelisah. Tanpa kusadari Iwan bergeser ke belakangku sambil memencet-mencet keyboardnya. Tangan kirinya diletakkan di atas bahuku, meremas-remasnya dengan lembut. Aku menjadi mabuk kepayang dibuatnya.

“Aku punya gambar-gambar yang lebih bagus dari ini. Mau lihat?” tanyanya.

Aku mengangguk saja. Lalu Iwan membuka sebuah folder yang berjudul Cowok. Apa yang kulihat berikutnya membuatku terkejut sekali. Di depan layar komputer, berbaris foto-foto cowok bule bugil. Ada yang berpose telanjang bulat, ada yang berciuman dengan sesama pria, bahkan ada yang saling menyetubuhi pria lain. Jantungku berdebar kencang sekali. Iwan segera menjawab,

“Ya, aku gay. Aku ingin berhubungan seks denganmu, manis.”

Iwan mencium-cium leherku dari belakang. Kedua lengannya yang besar dan kuat menglingkari pundakku. Tangannya menjalari dadaku, meremas-remasnya. Tanpa dapat ditahan, aku mengerang kenikmatan. Aku hanya dapat pasrah, menyadari bahwa sebentar lagi Iwan akan mengambil keperjakaanku. Namun aku tak dapat menyangkal kalau aku amat mengharapkannya.

Tangan Iwan pun mulai menjalar dengan liarnya. Sambil membimbingku berdiri, Iwan mulai memasukkan tangannya ke dalam celana pendekku. Alangkah terkejutnya Iwan mengetahui kalau aku tak memakai celana dalam. Sambil tetap memelukku dari belakang, dia memberikan sebuah senyuman mesum padaku. Mudah baginya untuk menemukan alat kelaminku. Begitu dia menyentuhnya, aku mengerang makin liar. Senjataku sudah mengeras dan membasahi celanaku. Satu-persatu, pakaianku jatuh ke lantai. Dengan lembut, dia memutar tubuhku agar aku menghadap mukanya. Aku kini sudah berdiri telanjang bulat di depannya. Iwan tersenyum sensual sambil menjilat bibirnya.

Katanya, “Aku paling suka cowok Chinese yang putih mulus sepertimu. Cocok sekali untuk dingentotin.”

Iwan nampaknya tak mau berbasa-basi lagi sebab dia segera menanggalkan pakaiannya. Dengan bernafsu, Iwan memelukku. Pelukannya membuatku liar sehingga aku dengan leluasa meraba-raba punggungnya.

“Mau tidak ‘dipakai’?” tanyanya sambil memelintir kedua putingku. Aku mengangguk.

Kemudian, terbuai dalam suasana erotis, aku menciumi sekujur tubuhnya, mulai dari leher, turun ke dadanya. Ah.. Aku amat memujanya.. Dada milik Iwan memang tidak terlalu keras dan berotot, namun lumayan seksi. Kedua putingnya yang tadi tertidur, kini mulai mengeras seiring dengan permainan lidahku. Sesaat kemudian terdengarlah erangan merdu dari bibir Iwan. Usai menjilati dadanya, aku bergerak menuruni perutnya dan tiba di kemaluannya.

Sungguh merupakan kontol terseksi yang pernah kulihat. Panjangnya hampir mencapai 20 cm dengan ketebalan yang nyaris melampaui 5cm. Terbakar oleh nafsu birahi, kontol itu berdenyut keras sekali, seolah menuntut servis dariku. Cairan pra-ejakulasinya mulai mengalir dan menetes ke atas lantai. Dengan sigap, aku menangkapnya dengan lidahku. Hmm.. Sungguh lezat sekali. Iwan hanya tersenyum meyaksikan ulahku. Kontol Iwan memang nampak lezat sekali. Dengan saus pra-ejakulasi yang terus mengalir turun.

“Ayo, sayang, hisap kontolku,” ujarnya seraya mengelus-ngelus dadaku. Kemaluanku sendiri tegang sekali, minta dipuaskan.

Sambil berlutut, aku menjilati batang kejantanannya dengan antusias. Erangan nikmat Iwan terdengar kencang sekali. Namun dalam suasana erotis seperti itu, hal itu tidak dipedulikan sama sekali. Yang penting, hasrat semua pihak terpuaskan. Kubuka mulutku lebar-leabr dan membiarkan kontol Iwan menerjang keluar masuk. Sesekali aku tersedak namun dengan sigap, aku dapat kembali mengikuti irama sodokan kontolnya itu.

“.. Aarrgghh..” erang Iwan, matanya terpejam rapat.

Cairan pra-ejakulasi Iwan terasa bagaikan cairan ternikmat di dunia. Rasanya agak asin dan terasa licin di lidah. Iwan memang sungguh merupakan seorang pejantan, sebab cairan itu mengalir tanpa henti. Seperti bayi yang menyusu, aku terus menghisap kepala kontolnya demi mendapatkan cairan itu lebih banyak. Aku memperkuat sedotanku dan Iwan pun mengerang keenakkan.

Asyik memeras kontol Iwan dengan bibir dan lidahku, aku tak menyadari bahwa seseorang sedang berdiri di belakangku. Aku baru tersadar saat orang itu membelai-belai punggungku. Ternyata orang itu adalah Bram. Dari sudut mataku, aku mengintip dan mendapatkan Bram telah telanjang bulat. Kontolnya tegang, basah, dan meninggalkan noda di lantai.

Sejujurnya, Bram jauh lebih ganteng dan berotot dibanding Iwan, namun Iwan sendiri memiliki aura kelaki-lakian yang tak dapat kutolak. Bram menggosok-gosokkan kontolnya ke punggungku, sambil berciuman dengan Iwan. Sesaat kemudian, Bram bergeser, mendekat pada Iwan sehingga kontolnya berada tepat di depan mulutku yang penuh dengan kontol Iwan. Bram memukul-mukulkan kontolnya yang berliur itu ke pipiku. Mau-tak mau, aku melepaskan kontol Iwan dan menggantikannya dengan kontol Bram.

Pada dasarnya, kontol mereka kelihatan hampir sama. Namun, kontol milik Bram nampak lebih besar. Mungkin Karena pemiliknya adalah pria yang berotot. Begitu kontol Bram mendarat dalam mulutku, aku langsung dihadiahi dengan berliter-liter cairan kelaki-lakiannya. Aahh.. Enak sekali.. Aku menyedot, menghisap, menjilati, dan menggigit kontolnya. Aku mengkhayalkan kontol mereka berada di dalam liang duburku secara bersamaan.. Pasti akan terasa asyik sekali.. Seolah-olah dapat membaca pikiranku.

Iwan berkata, “Sabar saja, sayang. Nanti kamu akan mendapatkan kedua kontol kami di dalam pantatmu.”

Iwan mengocok-ngocok kontolnya sambil menikmati caraku menghisap kontol temannya itu.

“Kami akan mengisi perutmu dengan sperma kami, sampai kamu kebanjiran. Kamu mau kan?”

Saya hanya mengangguk sambil terus menikmati kontol terlezat yang pernah kuhisap. Menghisap kontol memang hobiku. Daripada menghisap rokok, lebih baik menghisap kontol. Lebih enak, segar, dan sehat.

Bram nampaknya larut dalam hisapan mautku. Sambil mengerang tertahan, dia memejamkam matanya rapat-rapat dan terus memaju-mundurkan kepalaku.

“.. Aarrgghh.. Yeah.. Hisap terus kontolku.. Yeah.. Seperti itu.. Lebih kuat lagi, sayang.. Aarrgghh..” erangnya.

Aku terus menghisap batang itu dengan bersemangat. Sesekali, aku meraba-raba pelernya dan juga dada bidangnya yang perkasa. Aahh.. Iwan yang tak mau ketinggalan, menggosok-gosokan cairan pra-ejakulasinya ke mukaku. Aku tahu keinginannya. Maka dengan adil, aku menghisap kontol mereka berdua secara bergilir. Sementara aku menghisap kontol Iwan, tanganku mengocok-ngocok penis Bram. Dan begitu sebaliknya.

“AArrgghh..”

Tiba-tiba, Bram menjauhkan kontolnya dariku.

Dia berkata, “Saatnya untuk dingentotin.”

Tangannya menepuk pantatku keras-keras. Jantungku berdebar-debar. Dari dulu memang saya sering membayangkan nikmatnya disodomi, namun aku belum pernah mencobanya. Bagai domba yang digiring, saya digiring ke tempat tidur. Kedua pria perkasa itu akan segera merenggut keperjakaanku. Iwan membaringkan tubuhku ke atas ranjang dengan mesra sambil tetap menciumi bibirku.

Tubuhku terbaring telentang dengan kedua kaki terkangkang lebar-lebar sementara Iwan berdiri tepat di pertengahan selangkanganku. Bram berdiri di samping ranjang dan segera mendorong kepala penisnya masuk ke dalam mulutku. Dengan lahap aku menghisap batang itu kembali. Aahh, nikmatnya. Cairan pra-ejakulasi tak henti-hentinya mengalir keluar dari lubang kencing milik Bram.

Dengan penuh nafsu, Bram meremas-remas dadaku sambil mengeluarkan kata-kata kotor.

“.. Yeah.. Hisap kontolku.. Loe suka kontolku, ‘kan? Yeah.. Hisaplah seperti seorang penghisap kontol yang baik.. Buat gue ngecret di mulutmu.. Hisap kontolku..”

Kontolnya didorong lebih dalam lagi, sampai-sampai kepala kontolnya mengenai dinding kerongkonganku. Kontan saya tersedak, namun Bram tak sudi melepaskanku. Sebaliknya, dia makin bernafsu, seakan-akan senang melihatku tersiksa seperti itu.

Aku hampir kehabisan napas namun tetap berusaha sekuatnya untuk mengikuti ritme sodokan kontol Bram. Sementara itu, Iwan meraba-raba perut dan kemaluanku. Dengan lembut, dia berkata,

“Jangan takut, takkan sakit, kok. Yang penting, jangan dilawan. Biarkan saja kontolku masuk. Santai saja.”

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang besar dan basah sedang berusaha membuka paksa lubang pantatku. Pelan namun pasti, benda itu mulai bergerak masuk ke dalam anusku. Sakitnya tak terlukiskan. Untuk pertama kalinya, bibir anusku terbuka lebar dengan paksa, perih sekali. Aku merasa seakan-akan bibir anusku akan sobek seperti plastik yang terkoyak.

“AARRGGHH..!” tangisku.

Namun tangisan and eranganku tak dapat keluar dengan bebas sebab mulutku tersumpal kontol Bram yang besar dan lezat itu. Hanya suara-suara eranan tertahan yang tak jelas yang terdengar.

Akhirnya kepala kontol Iwan telah masuk seluruhnya ke dalam tubuhku. Anusku mencengkeram batang kejantanannya kuat-kuat, tak ingin melepaskannya. Meskipun anusku berdenyut-denyut tak karuan, namun aku sangat menikmatinya. Rasa sakit itu bercampur dengan kenikmatan. Kenikmatan yang kuperoleh dari kontol seorang lelaki. Iwan hanya tersenyum mesum melihat kenikamtan yang jelas tergambar di wajahku. Dia tahu benar seperti apa sifatku. Sifat itulah yang sering dia temukan pada diri semua pelacur. Dia tahu benar betapa aku menikmati keberadaan kontolnya di dalam tubuhku. Setetes cairan pra-ejakulasi menetes di dalam duburku dan mengalir masuk ke dalam ususku. Aku hanya dapat mendesah kenikmatan sambil tetap menghisap kontol Bram.

Tanpa memberi aba-aba, Iwan mulai menggenjot pantatku. Dipompakannya penisnya yang besar itu masuk-keluar, masuk-keluar, masuk-keluar, terus menerus. Semakin lama, pompaannya semakin kuat, seakan ingin menanamkan seluruh batangnya ke dalam tubuhku dan ‘menghamiliku’ dengan benih-benihnya. Tubuhku berguncang-guncang dengan hebat, seiring dengan sodokan kontol Iwan yang makin bertenaga.

Bram nampak mulai bernafsu. Wajahnya mulai berubah kemerahan, menahan sesuatu. Rupanya Bram sudah berada di ambang orgasme. Sebentar lagi dia akan segera ngecret.

“.. Oh sial.. Gue mau keluar.. Aarrgghh.. Yeah.. Telan semuanya.. Telan air mani gue.. TTEELLAANN..!!” Begitu kata TELAN habis diucapkan, kontolnya menggembung besar di dalam mulutku dan mulai menembakan spermanya. CROT! CROT!

“AARRGGHH..!!”, teriaknya.
“.. AARRGGHH..!! UUGHH..!! OOHH..!! YEAH!! AARRGHH..!! OOHH..!!”

Tubuh Bram terguncang-guncnag dan bergetar hebat. Setiap tembakan pejuhnya mengirim listrik bertegangan seribu volt ke seluruh tubuhnya.

CROT! CROT!
Iwan yang sedari tadi asyik menggenjot pantatku, rupanya terangsang habis oleh orgasm kawannya itu. Seperti reaksi berantai, Iwan mulai menunjukkan gejala-gejala akan kelaur sebentar lagi.

“.. Aakkhh.. Aku.. Kkellu.. AARGHH..!! UUGGHH..!! OOHH..!! AARRGGHH..!! UUGGHH..!! AARRGHH..!!”

Iwan terus-menerus mengerang sambil menembakan cairan kejantanannya, membanjiri ususku. CROT! CROT! CROT! CRET!
Aku sendiri terasa penuh, mengerang penuh kenikmatan.

Bram yang masih merem-melek oleh karena orgasmnya yang luar biasa itu langsung memegangkan kontolku dan mengocok-ngocoknya. Tak ayal lagi, aku pun keluar, dalam beberapa detik saja.

“.. Oohh.. AARRGHH..!! OOGGHH..!! AARRGHH..!!”

CROT! CROT! CROT!
Spermaku bermuncratan ke mana-mana, mengenai tubuhku, tubuh Iwan, ranjang, dan tentunya tangan Bram. Badanku menggelepar-gelepar, lubang anusku mencekik kepala kontol milik Iwan yang masih berada di dalam. Kontol Iwan pun melemas begitu tetes terakhir dari pejuhnya menetes keluar.

“AAhh..”

Iwan jatuh menimpa tubuhku dengan lembut, sambil menyisirkan jari-jarinya pada rambutku. Aku sendiri hanya dapat bernapas terengah-engah, letih tapi puas sekali. Bram tak mau ketinggalan. Setelah mengeringkan kontolnya dengan cara menggosok-gosokkannya pada mukaku, Bram berbaring di ranjang dan memelukku. Kami bertiga saling berangkulan, bermain lidah dan bibir. Air liur kami saling bercampur, namun rasanya nikmat sekali. Tangan Bram and Iwan menjamah tubuhku dan mengusap-usap cairan sperma yang menempel pada badanku. Kurasa, aku mulai jatuh cinta pada mereka berdua..

Tamat

Senjata makan tuan

Aku heran mengapa Arya tidak mau menerima cintaku padahal kami sudah dekat dan hampir saling tergantung, dan sampai detik ini aku tetap tak habis pikir kenapa dia menolakku, padahal aku memiliki hampir semua hal yang dia butuhkan untuk kesenangannya. Aku selalu membantu mengerjakan tugasnya, memberi fasilitas mengetik, aku jago main musik dan itu sangat mendukungnya setelah dia bersolo karir.

Aku juga tidak terlalu jelek, malah beberapa teman gay-ku mengatakan aku imut dan seksi. Tapi apa yang terjadi? Sejak aku menembaknya hari itu, dia menyumpahiku habis-habisan dan tak ingin melihatku lagi. Dia bilang tak ingin tertular jadi gay! Dia bahkan ingin membuang semuanya tentangku: pindah kost, pindah tempat kuliah, bahkan mengganti nomor handphone dan mengganti motornya, jadi aku akan kehilangan jejaknya.

Tapi apa sih yang tidak bisa kudapatkan? Sejak di Yogya aku mendapatkan banyak kemudahan karena keahlianku. Aku jago komputer, programmer, sehingga banyak orang yang jadi temanku karena kuperbaiki komputernya atau karena kubuatkan tugas pemrogramannya. Atau banyak anak-anak band yang sering memakaiku sebagai additional player. Termasuk di antara teman-temanku adalah orang-orang penting, orang-orang kaya, dan anak-anak dunia malam.

Dan setelah beberapa bulan aku dibuat patah hati olehnya dan tidak tau jejaknya, seorang temanku yang terkenal alot dan teliti berhasil mendapatkan berita tentang lokasi Arya yang baru, di kampung X, dekat kampusnya yang baru. Tidak sulit untuk menemukannya. Aku ke sana saat malam hari dengan seorang temanku dengan membawa apa saja yang kuperlukan. Tidak bisa mendapatkan cintanya, aku harus mendapatkan tubuhnya, adil kan?

Jam tanganku menunjukkan pukul 21:35 dan terlihat seseorang menutup pintu gerbang kontrakan yang agak keren itu. Lalu setelah lampu depan dimatikan, aku dan seorang temanku yang ahli dalam hal ini kemudian memanjat pagar dan mengendap menuju pintu kamar Arya. Setelah beberapa kali mengetuk, Arya membuka pintu dan betapa terkejutnya dia saat sesuatu mengenai kepalanya dengan telak, itu ulah temanku Doni.

Dia pingsan! Bagus! Level berapa pun dia di perguruan silatnya, ternyata dia tak berdaya menghadapai serangan mendadak dari Doni. Lalu kami menyeretnya ke dalam kamarnya. Aku memberi isyarat pada Doni yang lalu memborgol masing-masing dari kedua tangannya ke samping lalu mengikat kedua kakinya pada sisi-sisi tempat tidur.

“Udah Don, tugasmu selesai, makasih ya?”
“Santai aja lagi, kan kamu sering nolongin aku. Tapi kamu yakin nggak perlu bantuanku lagi?”
“Iya, aku jamin besok aku ketemu kamu dalam keadaan senang.”
“Ya udah, aku pulang duluan ya?” Lalu Doni mengendap-endap untuk keluar dari lingkungan kontrakan itu dan kembali ke markasnya.

Aku tertawa dalam hati. Akhirnya kudapatkan tubuhmu. Siapa suruh kau menolakku? Lalu aku mengendorkan ikat pinggangnya dan membuka kancing bajunya. Kuraba-raba badannya sambil mulai kuciumi mukanya. Aku hanya mendesah-desah merasakan hal yang selama ini cuma jadi impianku. Tak lama kemudian, mungkin karena terganggu suara desahanku, akhirnya dia bangun dan kaget karena ada sebentuk wajah yang menempel pada wajahnya.

“Ooi.. Lepasin.. Beraninya cuman kalo kayak gini aja, pengecut!” Dia mencoba menarik kedua tangannya yang diborgol, juga kedua kakinya, tapi tidak bisa.
“Memangnya kenapa? Ayo, keluarin tenaga dalammu, dasar jagoan takut hantu!”
“Oouggh.. Ternyata kau! Dasar homo tak tahu malu! Aku akan hajar kau”
“Hajar aja kalo bisa”

Aku terus mencumbuinya. Kuperosotkan celananya lalu kubelai-belai pangkal pahanya. Sambil terus berusaha berontak, Arya cuma memejamkan mata sambil berpaling ke kiri, mungkin karena jijik. Lalu aku mulai meraih benda ajaibnya yang panjang dan besar. Kuelus-elus sampai akhirnya tegang juga. Dan dia tidak meronta lagi.

“Aku nggak nyangka, ternyata kamu bisa horny juga sama aku, kenapa dulu kamu tolak aku?”
“Diam!! Ooii.. Lepasin.. Ooi.. Tolong..”

Wah, gawat! Pikirku. Kalau sampai ada yang mendengar. Lalu kunyalakan radio yang ada di sebelah dengan volume yang kira-kira bisa mengelabui orang di luar, tetapi tidak terlalu berisik. Lalu kuganjal mulut Arya dengan mulutku.

“Apa, kamu bisa apa..”

Aku melepaskan baju dan celanaku. Aku terus mengelus-elus batangannya sampai dalam ketegangan maksimal, dan di luar dugaanku, dia mulai mendesah.

“Ouh, jangan.. Jangan..”
“Jangan apa? Jangan lepasin? OO, aku puasin kamu malam ini..”

Aku kocok batangannya beberapa lama sampai precumnya keluar, pertanda dia mulai dialiri nafsu. Kemudian kulepaskan tanganku. Dia terlihat kaget dan ingin protes, tetapi kemudian aku memerosotkan celananya lebih lebar dan, kumasukkan batangannya ke mulutku. Sambil Arya merasa keenakan, tanganku mulai mengelus-elus lubang pantatnya dan dia mengerang-erang karena kegelian.

“Kenapa? Enak ya? Nyesel nolak aku?” tanyaku sinis.
“Li, lepasin tanganku Li, please..”
“Untuk apa? Supaya kamu kabur?”
“Enggak Li, supaya aku bisa ngocok punyamu juga”
“Ah, alasan. Udah diam! Kalo mau bikin aku enak juga, nanti bakalan datang waktunya, nggak perlu pake tanganmu”
“Apa maksudmu?” dia bertanya dengan nada merinding.

Aku tidak mempedulikan lagi kata-katanya, aku terus mengelus-elus lubang pantatnya sambil sesekali memasukkan jariku. Pertama kelingking, lalu telunjuk, ibu jari, dan akhirnya dua jari sekaligus.

“Kamu gila ya? Mau nyodomi aku? Kuhajar kau besok!”
“Udah, tenang aja, nanti juga kamu ketagihan.”

Aku melepaskan mulutku dari batangannya yang basah karena liurku, lalu mengocoknya perlahan-lahan dengan tanganku. Dia semakin mendesah-desah.

“Li, aku mau..” Aku cepat tanggap dan kulepaskan tanganku. Arya kaget.
“Kok dilepasin..?”
“Enak aja, mau orgasme sendirian? Emang dari dulu kau tuh pelit dan egois!”

Lalu aku meletakkan dua buah bantal di bawah tubuhnya sehingga tubuhnya agak terangkat ke atas, dan aku mendekap mulutnya dengan ban pinggang karatenya yang kudapatkan di gantungan. Aku mengubah posisiku sehingga dengan duduk melipat kaki aku bisa mengarahkan batanganku ke anusnya. Aku terus berusaha memasukkan batanganku ke lubangnya, sementara mukanya meringis menahan sakit sambil menggoyang-goyang badannya karena meronta.

“Udah, tenang aja, entar lagi kamu keenakan”

Lalu, bles! Masuklah semua batanganku yang memang sedikit kalah besar dari miliknya. Aku berhenti sejenak. Arya mengambil nafas agak panjang, lalu aku mulai menggesek-gesekkan batanganku di dalam anusnya. Wajahnya terlihat memelas, namun beberapa saat kemudian dia mulai ikut mendesah dengan mulut yang masih tersumpal.

Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, sementara wajahnya merah dan mulutnya masih tersumpal. Akhirnya aku melepas bungkaman mulutnya, dan ternyata dia sedang menggumam sendirian, keenakan. Aku terus memaju-mundurkan senjataku dengan frekuensi normal, sementara wajah Arya terlihat semakin memerah.

“Ayo Li, lebih cepat lagi”

Aku mengacuhkan kata-katanya. Aku tidak mempercepat aksiku, sementara kulihat batangannya mengeluarkan semakin banyak precum. Rupanya dia sangat menikmatinya. Dengan posisiku masih menungganginya dengan duduk melipat kaki, aku mulai sambilanku menciumi dadanya, lehernya, telinganya, dan ia hanya bisa pasrah menanti saat klimaks datang.

“Li, aku nggak tahan lagi, kocokin juga donk punyaku, oh..”
“Udah, tenang aja, bisa diam nggak sih?”

Lalu sekitar lima menit kemudian, aku merasa akan klimaks. Kuhentikan rabaanku pada dadanya, tapi aku mekin ganas menciuminya. Kemudian, Crot! Crot! entah berapa kali spermaku muncrat di dalam anusnya. Badan Arya terus bergoyang-goyang karena belum klimaks. Aku tahu harus memberinya kesan yang mendalam agar dia tak lagi membenciku, bahkan jadi menerimaku.

“Oh, chayank, nggak tahan lagi ya? Sini kulepasin aja, biar kamu melakukan apa aja, terserah”

Aku melepaskan ikatannya karena yakin dia sedang diamuk nafsu. Dan benar, setelah ikatan kaki dan tangannya lepas, dia langsung menciumiku dengan ganas dengan berbagai gaya. Mungkin dia biasa melakukannya pada ceweknya. Aku agak sedih mengingatnya, tapi nafsuku jadi kambuh lagi karena gaya ciumannya terkesan jantan dan romantis.

Dengan agak kasar karena terburu-buru, dia membalik badanku lalu memasukkan batangannya ke anusku dengan paksa. Aku masih kesakitan walaupun beberapa kali aku pernah diperlakukan begitu. Tapi tidak lama, karena akhirnya semua batangannya masuk ke anusku, lalu dia mengganti gaya kami sehingga posisinya dia duduk dengan aku juga duduk di atasnya.

“Kamu nafsu lagi ya? Sini” Lalu sambil meneruskan aksinya, tangan kanannya meraih senjataku yang mulai bertuah lagi, lalu mengocoknya dengan ritme yang sama dengan tusukan-tusukan pedangnya.
“Oh, Li, aku mau keluar.”
“Keluarin situ aja, aku juga mau keluar”
“Oh, Li, enak, oh.. Li, aku..”

Tubuh Arya mengejang lalu kurasakan beberapa tembakan benda kental di dalam anusku, dan Arya pun lemas dengan posisi yang belum berganti. Tangannya terus mengocok batanganku dengan sangat cepat, dan, crot! Crot! Aku orgasme lagi.

Setelah itu, dia menarik badanku sehingga batangannya terlepas, dan hasilnya kami berbaring bersisian. Aku memeluk badannya. Awalnya ia agak meronta, tapi aku tidak mau melepasnya sehingga dia diam saja. Pandangannya ke arah langit-langit dan seperti menyesal.

“Kamu menyesal ya? Mau hajar aku? Hajar aja! Aku udah dapat tubuhmu” kataku agak sinis karena yakin dia sudah telanjur keenakan.

Dia memandangku dengan tatapan tajam. Aku berdebar-debar menunggu reaksinya. Ternyata dia balas memelukku dengan sangat erat.

“Aku nggak mau pura-pura lagi, ternyata aku butuh kamu, dalam segala hal, aku sayang kamu, Li”
“Kalau tau bahwa kau akan luluh setelah kupuaskan, pasti aku akan memperkosamu dari dulu, hehe..” Dia melotot padaku, aku agak ngeri sambil melepaskan pelukan.
“Eh, tenang aja, aku benar-benar sayang, walaupun karena ini aku jadi, GAY!”

Dengan agak pahit dia mengucapkannya. Lalu dia berbalik dan mengambil handponenya di meja.

“Ali, kamu masih di kost deket warung itu? Berapa nomor handphonemu?” Wah, rupanya dia jadi luluh.
“Nomorku nggak kuganti kok” jawabku.
“Iya, tapi aku kan lupa, nomorku udah sering ganti” Lalu aku menyebutkan nomorku.
“Tau nggak? Sejak kamu nolak aku, aku benar-benar merasa nggak ada gunanya hidup. Tapi sekarang, aku..”
“Gimana rencanamu sekarang, mau nginap?” Arya memotong kata-kataku.
“Kalau boleh” jawabku.
“Kamu sendiri gimana? Kamu kan punya Erni, dia setia sekali, cantik lagi. Aku selalu cemburu sama dia” kataku.
“Udah, gimana kalo aku putusin dia, kamu seneng?”
“Sebenarnya nggak perlu segitu, asal kamu mau nyediain waktu buat aku, aku udah seneng kok”

Setelah lama diam, dia bicara lagi.

“Li, kamu mau kan nangani lagu-lagu baruku buat album besok?” Sambil menepuk pundaknya, aku menjawab.
“Iya lah, apa gunanya aku jadi sephiamu. Udah, pake tu baju!”
“Nggak ah, aku pengen anu lagi, kamu aja bisa dua kali”

Aku tertawa terbahak-bahak. Malam itu kami melakukannya berkali-kali dan kami hanya tidur beberapa jam karena jam 7 pagi dia mengantarku pulang ke kost. Sesampai di kostku, aku pamit mau mandi. Setelah itu, aku memakai deodoran lalu menyemprot badanku dengan parfum kesukaanku. Kulihat Arya cuma bengong.

“Kenapa Ya’?” aku bertanya dengan heran.
“Nggak kusangka ternyata wangi badanmu bikin aku terangsang lagi”

Lalu dia mengunci pintu kamarku dengan buru-buru lalu menciumi badanku yang hanya dibalut handuk. Aku jadi tegang sendiri. Dia melepas handukku lalu mengocok batanganku sambil mulai menciumi wajahku. Aku mengerang-erang keenakan. Aku sadar tentang situasi dan kondisi yang berlaku, lalu menyetel radio keras-keras. Arya menarikku lalu membantingku di kasur. Untung kostku sepi karena semua orang sudah pergi ke kampus atau bekerja. Arya melepasi pakaiannya lalu mulai menciumi dadaku, leherku, bahkan ketiakku diciuminya. Aku kegelian sambil mencari-cari senjatanya. Setelah kutemukan lalu kukocok pelan-pelan.

“Ya?”
“Hm? Ada apa? Mau ngomong sesuatu”
“Kamu pernah ngesex sama cewekmu?”
“Belum, kenapa?”
“Berarti belum nyobain 69 ya?” tanyaku lagi.
“Apaan tuh?” Lalu aku mengubah posisi sehingga saling berbalik. Aku mengulum batangannya.
“Kamu coba deh kulum punyaku juga, asyik loh”

Lalu kami saling mengulum. Setelah beberapa menit, dia membisikkan bahwa dia ingin menyodomiku lagi. Aku persilakan dia. Dia melihat minyak rambut yang ada di sebelah meja komputerku lalu mengoleskannya pada anusku, batanganku, dan batangannya sendiri. Setelah itu dia mengocok batanganku dengan mesra. Terasa lain karena kali ini memakai pelumas yang licin. Setelah dia yakin aku terbang ke alam antah berantah, dia langsung memasukkan senjatanya ke lubangku. Aku menjerit sebentar lalu mulai berubah jadi keenakan. Dia terus memaju-mundurkan senjatanya di anusku sedangkan aku mengocok milikku sendiri.

“Li, aku mau klimaks, oh..”

Aku juga mempercepat kocokan pada batanganku, dan saat dia menjerit, aku pun klimaks. Tanpa mencabut senjatanya, dia mencium keningku dengan manis.

“Kamu nggak pengen nyogok aku juga, li?”
“Nggak ah, kan aku udah klimaks juga. Lagian capek, dari tadi malam.”

Lalu kami saling tersenyum dan saling mencium sampai kusuruh dia mandi diikuti olehku yang juga mandi di kamar mandi sebelahnya.

Setelah itu kami tidur di kamarku sampai siang dan dia kembali ke kontrakannya. Hari itu tidak satu pun dari kami yang pergi kuliah, maklum, sedang bernostalgila, eh, nostalgia.

Tamat

Menang taruhan

Aku seorang mahasiswa, Riki namaku. Sejak awal kuliah aku kost di daerah Pahlawan Bandung, dan aku serumah dengan enam orang cowok yang kebetulan semuanya adalah mahasiswa. Aku tidak terlalu cakep, tampangku standar dengan bodi yang tidak terlalu besar, kesimpulan aku ini orangnya biasa-biasa saja. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan sesama jenis, tapi sejak ada anak baru itu ada perasaan aneh dalam hatiku.

Oki nama anak itu, sudah dua bulan dia kost di tempat ini, dan sekarang dia masih SMU kelas I usianya kurang lebih 15 tahunan dan ingin mencoba hidup mandiri di Bandung, asalnya sendiri dari Lampung. Anaknya cukup ganteng dan gagah. Dia anaknya cepat akrab dan suka bercanda. Pernah waktu aku sedang minum aku diganggunya sampai tersedak, dan dia cuma tertawa sambil melarikan diri. Pernah juga waktu dia baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk, handuknya aku tarik dan saat itulah pertama kali aku melihatnya telanjang bulat. Secara refleks aku melihat ke batang kemaluannya dan jantungku berdegup sangat kencang, terutama setelah melihat batang kemaluannya yang lebih besar dari punyaku dan tanpa aku sadari dia lalu merebut handuk yang aku pegang dan aku pun segera lari sebelum kena tinjunya sambil tertawa.

Sejak saat itu perasaanku tidak karuan, aku sering membuka situs-situs khusus homo dan aku mulai sulit melupakan dirinya, terutama saat dia telanjang batang kemaluanku pasti langsung tegang dan pasti setelah itu aku langsung onani sambil terus membayangkannya. Seperti biasa kalau musim liburan semester anak-anak kost-an pada mudik, kecuali aku dan Adi karena kebetulan kami berdua sama-sama seret alias bokek belum dapat kiriman. Sedangkan Oki masih belum libur maklum dia kan anak SMA. Dan untuk menghilangkan kebosanan kami bertiga nonton VCD (tapi kalau ada Oki kami nggak nonton VCD porno, soalnya dia itu masih lugu banget, bahaya!) dan kadang main remi. Karena kesibukan inilah aku sedikit melupakan hasratku pada Oki.

Tapi belakangan ini, setelah Adi pulang karena ibunya mendadak sakit dan dia dijemput kakaknya, tinggal aku dan Oki di kost-an. Perasaan aneh itu mulai lagi, aku sulit membendungnya, rasanya aku sangat ingin sekali melumat batang kemaluannya itu sepuasnya, terlebih lagi si Oki sering tidur di kamarku soalnya di kamar atas dia nggak ada temen, sepi katanya. “Ah aku suntuk banget nih Mas, bosen nggak ada kerjaan mau pulang nanggung, bentar lagi masuk, nonton CD bosen filmnya itu-itu lagi, jalan-jalan belon dapet kiriman.”
Aku cuma tertawa mendengarnya, tapi kemudian timpul pikiranku untuk dapat menyalurkan keinginanku.
“Maen remi saja yuk! tapi ada taruhannya.”
“Beeu tarohan, duit saja pas-pasan buat makan ini diajak tarohan, mending kalau menang, kalau kalah puasa deh aku.”
“Tenang Ki tarohannya bukan uang tapi siapa yang kalah harus buka bajunya sampai telanjang, mumpung nggak ada orang di rumah, gimana berani nggak?”
Oki kelihatannya sedikit terkejut tapi dia juga tertarik.

“Boleh juga tuh Mas, terus kalau udah telanjang udahan saja ya Mas?”
“Ya nggak lah, apaan yang enak ya.”
“Eh nyuciin baju yang menang saja Mas sekalian traktir makan.”
“Ah nggak seru, ngapain pake acara telanjang kalau cuman gitu, mm gimana kalau yang kalah harus ngejilatin batang kemaluannya yang menang biar seru?”
“Haa gila Mas jorok banget!”
“Ya resiko namanya juga tarohan harus mau apapun juga dong. Mau nggak kalau nggak ya udah.”

Oki cuman diam, dan kemudian aku pun pura-pura nggak ambil pusing dan sibuk membereskan tugas-tugasku. Cukup lama Oki cuma diam, selang waktu kemudian, “Maen remi saja yuk Mas, suntuk nih bolehlah tarohan yang kayak tadi dari pada nggak ada kerjaan, lagian cuman ngejilat batang kemaluan ini dan nggak ada masalah.” Dalam hatiku bersorak senang, tapi aku pura-pura males dan nggak ambil pusing. Aku lihat Oki sudah mengambil kartu remi di laci lemariku dan duduk di karpet kamarku. Aku pun mendekatinya dengan jantung yang terus berdegup kencang.
“Bagiin saja Ki, kita liat siapa yang bakalan jadi penjilat batang kemaluan he.. he.. he..”
“OK siapa takut.”

Permainan pun dimulai, karena cuma kami berdua aku tidak terlalu sulit memegang kendali permainan, sehingga aku dengan mudah menang atau kalah, soalnya remi adalah keahlianku. Setelah beberapa kali main, sekarang aku tinggal pakai celana dalam dan Oki masih tersisa celana pendeknya saja. Dan seperti sebelumnya kali ini pun aku pura-pura kalah sehingga aku harus melepas celana dalamku.
“Wah Mas batang kemaluanmu kecil ya Mas kayak jempolku saja.”
“Biarin yang penting masih bisa bikin anak ukuran bukan masalah.”
Memang batang kemaluanku tergolong kecil panjangnya kalau lagi tegang cuma 9 cm dan dengan diameter 3 cm, aku pun tidak PD dengan ukuran penisku tapi ah bodo amat batang kemaluanku ini. Aku melihat Oki cuma tertawa meledek tapi aku merasa senang saat dia memperhatikan aku saat aku telanjang.

“Wah Mas, jangan-jangan nggak jadi nih acara jilat batang kemaluannya.”
“Tenang Ki, aku pantang menelan ludah sendiri, tapi jangang seneng dulu aku belum mengeluarkan jurus pamungkasku.”
Dan kami pun melanjutkan permainan, sampai akhirnya Oki kalah dan harus melepaskan CD-nya. Saat dia membuka celana dalamnya, batang kemaluanku langsung berdiri, tapi langsung aku tutupi dengan kedua kakiku sambil berpura-pura tertawa meledek.
“Wah Ki, batang kemaluanmu gede juga ya dua kalinya punya aku.”
“Eh siapa dulu dong kan disesuaikan bodinya, tapi sialan satu sama sekarang, tapi kita liat saja siapa yang bakalan kalah sekarang Oki atau Mas Riki.”

Oki lalu membagikan kartu dan kami melanjutkan permainan lagi. Tapi tidak seperti biasanya aku pura-pura mengalah, sekarang aku benar-benar kalah karena kartu yang aku punya benar-benar hancur dan akhirnya aku kalah, walaupun sebenarnya itu yang aku inginkan.
“Wah sialan kartuku rusak ancur nih aku dasar licik kamu, wah aku harus ngejilat batang kemaluan kamu mana pasti bau lagi.”
“He.. he.. he.. resiko Mas lagian kan cuman ngejilat saja bukannya mencium baunya seperti yang Mas bilang.”
“Sialan kamu Ki, udah sini aku jilat batang kemaluan mu yang gede itu.”
Oki kelihatanya sedikit ragu-ragu.
“Sekali saja ya Ki ngejilatnya, aku takut muntah,” pura-pura aku mengalihkan perhatiannya, supaya dia tidak terlalu tegang.
“Sini batang kemaluan kamu.”

Oki cuma tertawa, lalu aku membuka kakinya yang dia lipat dan aku luruskan. Aku sesaat menikmati pemandangan yang selama ini aku harapkan dan meresapi aroma di sekitar batang kemaluannya si Oki. Aku pura-pura melihat ke arah Oki dia cuman mesem tapi juga sedikit ragu, “Susah ki kalau gini kasih aku ruang dong,” lalu aku suruh Oki bersandar dan kedua tangannya menopang badannya kebelakang sambil terus memperhatikanku, tibalah kesempatanku. Aku pegang batang kemaluannya dan bukannya menjilat batang kemaluannya si Oki tapi langsung melumatnya ke dalam mulutku, si Oki terkejut, “Eh Mas mau diapain?” sambil tangannya memegang kepalaku dan menjambak rambutku.

Aku nggak peduli, aku terus mengulum batang kemaluannya walau kepalaku sakit dijambaknya, tapi kemudian tangannya mulai mengendur dan dia mulai menikmatinya. Batang kemaluannya aku rasakan mulai tambah besar cepat sekali tegangnya rupanya dia mulai terangsang, batang kemaluannya yang semula masuk semua ke mulutku sekarang cuma separuhnya saja. Aku terus mengulumnya sambil tanganku mengocok batang batang kemaluannya. Sesekali aku melihat ke arah Oki tangannya tetap menopang badanya dan kepalanya mendongkak ke atas, matanya terpejam dan aku hanya mendengar rintihannya, “Ehh.. ss.. ahh.. Mas.. ahh..” pantatnya ikut bergerak-gerak mengikuti kulumanku. Aku terus mengulumnya, kadang aku kulum zakarnya, kemudian aku kulum dan sesekali aku sedot kepala penisnya. Rasanya sedikit asin, tapi hal ini justru menambah semangatku. Oki mengelinjang saat aku menjilati lubang batang kemaluannya, “Ahh.. Mas aduh sshh.. terus Mas ahh..” Aku mengulum batang kemaluannya sambil terus memperhatikan wajahnya yang mulai memerah dan sesekali tersenyum kepadaku. Oki kadang melihatku dan kadang memejamkan matanya menikmati kuluman dan sedotanku. Kadang aku menggigit pelan batang kemaluannya dan membuatnya semakin mendesah.

Aku terus mengulum dan menyedot batang kemaluannya, kadang aku sedot dengan kuat dan kadang aku hanya mengusapnya perlahan dengan bibirku. batang kemaluannya sudah basah oleh air liurku yang menetes pada batang batang kemaluannya. Aku mengulum, menyedot, menggigit pelan seperti sedang menulum permen coklat kesukaanku. Sambil tengkurap aku terus mengulum batang kemaluannya. Kaki Oki mulai bergerak-gerak dan aku merasakan pahanya juga sedikit menegang pantatnya bergerak mengikuti sedotan mulutku, penisnya juga bertambah panas dan kepala penisnya mulai membesar, “Ehh.. Mas.. aduh.. Mas.. enggkh..” Oki mendesah, kepalanya mendongkak ke atas, mulutnya terbuka mengeluarkan erangan nikmat dan matanya terpejam meresapi kenikmatan yang dia rasakan. Aku merasakan kepala batang kemaluannya bertambah besar dan berdenyut-denyut, terus aku sedot kepala batang kemaluannya dan tanganku mengocok batangnya, dan aku hampir saja tersedak saat pantat Oki naik menerobos mulutku dan masuk ke kerongkonganku. Dan kemudian kurasakan ada sesuatu yang panas menyembur berkali-kali di kerongkonganku dan memenuhi mulutku, rasanya amis, kenyal dan sedikit asin tapi sungguh nikmat sekali, dan semuanya kau coba telan walaupun sebagian keluar dari mulutku dan mengenai batang batang kemaluannya Oki.

Rasanya luar biasa merasakan semburannya di mulutku sekaligus melihat wajah Oki yang diterjang rasa nikmat yang luar biasa. Aku masih terus menjilati dan mengulum batang kemaluannya, membersihkan sisa-sisa mani dari batang kemaluannya. “Udah Mas geli ahh..” kemudian Oki bersandar pada tembok kamarku, dan aku tetap tengkurap melihat sisa-sisa kenikmatan dari wajah Oki selain itu mulutku juga sedikit pegal cape mengulum dan menyedot batang kemaluan Oki yang besar itu.
“Wah Mas, baru sekarang aku ngerasain yang seenak ini.”
“Emangnya kamu belum pernah mimpi basah Ki?”
“Mimpi basah, ngompol maksud Mas Riki, kan Oki udah gede Mas masa sih ngompol, tapi waktu kelas tiga aku pernah tidur dan celanaku basah tapi nggak bau pesing Mas, sekarang kadang juga masih suka gitu.”
“Ya itu yang namanya mimpi basah masa sih nggak ada yang ngasih tau, berarti belum pernah onani dong?”
Oki kelihatannya bingung.

“Wah payah nih anak kampung, yang tadi kita lakuin itu namanya oral sex, ada juga anal sex itu melalui dubur dan kalau dari vagina itu yang paling umum dan kalau onani itu main sendiri gitu bego!”
Oki cuman tertawa, kemudian dia mendekatiku.
“Mas aku mau nyobain dong yang kayak tadi,” biar adil gitu.
“Mau ngejilatin batang kemaluanku boleh saja bukannya harus aku kalahin dulu nih.”
“Ah Mas ini, sekarang bukan waktunya main kartu.”

Dan kemudian Oki mulai mengulum batang kemaluanku, aku cuma bisa mengerang sambil pantatku mengikuti isapan mulut Oki, kadang giginya mengenai batang kemaluanku sedikit sakit tapi enak, sampai akhirnya aku menyemburkan maniku di mulutnya, Oki cuma tersenyum kemudian dia tidur disampingku. Kami baru bangun waktu hampri jam delapan malam, lalu kami bangun karena perut kami lapar kami masak mie dan makan sambil masih telanjang mumpung lagi nggak ada orang.
“Eh Ki gimana kalau kita nyobain anal sex, tadi oral udah sekarang kita coba yang baru rasanya nggak kalah deh.”
“Emangnya kayak gimana sih, emangnya bisa masuk kan dubur kecil lubangnya nggak kayak mulut?”

Aku lalu berdiri dan mengambil sabun cair yang biasa aku gunakan untuk onani, sambil duduk di meja makan, kemudian dan duburku aku olesi dengan sabun sambil jari tanganku kumasukan. Oki hanya melihatku dan batang kemaluannya sudah mulai tegang lagi. Aku coba memasukan dua jariku dan aku putar-putar, rasanya enak sekali. Setelah bisa masuk tiga jari lalu aku mengoleskan sabun tersebut ke batang kemaluan Oki, dan aku menyuruhnya memasukkan batang kemaluannya ke duburku. Oki mencoba memasukannya ke dalam duburku. Agak perih dan sakit, rasanya ada sesuatu yang mendorong masuk ke dalam usus besarku. Oki sedikit meringis mungkin perih dan sedikit seret, dia mulai ragu-ragu mungkin melihat aku merasa kesakitan tapi kemudian aku dorong dengan paksa pantatnya sakit tapi aku merasakan nikmat saat semua batang kemaluannya masuk ke dalam duburku panas dan usus duburku terasa penuh oleh batang kemaluannya, Oki mendesah kemudian terdiam tidak tahu harus bagaimana.

Setelah aku merasa sedikit terbiasa aku suruh Oki menggerakkan pantatnya maju mundur, batang kemaluanku sendiri sudah ikut tegang dari tadi. Oki menggerakkan pantatnya maju mundur sambil mengerang nikmat,
“Terus Ki ahh.. enak sekali dorong yang keras Ki ahh.. sshh.. ahh Oki.. ahh..”
“Mas enak sekali Mas akh.. Oki mau keluar nih Mas..”
Gerakan Oki bertambah cepat dan aku pun merasakan nikmat yang luar biasa, dan sepertinya ada sesuatu yang mendesak keluar dari batang kemaluanku,
“Ahh.. Mas Oki kelu.. akhh..”
Aku merasakan nikmat yang berlipat ganda dari duburku yang kurasakan ada semburan panas menyembur ke usus besarku.

Kemudian Oki masuk ke kamarku dan laluu menjatuhkan dirinya ke tempat tidurku, aku mendekatinya dan mengoleskan sabun cair ke duburnya dan juga ke batang kemaluanku. “Ki giliran aku ya”, Oki cuma tersenyum. Kemudian aku langsung mencoba memasukkannya ke dalam duburnya, sedikit seret, lalu suruh oki mengangkat kakinya dan memegang bawah lututnya. Aku tambahkan sabun cair ke duburnya sambil kedua tanganku masuk, kemudian aku mencoba memasukkan batang kemaluanku lagi, seret dan perih yang pertama aku rasakan tapi aku tetap penasaran dan dengan sekali sentakan aku masukan batang kemaluanku ke duburnya, “akhh..” aku dan Oki mengerang bersamaan sakit tapi enak. Aku menindih tubuh Oki dan bertopang pada ke dua tanganku sambil pantatku bergerak naik turun menghujam duburnya Oki. Gerakanku aku percepat saat batang kemaluanku mau meledak dan aku hujamkan batang kemaluanku sedalam mungkin di dubur Oki, “Engkhh.. aakkhh..” batang kemaluanku menyemburkan maninya ke dalam dubur Oki dan kurasakan bagian pusarku juga ada cairan kental yang menyembur, ternyata Oki menyemburkan maninya lagi.

Aku menjatuhkan tubuhku di atas tubuh Oki dan setelah kurasakan semua kenikmatan itu sudah mulai hilang dan batang kemaluanku mengecil lagi aku cabut batang kemaluanku, kemudian aku menjilati sisa-sisa mani di perut dan batang kemaluannya bau tapi nikmat, begitu juga Oki menjilati batang kemaluanku sampai beris. Kemudian aku berbaring di samping Oki, dan kami pun tertidur karena kelelahan. Kami bangun kesiangan, dan akhirnya Oki membolos kuliah dan aku menelepon ke sekolahnya kalau Oki sedang sakit. Kemudian kami mandi bersama-sama, di kamar mandi aku mengajarinya melakukan onani. Sejak saat itu kami sering melakukannya baik onani dan oral sex dengan berbagai variasi. Tapi anal sex kami merupakan yang pertama dan terakhir soalnya aku nggak mau ambil resiko dengannya, lagi pula menurutku lebih enak melakukan onani dan oral sex lebih aman dan lebih bersih.

Tamat

Melepas rindu

Fan.. Irfan.. ada telepon dari Arie Semarang, suara kakakku dari luar. Teman SMA-ku namanya Arie meneleponku, dia mengatakan kalau dia akan dipindahtugaskan di Surabaya. Dan dia memintaku untuk menjemputnya di stasiun Pasar Turi Surabaya, besok. Meskipun keluarganya ada di Surabaya, tapi dia minta untuk menginap di rumahku selama 3 hari. Aku sih setuju saja, lagian kita sudah lama tidak ketemu. Walaupun dalam hati aku tidak habis pikir, tumben sekali dia meneleponku, padahal dia sangat jarang menelepon aku, apalagi aku disuruh menjemputnya, tidak biasanya dia seperti itu. Bahkan dia tidak pernah main ke rumahku selama dia pulang ke Surabaya, paling-paling hanya nelepon saja, itu pun just say hello dan tanya kabar saja.

Keesokan harinya, aku menjemput Arie di stasiun Pasar Turi.
“Hai.. Irfan ya”, teriak seseorang dari arah belakangku.
Aku menoleh, “Arie..”, aku tertegun memandang dia keseluruhan. Dia sekarang lain, wajahnya tampak bersih dan tubuhnya atletis.
“Kamu sekarang cakep bener.. Ar”, kataku memulai pembicaraan.
“Operasi plastik di mana”, ledekku langsung.
“Ngacau kamu Fan”, jawab dia.
Kamipun tertawa bersama. Kami berjalan menuju tempat parkir sambil tetap ngobrol ngalor-ngidul, tertawa gembira sekali.

Malam itu hujan turun rintik-rintik. Membawa suasana lumayan dingin. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 23:00 WIB. Aku dan Arie menonton TV, sampai semua keluargaku sudah tidur. Kita berdua ngobrol tentang kenangan bersama teman-teman SMA dulu, tentang keluarganya, keluargaku, pengalaman kerjanya, dan semuanya yang bisa jadi bahan pembicaraan.

Sampai aku akhirnya menutup omongan, “Udah malam Ar, kamu nggak capek setelah melakukan perjalanan jauh? tidur sana”, pintaku kepada Arie.
“Ntar ah.. nanggung nih, filmnya bagus.. lagian tidur sendirian malas ah, hujan lagi”, jawab Arie.
“Mau ditemani..?” godaku.
“Siapa takut.. hehehe, lagian udah lama aku merindukan suasana seperti itu bersama kamu.”
“Hah! oh my God..”
Aku sangat kaget dia bilang seperti itu. Emang sih waktu SMA dulu, aku sangat suka padanya, tapi entahlah dengan dia, aku nggak tahu apakah dia gay atau tidak. Dan malam ini dia bilang begitu. Apakah serius? Dan malam ini.. apakah akan terjadi?, pikiranku melayang bahagia, takut, ragu, kacau bercampur jadi satu.

“Ngaco kamu Ar.. masa tubuh sekekar kamu bisa suka ama cowok, ama aku lagi?”, jawabku cepat.
“Fan..” Arie membuka pembicaraan, “Sebenarnya aku datang ke Surabaya ini ada tujuannya.”
“Tujuan apa Ar”, tanyaku. (dalam hati aku berpikir, mulai serius nih).
“Aku pengen ketemu kamu Fan, aku kangen.. Aku tidak bisa membohongi perasaanku, maaf Fan.., aku.. suka, say..yang dan bahkan aku cinta kamu, dan kini aku rindu kamu”, suara Arie tergagap.
“Oh my God..” untuk kedua kalinya aku semakin gemetar. Berani sekali anak ini, pikirku.
Belum sempat aku membuka mulut, Arie sudah membuka percakapan lagi, “Dari SMA dulu, sebenarnya aku begitu suka pada kamu Fan, tapi aku masih takut.. entah apa yang aku takutkan, aku tidak tau”, ungkap Arie.
“Aku selalu memendam perasaanku kepadamu, sampai aku lulus kuliah dan diterima kerja di Semarang”, sambung dia lagi.
Aku hanya diam.. kaku rasanya, walau sebenarnya aku juga masih cinta dan mengharap cinta Arie.

Aku sangat kaget, saat Arie menarik tubuhku untuk bersandar di dadanya. Tubuhku gemetar.. aku bingung, apa yang harus kulakukan. “Please Fan.. aku ingin kemesraan bersamamu”, pinta Arie manja kepadaku. Memang aku pernah suka, bercinta dengan orang selain Arie. Tapi dengan Arie, aku sungguh-sunggu tidak bisa berkutik. Perasaanku campur aduk. Dan dia adalah orang yang telah lama kudambakan dan kucintai.

Akhirnya aku pun bersandar di dada Arie di sofa depan TV. Arie dengan lembutnya mengelus rambutku, membelai pipiku. Dan terkadang mengelus dadaku. Terasa bahagia sekali. Aku sangat terbuai dengan tindakannya. Dan aku semakin menyandarkan diri di dada Arie yang bidang, dan beraroma segar (entah parfum apa yang dia pakai). Aku kaget sekali saat jari-jari Arie mulai sedikit nakal, jemarinya mulai meraba putingku dan dimainkannya puting susuku. Terasa nikmat sekali.

Dari rasa romantis dan sayang, Aku pun akhirnya sudah mulai terangsang dan tegang. Aku mulai gelisah untuk berdiam diri, aku pun mulai bergerak, aku membalas belaian Arie dengan rabaan di dadanya. Aku mencari puting susunya di balik kaos yang dia pakai. Dan Aku mencari-cari kejantanan di balik celana Arie. Saat ketemu langsung kupegang batang kejantanan Arie. Terasa keras, hangat dan nikmat. Arie tidak diam dengan kegiatanku seperti itu. Dia balas meremas batang kejantananku. Semakin lama semakin keras.

Arie pun sudah tidak kuat lagi. Arie berbisik, “Ke kamar yuk.. Fan” Aku pun mengangguk. Tanda mengiyakan. Aku minta digendong. (manja sekali).

Dan di dalam kamar.., “Irfan.. aku tidak ingin ada anggapan dipikiranmu bahwa aku hanya membutuhkan seks darimu, aku melakukan ini karena aku mencintaimu Fan, dan aku benar-benar mencintaimu”, bisik Arie sambil mengecup keningku.
“I love you Fan..”
“I love you too Arie..”
Arie mencium keningku, lama sekali, terasa bahagia. Dari kening turun ke bawah, ke daerah mata, hidung, pipi dan akhirnya sampai di bibir. Bibirnya yang halus dengan lembutnya mengecup bibirku. Aku tidak bisa berkata lagi. Bibirnya terasa hangat dan nikmat. Aku langsung membalas ciuman Arie. Kumasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Kumainkan lidahku bersama lidahnya. Saling hisap, saling gigit. Cukup lama kami berciuman dan bermain lidah, kami berdua begitu menikmati. Aku pun melepaskan ciumannya, bibirku bersama lidahku turun ke lehernya. Kumainkan lidahku di daerah lehernya, telinganya dan leher belakangnya. “Akhh..” suara Arie merintih nikmat. Tubuh Arie bergetar. Kepalanya meliuk-liuk.

Tanganku tidak tinggal diam. Sambil bibirku melumat leher Arie, tanganku masuk ke dalam kaos Arie. Kucari putingnya, kuraba, kupelintir halus. Tubuh Arie semakin bergetar. “Irfan.. aku cinta kamu”, suara Arie, sambil mendongakkan kepalaku dan mencium keningku.

Aku mulai membuka kaos yang sejak tadi menutupi tubuhnya. Kupandangi dadanya yang begitu seksi. Kulitnya lembut dan halus. Begitu terawat. Kubelai dadanya dan kujilat putingnya. Kuhisap puting kirinya sementara tangan kananku memainkan puting kanannya. Dan tangan kiriku mulai merasuk ke dalam celana pendek yang dia kenakan. Rupanya Arie sudah ngaceng dan celana dalamnya sudah basah oleh air semen (precum).

Arie tampak sekali pasrah, dia hanya mendesah nikmat dan tangannya membenamkam kepalaku untuk tetap menghisap putingnya. Lidahku bergerak ke ketiaknya, baunya sangat seksi sekali. Kujilat dan kuhisap lembut bawah ketiaknya. Cukup lama aku membenamkan kepalaku di ketiaknya sambil kumainkan lidahku, lalu kujilat lagi putingnya dan kuhisap dan kugigit pelan. Lidahku turun, dari puting ke pusar dan akhirnya sampailah mulutku di celananya. Kuturunkan celananya. Kini Arie hanya mengenakan celana dalam. Batang kemaluannya terasa sesak di dalam celana dalamnya. Kuraba, kujilat batang kemaluan Arie yang masih di dalam celana dalam, kumainkan lidahku, tanganku meremas pantatnya yang keras dan berisi. Aku sudah tidak sabar, kubuka celana dalamnya dengan mulutku. Kini Arie sudah benar-benar telanjang, begitu indah tubuhnya dan begitu seksi. Aku membalikkan tubuh Arie menghadap ke tembok.

Tanganku mulai meremas halus pantatnya dan batang kejantanannya. Arie merintih nikmat sambil bergoyang-goyang dan merenggangkan kedua pahanya lebar-lebar biar semua bisa kulihat, bulu-bulu di belakang bijinya, lubang pantatnya, semua kelihatan. Tanganku meraba-raba pantatnya, jariku membelai buah kemaluannya dari belakang, dan lidahku sibuk juga di bijinya dan di pantatnya sampai nafasnya makin lama makin berat karena menahan nafsu dan nikmat.

Sekarang Arie merintih, “Akkhh Irfan teruus, mmh.. enak.. jangan berhentii.. teruus!” Ternyata dia paling suka merasakan lidahku di pantatnya dan di lubang pantatnya. Tetapi aku ingin merasakan bagian badannya yang lain juga. Kubalikkan badannya, batang kemaluannya tegang dan keras. Rambut kemaluan yang dicukur sedikit menambah seksi batang kemaluannya. Kulit Arie memang halus dan bersih.

Aku semakin bernafsu, rasa sayang, cinta dan nafsu seks menguasai diriku. Aku mulai mengulum batang kejantanannya. Pada saat batang kemaluannya masuk ke mulutku, badannya gemetar. Kuputar lidahku mengelilingi kepala batang kemaluannya. Kemudian aku berhenti di bagian lubang maninya, dan kumainkan lidahku di lubang itu sambil kadang kuhisap lembut. Tak kusangka ternyata tubuhnya semakin bergetar, menggelinjang merasakan kenikmatan dan mengeluarkan desahan yang tertahan. “Oooh.. akhh enak sekali.. Fan..” Batang kemaluannya masuk ke mulutku seluruhnya. Sambil mengulum kemaluan, tanganku meraba putingnya secara bergantian, kuremas putingnya. Setelah batang kemaluannya, kini pelirnya kujilat, kumainkan lidahku di pelirnya dan kuhisap pelan. Kuhisap juga selangkangannya, pahanya dan seluruh bagian tubuh Arie.

Arie sudah tidak tahan lagi. Ternyata Arie tidak mau hanya menikmati rangsanganku saja, dia kini menyuruhku berdiri dan saat aku berdiri.. Langsung saja dia mengulum bibirku, dia mainkan lidahnya dalam mulutku. Tangannya mulai aktif merangsang, meraba seluruh bagian tubuhku. Aku merasa geli nikmat dan Arie pun mulai membuka kancing bajuku satu persatu sambil mulutnya tetap melumat bibirku. Aku pun telanjang dada. Lama Arie memandang dadaku dan dia tersenyum bahagia. Arie mulai menjilat leherku dan daerah telingaku sementara tangannya masuk ke dalam celanaku. Dan dia melakukan secara agresif, di luar bayanganku.

Jilatan Arie kini mulai menjalar ke puting kananku. Dia hisap lembut terkadang keras dan sedikit mengigit putingku yang sudah mengeras, Arie semakin bernafsu menikmati seluruh tubuhku. Jilatan demi jilatan telah membuatku benar-benar diatas puncak kenikmatan. Aku hanya bisa pasrah saja. Arie mulai menurunkan kepalanya di sekitar perutku. Jilatan lidahnya di perutku membuatku menggeliat-geliat tak karuan. Hal ini membuat Arie semakin agresif melancarkan rangsangannya dan menikmati tubuhku. Kadang-kadang Arie menggigit perutku dengan lembut.

Setelah lama bermain dengan perut dan pusarku, Arie mulai mencium tonjolan di celana dalamku yang sengaja tidak dia buka. Gesekan lidah Arie dengan kain celana dalam telah menimbulkan rasa yang nikmat pada permukaan batang kemaluanku. Rasa nikmat yang menjalar ke seluruh batang kemaluanku dari ujung kepala sampai ke pangkalnya. Arie lalu menjilati selangkanganku dengan jilatan-jilatan mautnya yang membuatku menggeliat tak karuan lagi.

Arie sudah tidak sabar ingin melihat dan merasakan tonjolan di balik celana dalamku. Perlahan dia membuka celana dalamku. Kini aku telanjang bulat. Kita sama-sama telanjang bulat. Aku dan Arie bercinta dengan hebatnya. Saling kulum, saling remas, saling cium, saling rangsang, dan saling-saling lainnya, juga dengan style yang berganti-ganti. Saat aku sudah mau orgasme, dengan cepat Arie mengulum batang kemaluanku. Spermaku sudah tak tertahankan mau keluar, “Aaakkhh..” Aku mendesah. Arie langsung menelan spermaku dengan keadaan dia mengulum batang kemaluanku.

Walau batang kemaluanku sudah memuncratkan sperma di dalam mulutnya, namun Arie terus saja mengulum batang kemaluanku. Ngilu dan nikmat begitu terasa menyelimuti batang kemaluanku. Memang hebat permainan lidah Arie, dengan segera aku ngaceng lagi. Arie dengan lahapnya mengulum batang kemaluanku. Dan merangsangku dengan tindakan-tindakan agresif yang membuatku menggeliat dan mendesah nikmat, ya.. seperti pertama kali tadi. Arie tahu daerah sensitif yang disuka olehku. Yaitu daerah puting dan ketiak. Aku sangat menikmati dan mengimbangi permainan Arie.

Lalu, Arie menghentikan permainannya. Arie menyuruhku berdiri”, Fan.. kamu ada lubricate?” tanya Arie.
“Untuk apa Ar?” tanyaku balik.
“Fan.. fuck me”, hanya kalimat itu yang Arie bisikkan di telingaku. Aku kurang setuju.
“Jangan Ar.. aku tidak mau begituan, aku mencintaimu Arie.. kita lakukan dengan cinta”, pintaku.
“Tapi, Aku sangat kepingin Fan.. Aku ingin total dalam bercinta.”
“Aku ingin merasakan hangat dan kekarnya batang kemaluan orang yang kucinta masuk dalam tubuhku, Fan..” ucap Arie lagi.
“Please..” Arie sangat memohon.
Akupun mengangguk. “Baiklah Ar.. kalo itu yang kamu inginkan.”

Lalu dioleskannya Lubricate di lubang pantatnya. Arie memasukkan jarinya ke dalam lubang pantatnya perlahan. Lalu dioleskannya lagi Lubricate di lubang pantatnya.
“Masukkan Fan.. fuck me..” Dengan perlahan aku masukkan batang kemaluanku ke dalam lubang pantatnya. Walau sedikit susah namun akhirnya masuk juga batang kemaluanku ke lubang pantat Arie. Dengan perlahan Arie menggoyang pinggulnya mengimbangi goyangan pinggulku yang maju mundur. Arie dengan perlahan merintih nikmat. Kuangkat kaki kiri Arie, kujilat, kucium.

Aku mengocok batang kemaluan Arie. Dan tidak berapa lama..
“Aku mau keluar Ar..” aku berbisik nikmat.
“Arie masih lama?” tanyaku.
“Bentar lagi mau keluar juga”, jawab Arie.
Akupun segera mencabut batang kemaluanku dari lubang pantat Ari. Dan kukocok batang kemaluanku bersama batang kemaluannya. “Akh.. eemm..” hampir sama suaraku dan Arie. Dan.. tak berapa lama keluarlah spermaku dan sperma Arie tumpah di dada Arie.

Aku dan Arie terkulai lemas. Arie mengecup keningku dan berkata, “Aku bahagia sekali Fan..”
“Irfan juga Ar.. I love you”, sahutku sambil mencium keningnya.
Aku sempat memeriksa lubang pantatnya. Untunglah tidak berdarah.

Waktu menunjukkan jam 2 dini hari saat itu.
“Ar.. mandi yuuk”, pintaku.
“Ntar ketahuan keluarga Irfan lho”, jawab Arie.
“Tenang aja.. itu bisa diatur”, balasku cepat.
Maka mandilah kita berdua, di bawah guyuran shower. Segar sekali. Saling sabun. Aku menggosok tubuh Arie. Demikian juga Arie. Mesra dan romantis.

“I love you Arie”, bisikku.
“I love you too Irfan”, bisik Arie juga.
Rasanya tidak bosan kami berdua mengucapkan kalimat “I Love You”.
Aku dan Arie pun berpelukan. Selesai mandi, kita berdua tidur dalam keadaan telanjang bulat, saling peluk dan cium.
“Selamat tidur sayang.. Semoga mimpi indah..”
Malam itu begitu indah bagi kita berdua. Semoga malam-malam berikutnya, Kami lalui dengan penuh kasih, cinta dan kemesraan. Ya.. we hope so..
Itulah yang selalu kami harapkan. Bahkan lebih dari itu. Yang jelas.. Kita berdua ingin antara cinta, romantis, mesra, sayang, nafsu, seks halus dan keras berbaur jadi satu. Karena bagi kita seks itu suatu seni natural yang perlu melibatkan perasaan dan perlu dilakukan dengan keindahan. Ya.. semua itu untuk kita berdua.

Tamat

Kursus singkat yang menyenangkan

Sebagai junior employee dan baru berkarir di sebuah instansi, aku ditugaskan ikut kursus singkat selama dua bulan di Denpasar, Bali. Ini tentu menggembirakan. Bayanganku, di Bali pasti mudah menemukan yang indah-indah. Oleh karenanya keberangkatanku ini kusiapkan sebaik mungkin. Dari Balikpapan dan transit di Surabaya bagiku cukup untuk istirahat dan membuatku tertidur sesaat, sampai ban Airbus itu menggerinyit mencium landasan pacu Juanda, aku tersentak dari tidurku. Beberapa saat kami melanjutkan lagi penerbangan ke Denpasar. Ketika pesawatku mendarat, ah, bau dupa setanggi itu begitu nyata di hadapanku. Kini aku menginjak pulau Bali, pulau para dewa berada, dan pulau surga di Indonesia.
“Benarkah? Denpasar, aku datang..!” seruku dalam hati, give me your best service.
Aku telah lama mendambakan menemukan seorang cowok yang macho, atletis, seksi, dan belum disunat. Aku ingin menemukan sensasi baru. Kupikir di Bali inilah akan kudapatkan itu.
“Mungkinkah aku memperoleh itu di sini?” tanyaku dalam hati.

Besoknya, setelah semalam tidur di penginapan, aku mencari kost yang cocok dan menemukannya di Jalan Tukad Banyusari. Aku memperoleh kost yang cukup tenang, dengan keluarga yang hangat dan menyenangkan. Satu per satu anggota keluarganya dikenalkan, sampai pada anaknya yang cowok masih SMA, bernama Nyoman (sebut saja begitu, nama aslinya tidak usah kusebutkan, aku kasihan dengannya, dan yang terpenting, that is our secret, ok). Aku terpana waktu Nyoman menyalamiku. Ia kelihatan biasa-biasa saja, tapi aku merasa jantungku demikian berdebar. Anak itu sangat sopan waktu berkenalan denganku. Ia ganteng, atletis, dengan tinggi sekitar 170 cm, dan yang terpenting dia seksi. Kulihat di seragam abu-abu SMA-nya cukup nyata tonjolan kelelakiannya, membuatku semakin mantap untuk menemukan kehangatan padanya.
“Nyoman, aku harus dapat kamu!” seruku dalam hati.
Ya, aku harus dapatkan dia. Aku jatuh cinta pada Nyoman, pada pandangan pertama.

Sama keluarga itu aku akrab. Aku juga biasa iseng mencoba menganyam janur yang diperlukan keluarga itu untuk berbagai keperluan, jadinya aku tidak merasa asing. Yang paling kurasakan sulit di sana adalah soal makan. Untuk itu biasanya sekitar jam 7 malam kuajak Nyoman menemaniku makan di sebuah warung yang bersih dan bersuasana nyaman. Aku merasa sangat dekat dengan Nyoman karena setiap kali kuajak, dia tidak pernah menolak. Dengan senang hati aku selalu diboncengnya. Dan aku sangat menikmati memeluknya dari belakang, merasakan kehangatannya. Aku juga suka mengelus pahanya yang kekar dibalut jeans sobek kesukaannya, dan sering pula kusengaja menyentuh bukit cowoknya yang menonjol itu. Nyoman sama sekali tidak mengomentari kenekatanku itu, sehingga aku sering merasa penasaran. Baginya, kenekatanku itu sama sekali no comment.

Beberapa waktu kursus berlangsung, aku mulai diselimuti rasa bosan. Ditambah lagi menu makanan di tempat kursus yang tidak variatif membuatku sangat jenuh. Untuk menanggulanginya, aku mengajak Nyoman berenang, karena sejak kuliah aku memang hobby berenang. Sejak aku mulai kerja, aku agak jarang berenang. Nyoman kemudian bersedia. Kami janjian berenang pada hari Minggu. Selama berenang aku sering menatap tubuhnya yang atletis dan seksi dengan mencuri-curi, yang saat itu hanya dililit celana renang yang ketat menonjolkan kelelakiannya. Aku meneguk liur setiap kali ia naik ke pinggir kolam untuk istirahat.

Setelah kami cukup puas berenang, kami ke kamar ganti. Di situ, aku menemukan sebagian dari apa yang kuidamkan pada Nyoman. Kami sama-sama bugil waktu ganti, dan rupanya itu hal biasa di Bali. Aku tidak dapat menahan gejolakku pada Nyoman ketika kulihat penisnya yang panjang dengan kulup menjulur keriput. Aku begitu bernafsu menyentuh penisnya dengan lembut.
Nyoman hanya berkomentar singkat, “Ah, Kak Rafael nakal,” katanya sambil memegang tanganku sopan.
“Nyoman, burungmu masih punya kulup ya?” godaku, walau aku tahu mayoritas orang Bali tidak disunat.
Ia tersenyum, “Iya, di sini cowoknya rata-rata kami tidak disunat, lho,” katanya meyakinkanku.
Aku mengangguk, seakan-akan memahami perkataannya. Di hatiku aku merasa idamanku akan terwujud sebentar lagi. Kuputar otak untuk merayu Nyoman.
“Man, nanti kita makan di warung yang biasa ya, habis itu pulang. Aku tidak enak badan nih,” kataku memulai aksiku.
Nyoman kemudian memboncengku.

Malamnya aku cepat masuk kamar, kubilang aku masuk angin. Tidak disangka, Ibu Nyoman malah menyuruh si Nyoman ngerokin aku.
“Wow, thaks Mom..” seruku dalam hati.
Aku buru-buru masuk dan merebahkan diri di kasur.
“Kakak, mau enggak nih, Nyoman kerokin,” katanya waktu membuka pintu kamarku.
“Ehm.., kamu tidak capek, Man?” tanyaku berpura-pura.
“Capek sedikit sih, tapi kan kasihan kakak, besok harus ikut kegiatan. Saya kan sekolah siang, jadi masih bisa nambah istirahat,” katanya meyakinkan.
“Gini aja, Man, kamu tidak usah ngerokin kakak, ya. Kamu cukup pijitin aja deh punggung kakak..” kataku.
Nyoman menurut.

Aku kemudian menelungkupkan badanku, dan Nyoman berdiri di samping ranjang, memijit-mijit otot punggungku. Setelah beberapa menit, kurasakan pijitannya mengendor.
“Kamu capek ya Man?” tanyaku.
“Kalo kamu capek berdiri, dudukin aja badan kakak,” kataku.
Nyoman menurut. Didudukinya pahaku, lalu dia memijat badanku. Aku merasakan tonjolan penisnya yang besar itu menyentuh pantatku, menimbulkan getaran yang sensasional. Aku membayangkan betapa nikmatnya bercinta dengan Nyoman. Aku terhanyut dalam ngantukku sesaat. Tiba-tiba aku terjaga dan kurasakan nafasku agak sesak karena menelungkup cukup lama. Kusuruh Nyoman turun dari badanku, dan aku membalikkan badan.
“Udahan nih?” tanyanya.
Aku mengangguk mengiyakan, “Iya, tapi Nyoman temenin Kakak tidur di sini, ya!” pintaku.
Nyoman mengangguk, sambil membaringkan badannya di ranjang.

Malam itu aku tidak dapat tidur. Nyoman kelihatannya sudah jauh meninggalkanku, dalam kenikmatan bertemu sang dewi malam, dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengelus, meraba dan meremas semua apa yang ada pada Nyoman.

Pada saat menjelang dini hari, setelah kupuas menelusuri lekuk-lekuk tubuhnya yang kekar, aku membisik di telinganya.
“Man, kakak boleh peluk kamu, tidak?” bisikku mengganggu tidurnya.
“Aaah, Kak Rafael nakal lagi. Kalau mau peluk aja Nyoman, tapi Nyoman terus tidur ya!” katanya.
Yes! Nikmat betul memeluk cowok yang kudamba selama berhari-hari, malam itu. Eh, rupanya Nyoman tidak bisa tidur lagi setelah kuganggu. Tangannya kurasakan bergerak-gerak terus, tapi aku tidak peduli. Tanganku mulai menggerayang lagi, kali ini lebih intens ke arah paha, pinggul dan pusarnya. Nafas Nyoman terdengar memburu.

“Kamu tidak tidur ya Man?” Nyoman mengangguk.
Lalu aku kembali memulai aksiku.
“Man, aku pingin sebenarnya dapat cewek Bali,” kataku memancing.
“Tapi Kak Raf tidak punya kesempatan banyak, sekarang sudah sedikit waktu lagi, kakak harus kembali. Kalo tidak dapat cewek Bali, gimana kalo cowoknya aja,” kataku merayunya.
Nyoman senyum aja, ketika tanganku mulai meraba puting susunya. Aku tambah nekat melihat reaksinya yang pasrah. Kuangkat bajunya, lalu kupelukkan tanganku melalui bawah tengkuknya sehingga kedua tanganku bebas memainkan kedua puting susunya yang kurasakan mengeras. Nyoman kemudian mengusap-usap kedua tanganku. Aku makin nekat. Kutarik ia menghadapku, lalu aku melumatkan ciuman yang menggetarkan ke pipi dan mulutnya tanpa ampun. Lidahnya ikut menari-nari bermain dengan lidahku.
“Nyoman, kamu mau kan, kalo kakak minta kamu mesra-mesraan lebih dari ini sama kakak,” kataku memintanya. Nyoman mengangguk dengan mata terpejam. Rupa-rupanya Nyoman sudah benar-benar horny saat itu. Kupikir, inilah saatnya aku leading Nyomanku itu.

Perlahan kukecup lagi kening dan pipinya. Kubuka bajuku dan bajunya yang sudah basah oleh keringat. Kutelusuri badannya dengan bibirku, perlahan, penuh penghayatan, mulai lehernya yang berpeluh, kemudian kedua puting susunya, lalu aku menurunkan kecupan mesraku ke arah perutnya yang menunjukkan kekekaran ototnya, lalu ke arah pinggangnya. Nyoman menggeliat geli, tapi tetap menikmati sentuhan mesraku itu.
“Kak, Nyoman mau diapain sih sama kakak,” katanya memelas.
Di telingaku, kalimatnya itu sungguh menggairahkanku.
“Ehm, kakak cuma mau membagi kemesraan dan kehangatan yang kakak punyai,” tegasku.
Celana kulotnya yang longgar perlahan kutarik.
“Ehm, gluk” aku meneguk liur. CD-nya kulihat begitu minim, sampai bulu-bulu penghias penisnya merebak keluar. Lalu dengan masih tetap memakai CD, kuciumi sekitar penisnya. Tonjolan lelakinya kelihatan begitu nyata. Bau smegma-nya merebak bercampur bau keringatnya yang rada kecut membuatku semakin penasaran.

Setelah CD-nya basah oleh liurku, perlahan kutarik. Ah, penisnya yang besar itu sudah tegak sekali.
“Kakak, Nyoman mau,” bisik Nyoman.
Aku bangkit dan menarik pakaiannya, sehingga ia jadi bugil. Kuminta ia menjulurkan kakinya ke bawah sambil berbaring di pinggir kasur dan mengangkangkan pahanya. Bulu kakinya yang merebak tumbuh di sekitar paha dan penisnya itu menambah gairahku. Penisnya tampak tegang, tapi kepalanya masih terkulum kulup. Ah, penis yang sempurna. Dengan panjang sekitar 17 cm, penis itu nampak begitu mempesona. Cepat kulumatkan lidahku ke bawah batang penisnya.
“Emm, ahh,” desah Nyoman tidak karuan.

Kemudian ketika kulupnya kusentuh dengan ujung lidahku, tangannya gelagapan mencari pegangan. Tanganku menarik kulupnya ke arah belakang penisnya, hingga kepalanya yang merah dan besar itu keluar. Kulihat ada smegma di sisi bawah kepala penisnya, dan dengan tisu basah kuseka kepala penisnya itu beberapa kali, gently. Nyoman meregang-regangkan badannya, merasa geli dan nikmat. Lalu dengan sigap kukulum lagi penisnya, dan kumainkan lidahku memelintir penisnya.
“Oh, Kakak, Nyoman ahh.. ehmm,” ia betul-betul tidak sanggup berkata-kata lagi ketika merasakan kulumanku.
Butir-butir keringat memercik di paha dan selangkangannya, dan telapak kakinya terasa merengkuh pundakku.

“Kakak, Nyoman udah hampir nih,” katanya.
Ah, puncak itu hampir kunikmati sekarang. Aku terus mengulum dan menarikan lidahku di penisnya.
“Ahmm.. ahh.. Kak Raf, Kakak.. ah, Kakak, Nyoman mau keluar nih,” jerit Nyoman lirih tertahan, dan sesaat, “Crit.. crit.. crit..” kurasakan luncuran segumpal sperma hangat masuk ke kerongkonganku.
Cepat kureguk curahan sperma Nyoman yang berikutnya, yang berikutnya, terus, terus, terus, aduh, begitu banyaknya, sampai kemudian aku menjilatkan lidahku pada tetes terakhirnya. Ah, betapa nikmatnya. Amis dan kental. Rasa yang sangat kusuka. Penisnya yang keras itu menjadi mengkilat akibat jilatan lidahku yang basah. Aku terhenyak merapat ke sisi badannya. Tanganku kemudian mengusap celanaku, menggesek-gesekkan penisku. Perlahan penis itu menegang dalam sangkarnya.

“Nyoman, suck me, please!” pintaku.
Nyoman yang setengah lemas bangkit dan memulai permainannya. Bibirku adalah awal sasaran kegemesannya. Lidahku dibuat terkulai oleh permainan lidahnya. Perlahan kemudian leher dan tengkukku digeseknya dengan jenggotnya yang mulai tumbuh setelah dicukur dua hari lalu. Terasa kasar, tapi aku enjoy sekali.
“Ehmm, Nyoman, gesek yang lembut ya,” pintaku.
Nyoman meneruskan aksinya ke arah perutku yang sensitif. Aku tersentak geli. Nyoman tanpa kuduga kemudian dengan cepat ia memelorotkan celana dan CD-ku, sehingga aku bugil. Penisku yang setengah berdiri dielusnya dengan lembut, lalu diciuminya bagian bawah penisku itu. Keruan saja aku mengerang merasakan kenikmatan yang memang sudah membara.

Nyoman kemudian mengocok penisku perlahan sampai ia jadi keras. Dikulumnya penisku itu, sehingga aku menggelinjang kuat. Penisku betul-betul erect dan menunjukkan kekekarannya. Woow, tak kusangka, Nyoman yang kukira hijau ini, ternyata sanggup bermain oral, permainan favoritku.
“Ah, punya kakak ternyata gede juga nih,” katanya.
Ya, dengan panjang sekitar 16 cm, punyaku memang rada kecil dibandingkan punya Nyoman, tapi, itu tidak masalah. Aku sudah sangat terbuai dengan permainan hangat Nyoman. Nyoman dengan cepat menyedot penisku, sampai “Aaah.. Emm..” Spermaku muncrat ke bibir dan pipinya. Nyoman mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Kak Raf, bersihin dong!” pintanya.
Aku melumat bibirnya yang basah oleh spermaku, kujilat cairanku itu, “Eem.., nikmat sekali.”

“Man, trims ya. Kakak udah ngutang padamu Man,” kataku berbisik.
Nyoman kelihatan sangat capek. Ia hanya mengangguk perlahan.
“Ah, biarkan saja dia menikmati tidurnya itu,” pikirku dalam hati.
Kami akhirnya tidur lelap.

Dua malam kemudian Nyoman masuk ke kamarku lagi. Dia menanyakan jalan pemecahan untuk PR matematika. Dengan senang hati kukabulkan permintaannya. Setelah itu ia berdiri dan dengan nakal menggelitikkan jarinya yang kekar ke arah pinggangku.
“Trims ya Kak,” katanya.
Kupikir Nyoman mau keluar kamarku setelah itu, tapi ia kemudian malah berbaring di ranjangku.
“Kakak, Nyoman mau tanya nih,” katanya.
“Mau tidak Kakak merasakan lagi apa kita rasakan kemarin?”
Aku tersentak kaget.
“Eh, Kakak mau dong,” jawabku.
“Tapi..”
“Tidak tapi-tapian!”
“Kakak kan bilang, Kakak udah ngutang sama Nyoman, kan? nah, sekarang Kakak harus bayar. OK, ya, mau?”
Aku mengangguk. Tiba- iba pintu kamar ditutup dan dikuncinya.

“Kak, malam ini biarkan Nyoman menunjukkan bahwa Nyoman juga bisa,” katanya.
Lalu tangannya dengan sigap menarik bajuku, hampir memaksa, lalu celana jeansku, lalu CD-ku. Ah, Nyoman begitu paham memainkan aksinya di seluruh badanku seperti yang sangat kuimpikan. Di tengah permainan itu Nyoman mulai membuka pakaiannya. Penisnya yang menjulur panjang itu membuat darahku mendidih. Kurasakan pelukan liarnya di badanku menunjukkan gairahnya yang memuncak. Aku disodorinya satu tube lotion, lalu kuoleskan di selangkangannya.
“Fuck me, Rafaelku!” bisiknya.
Kuusapkan lotion itu pada kepala penisku yang menegang dan pada lobang anusnya. Lalu, jari tengahku kumasukkan perlahan untuk membuka anusnya yang kurasakan sangat sempit. “Ssrejj..” kumulai penetrasi tangankuku. So slowly, but sure. Satu jari, lalu lama-lama, dua jari. Nyoman merintih. Nampaknya, ini sodomi pertamanya.

Setelah anusnya cukup membuka, penisku kudorong perlahan, lalu kugoyang.
“Kakak, goyang yang keras, terus.. terus..” katanya berbisik.
Aku memainkan penisku maju mundur, dan mengocok penis Nyoman yang kurasakan sangat keras. Bunyi kulup waktu dikocok jelas terdengar, “Clup, clup.. clup.. clup..”
Suasana itu begitu menegangkanku, hingga spermaku kurasakan mau keluar.
“Man, aku mau sampai nih,” desahku lirih.
Nyoman mendorong tubuhku dan melepaskan penetrasiku, lalu dikulumnya penisku, disedotnya, dan lidahnya dimainkannya menari-nari memainkan batang penisku yang sangat erect itu.
“Ahh..” jeritku.
Tanganku mencengkeram pinggir kasur dengan kuat ketika spermaku memuncrat dari penisku. Nyoman malam ini tidak mau lagi menyisakan tumpahnya spermaku barang setetespun. Cairan nikmat itu dijilatnya sampai bersih.
“Ahh.. mm..” aku mendesah.

Nyoman menarik rambutku. Ia mengangkang di sisi kepalaku, sambil tangannya mengocok penisnya yang kulihat sama erect-nya dengan penisku tadi.
“Kak, spermaku nanti dijilat lagi ya!” pintanya.
Tidak lama kemudian, kurasakan cipratan hangat spermanya di bibirku. Aku membuka mulutku, untuk menunggu curahan selanjutnya. Nyoman merintih lirih di sisiku. Kuraih batang penisnya, lalu kusedot lembut. Ia menggelinjang liar. Ia lemas. Kemudian badannya direbahkannya menindihku. Kepalanya terkulai sambil mencium penisku yang sudah loyo dari tadi. Ia memelukku dalam posisi 69. Kembali kami tertidur hingga pagi.

Pagi itu kubangunkan ia dari tidur lelapnya.
“Man, udah pagi nih,” bisikku.
Aku bergegas mandi. Ia menggeliatkan badannya ketika aku masuk lagi ke kamar.
Kubisiki kupingnya, “Nyoman, Kak Rafael ternyata tidak salah pilih kost, kost Nyoman ini penuh layanan, dan nanti jadi kenangan manis,” kataku merayunya.
Nyoman tersenyum. “Kak Rafael, sebetulnya kakak juga memberikan kenangan manis sama Nyoman,” katanya.
“Kakak udah benar-benar mengajarkan bagaimana seharusnya Nyoman melayani Kakak. Nyoman belajar banyak sama Kakak. Itu juga jadi kenangan manis buat Nyoman,” katanya.

Tidak terasa dua bulan telah lewat. Kursusku kurampungkan tepat pada waktunya. Ketika aku akan berangkat kembali ke Balikpapan, aku sekali lagi minta kehangatan Nyoman, agar jadi kenangan indahku. Yah, kami kemudian memainkan lagi permainan cinta yang mempesona itu. Bagai dua pengembara yang dahaga, kami mereguk cinta itu sepuasnya. Mereguk madu amis dan kental kami.

Believe it. It’s my true story. Tell me what do you think about it, just in my e-mail. OK! Lima e-mail pertama yang mencantumkan nama dan alamat pengirim yang jelas, akan saya kirimin cinderamata khas daerahku. Sure! Saat ini aku ada di Bandung.

Tamat